RS Diskriminatif Terhadap Pasien, Begini Sikap Tegas BPJS

RS Diskriminatif Terhadap Pasien, Begini Sikap Tegas BPJS
Image Source: Detik.net.id

RS Diskriminatif Terhadap Pasien, Begini Sikap Tegas BPJS

“Hak memperoleh layanan kesehatan yang baik merupakan jaminan Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD).”

Pasal 61 Angka 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja) yang menyisipkan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), menyebutkan bahwa setiap rumah sakit memiliki kewajiban guna memberikan pelayanan kesehatan yang aman, efektif, dan anti diskriminasi.

Berdasarkan pemaparan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan yang tidak diskriminatif merupakan amanah regulasi perumahsakitan bagi seluruh pelaku industri rumah sakit di Indonesia.

Disematkannya hak memperoleh layanan kesehatan yang baik berdasarkan konstitusi pada regulasi tersebut, nyatanya sering kali tidak berbanding lurus dengan realita lapangan yang terjadi, khususnya terhadap pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan).

Baca Juga: RUU Kesehatan: Potensi Hilangnya Otonomi BPJS Kesehatan

Dirawat di dalam basement, dipersulit saat mengurus administrasi, dan bahkan yang terbaru dipulangkan meskipun belum sembuh. Seperti itulah kiranya gambaran pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien BPJS Kesehatan.

Dilansir liputan6.com (16/02/2023), terdapat cuitan netizen di media sosial yang mengaku dipulangkan oleh pihak rumah sakit, meskipun kondisinya belum pulih. Menyikapi hal tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, mengambil sikap tegas.

Ghufron menegaskan, bahwa setiap peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) BPJS Kesehatan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Hal demikian telah tercantum dalam kontrak kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan.

Di kesempatan lainnya, dilansir tempo.co (14/03/2023), Ghufron juga mengatakan bahwa akan menindak tegas peristiwa serupa dengan memutus kerja sama terhadap rumah sakit yang masih bertindak diskriminatif terhadap pasien BPJS.

“Misal ada sebuah rumah sakit, (pasien) BPJS dirawat di basement. Kami sampaikan, kalau dalam dua bulan tidak ada perubahan, kami putus kerja sama dengan pihak tersebut (rumah sakit). Kami berharap semakin hari, semakin tidak ada perbedaan dalam pelayanannya,” tegas Ghufron.

Sanksi Terhadap Rumah Sakit Diskriminatif

Sebelumnya, Ghufron menyebut diskriminasi terhadap pasien BPJS acap kali terjadi lantaran terdapat peristiwa defisit dan pembayaran telat BPJS ke rumah sakit. Hal itu membuat rumah sakit membuat kebijakan sendiri dan merugikan pasien.

Namun, dirinya mengklaim saat ini hal tersebut sudah tidak ada lagi, dan ia meminta agar rumah sakit tidak lagi melakukan aksi diskriminasi terhadap pasien BPJS, karena hal tersebut melanggar hukum.

Sejalan dengan statement Ghufron, regulasi perumahsakitan Indonesia, yakni Pasal 61 Angka 7 Perpu Cipta Kerja yang menyisipkan Pasal 29 Ayat (2) UU Rumah Sakit, menyebutkan bahwa aksi diskriminatif yang dilakukan rumah sakit terhadap pasien BPJS tersebut merupakan bentuk pelanggaran yang dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran (tertulis/tidak tertulis), denda, dan/atau pencabutan perizinan berusaha.

Di samping itu, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan (PP No. 47 Th 2021), mengatur lebih lanjut perihal bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada rumah sakit. Adapun penjelasan terkait sanksi dimaksud, meliputi:

  1. Sanksi Administratif, dilakukan berdasarkan laporan dugaan pelanggaran yang berasal dari pengaduan, pemberitaan media elektronik/media cetak dan/atau hasil monitoring dan evaluasi (Pasal 71). Bentuk sanksi dapat berupa teguran tertulis maupun tidak tertulis;
  2. Sanksi Denda, sanksi akan diberikan apabila rumah sakit enggan/belum melakukan perbaikan (lewat waktu yang telah ditentukan). Besaran denda yang akan diberikan paling banyak sebesar Rp100 juta, yang mana besaran tersebut dihitung sesuai dengan jumlah pelanggaran. Apabila ditemukan situasi rumah sakit telah membayar denda, pihak rumah sakit tetap wajib melakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi yang diberikan dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan (Pasal 81); dan
  3. Pencabutan izin usaha, dilakukan apabila sampai dengan batas waktu tertentu rumah sakit tidak melakukan perbaikan, maka Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat mengenakan sanksi pencabutan perizinan berusaha.

 

MIW

Dipromosikan