Prof Hikmahanto : Pasal 70 UU Arbitrase Tidak Bersifat Limitatif

Prof Hikmahanto Pasal 70 UU Arbitrase Tidak Bersifat Limitatif

Prof Hikmahanto : Pasal 70 UU Arbitrase Tidak Bersifat Limitatif

“Terdapat beberapa putusan pengadilan yang membatalkan putusan arbitrase di luar Pasal 70 UU Arbitrase seperti alasan bertentangan dengan ketertiban umum dan salah penerapan hukum. Selain itu, pelanggaran terhadap prinsip tertutup dan rahasia juga jadi dasar pembatalan putusan.”

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana pada persidangan ahli dalam perkara Nomor 622/Pdt.Sus.Arb/PN.Jak.Sel menerangkan bahwa Pasal 70 Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 (UU Arbitrase) yang menjadi dasar pembatalan tidak bersifat limitatif. Frase “antara lain” dalam penjelasan umum UU Arbitrase memberikan ruang alasan pembatalan arbitrase tidak terbatas pada tiga alasan yang disebutkan dalam Pasal 70.

“Ada dua mazhab di akademisi maupun Mahkamah Agung (MA). Pertama, alasan pembatalan bersifat limitatif berdasarkan pasal 70 UU Arbitrase karena dalam pasal tersebut ada kata sebagai berikut. Kedua, alasan pembatalan tidak bersifat limitatif karena merujuk pada penjelasan dari penjelasan umum UU Arbitrase, dalam Bab 7 mengatakan bahwa pembatalan bisa dilakukan antara lain karena titik dua. Dalam pemahaman saya, kata antara lain tidak hanya terbatas pada apa yang disebutkan di dalam badan atau pasal 70,” papar Prof Hikmahanto pada Kamis (09/09) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Selanjutnya Prof Hikmahanto menjelaskan di MA terdapat putusan yang menggunakan mazhab alasan tidak limitatif. Misalnya ada putusan yang mengatakan bahwa para pihak yang menggunakan hukum suatu negara dan arbiter tidak menggunakan hukum tersebut maka putusan itu dibatalkan.

“Ada juga masalah yang dikaitkan dengan kecakapan, karena pihak yang melakukan perjanjian itu tidak cakap lalu kemudian dibatalkan. Ada juga putusan yang mengatakan karena perjanjian yang dibuat oleh para pihak dinyatakan batal maka putusan arbitrase itu harus batal. Sehingga dianggap oleh MA bertentangan dengan ketertiban umum,” terangnya.

Kuasa hukum Pemohon, Ali Imron dari Kantor Hukum AFS dan Rekan kemudian menggali terkait dengan apakah dalam proses pembatalan putusan arbitrase harus didahului oleh putusan pidana. “Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Ahli, apakah untuk memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase harus didahului oleh putusan pidana terlebih dahulu untuk dapat mengajukan pembatalan putusan arbitrase,” tanya Ali.

Menjawab pertanyaan tersebut, Prof Hikmahanto kemudian menjelaskan dengan adanya dugaan pemalsuan, penyembunyian dokumen, atau tipu muslihat yang terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase kalau dibaca dalam penjelasan harus diputuskan oleh pidana. Namun ada putusan MK, yang memutuskan bahwa penjelasan Pasal 70 itu tidak memiliki kekuatan hukum.

“Dan Saya berpendapat dugaan itu tidak perlu diputuskan dengan putusan pidana.  Pertama karena tidak efisien, karena proses pembatalan 30 hari saat adanya pendaftaran. Kedua karena kalau misalnya ada proses pidana maka itu harus mulai dari kepolisian, bahkan mungkin saja sampai MA. Padahal mungkin saja perkara yang sedang dijalankan ialah perkara yang harus segera dieksekusi putusannya. Terakhir dari perbandingan dengan negara lain, negara lain ada ketentuan ini, tetapi juga tidak diserahkan kepada lembaga peradilan yang mengurusi pidana, tetapi diberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa proses pembatalan tersebut untuk memutuskan apakah memang ada tipu muslihat, disembunyikan, atau dipalsukan,” jelasnya.

Harus Ada Putusan Pidana Dulu?

Prof Hikmahanto dihadirkan dalam persidangan oleh Pemohon Pembatalan Arbitrase yaitu PT Asia Pacific Mining Resources melawan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan PT Aserra Mineralindo Investama. Menanggapi keterangan ahli tersebut, Kuasa Hukum BANI, Kamil Zacky Permadana dari Kantor Hukum Yulwansyah Balfast dan Rekan kemudian mencecar pandangan Hikmahanto tersebut.

“Ada beberapa yurisprudensi bahwa sebelum masuk ke pembatalan harus ada pidana terlebih dahulu karena pasal 70 ada unsur pidana? Bagaimana pendapat ahli terkait dengan hal tersebut?” tanya Kamil.

Prof Hikmahanto menjelaskan bahwa dirinya tidak akan mengingkari bahwa fakta tersebut (red- yurisprudensi terkait dengan perlu didahului putusan pidana) ada, hal tersebut terjadi sebelum adanya putusan MK.

“Karena memang muncul “pertentangan” antara UU ini dengan konstitusi. Mungkin yang berperkara di arbitrase, kalau itu dilakukan sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap untuk proses pidananya maka ini akan terlalu lama. Dan ini tidak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh undang- undang sendiri. Oleh karena itu, MK membatalkan dan menyatakan tidak berkekuatan hukum dari penjelasan Pasal 70. Sehingga untuk menentukan hal unsur dalam Pasal 70 tersebut ditentukan oleh hakim di pengadilan yang memeriksa proses pembatalan putusan,” jelasnya.

Ali, kepada Kliklegal, mengomentari bahwa dalam yurisprudensi putusan Mahkamah Agung bisa ditemukan perkara dimana alasan yang diajukan dan kemudian dijadikan pertimbangan oleh hakim itu di luar pasal 70. Misalnya ada suatu putusan arbitrase yang terjadi kesalahan prosedural, misalkan pendaftaran. 

“Putusan arbitrase harusnya didaftarkan di tempat termohon arbitrase tapi ini didaftarkan di pengadilan lain. Nah itu bisa dijadikan alasan untuk memohonkan pembatalan. Sehingga memang alasan pembatalan arbitrase bersifat tidak limitatif,” lanjutnya.

Di lain pihak, Kuasa Hukum Termohon, Kamil Zacky Permadana tidak sepakat dengan pendapat tidak limitatifnya alasan pembatalan karena dalam praktik tidak sedikit hakim yang menafsirkan Pasal 70 secara baku.

“Ini kan pendapat ahli ya, jadi boleh- boleh saja dia beranggapan seperti itu. Tapi kan saya meng-counter lagi sama Prof Hik, bahwa Pasal 70 UU Arbitrase itu juga yang masih tetap berdasarkan pasal 70. Kan saya sering menghadapi perkara pembatalan. Saya tahu skalanya. Seberapa banyak majelis hakim yang tetap pada pasal 70 atau diluar pasal 70. Yang saya lihat dari skalanya adalah majelis hakim yang berperkara pembatalan tetap berdasarkan pasal 70. Jarang sekali yang menggunakan ketentuan diluar pasal 70,” ujarnya pada Jumat (10/09).

Sidang perkara nomor 622/Pdt.Sus.Arb/2021/PN.Jkt.Sel ini akan dilanjutkan pada Senin (13/09) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pemeriksaan ahli dari Pihak Termohon.

AN

Dipromosikan