Sebelas Poin RUU Migas Usulan Koalisi Masyarakat Sipil

Dari kelembagaan hingga dana cadangan.

Sumber Foto: https://pwyp-indonesia.org/

Revisi UU Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) masih terus dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Posisi RUU Migas ini masih dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun, sejumlah masukan dari masyarakat sipil terus berdatangan agar revisi ini lebih dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Indonesia.

Manager Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho menyatakan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia (KMSI) yang diinisiasi oleh Indonesian Center Environmental Law (ICEL) telah mengusulkan RUU versi masyarakat sipil.

Berkaitan dengan hal tersebut, Aryanto menyebutkan setidaknya ada sebelas poin yang masuk dalam RUU Migas. “Sebelas poin ini sebetulnya sudah mewakili pasal-pasal dalam RUU dari Koalisi Masyarakat Sipil,” ujarnya kepada KlikLegal pada Kamis (7/9) di Jakarta. (Baca Juga: Ini Tujuh Poin Penting Revisi UU Minyak dan Gas Bumi).

Berikut ini 11 usulan dari Koalisi Masyarakat Sipil:

1. Perencanaan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi

Muatan dari perencanaan yang dimaksud, meliputi: pemenuhan energi nasional dari migas, pemanfaatan atau pencadangan migas, pemeliharaan dan perlindungan Lingkungan Hidup yang terdampak usaha migas, pengendalian dan pengawasan migas, serta pengalihan kebutuhan migas ke EBTKE. Aryanto mengatakan bahwa KMSI mendorong perencanaan pengelolaan negara model kelembagaan Migas. “Aspek perencaaan ini belum ada dalam Undang-Undang Migas yang kemarin maupun dalam draft RUU Migas versinya DPR maupun Pemerintah,” ujarnya.

2. Model Kelembagaan Hulu Migas

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Aryanto menuturkan bahwa untuk kuasa mineral menjadi tanggung jawab negara. Berikutnya, kuasa pertambangan itu ada pada pemerintah dan kuasa usaha pertambangan ada pada BUMN Migas Nasional. “Jadi, yang mengelola minyak bumi kita itu BUMN Migas, BUMN ya bahasanya,” ujarnya.

3. BUMN Pengelola

Aryanto mengatakan bahwa perlu adanya suatu Badan yang berperan untuk melakukan kontrak, menjamin ketersediaan migas nasional, mencari cadangan migas, dan sebagainya. Dalam hal kaitannya dengan Pemerintah, Aryanto mengatakan bahwa KMSI mengusulkan adanya BUMN Pengelola atau Badan Pengelola. “Pemerintah fungsinya mengatur dan membina, kemudian dikelola oleh BUMN, kami menyebutnya BUMN Pengelola,” ujarnya.

4. Badan Pengawas

Salah satu hal yang dilakukan oleh BUMN Pengelola adalah kewenangan mengelola wilayah pertambangan secara langsung. Untuk itu, mengingat kewenangannya yang cukup besar dalam hal pengelolaan, maka perlu adanya Badan Pengawasan yang berperan untuk mengawasi. “Selain mengawasi BUMN Pengelola, badan tersebut sekaligus mengawasi orang-orang dalam melakukan kontrak,” terang Aryanto. (Baca Juga: Kiprah UU Migas di Mahkamah Konstitusi).

5. Dana Minyak dan Gas Bumi

Untuk dana migas, kata Aryanto, KMSI ingin agar uang dari minyak bumi disisihkan sebagian untuk tujuan tertentu, baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah. “Diantaranya tujuan pengembangan infrastruktur migas, pengembangan cdangan migas baru, serta pengembangan EBTKE untuk di tingkat nasional. Untuk daerah, kita juga mendorong adanya dana cadangan untuk pengembangan di daerah yang bersangkutan,” paparnya.

6. Domestic Market Obligation (DMO)

Aryanto mengatakan bahwa DMO ini diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri. Untuk ukuran besaran DMO ini bergantung pada Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan DPR. (Baca Juga: Perjalanan Panjang Revisi UU Migas).

7. Dana Cadangan

Dana cadangan diperlukan untuk memperpanjang manfaat finansial dan ekstrasi migas. Selain itu, dana ini diperlukan pula sebagai modal pembangunan pada saat cadangan minyak telah habis dikarenakan tantangan ke depan bangsa Indonesia dapat dikatakan cukup besar. “Salah satu fungsi lainnya dari BUMN Pengelola adalah untuk menjamin ketersediaan kebutuhan migas nasional dan juga mencari cadangan migas,” ujarnya.

8. Cost Recovery (CR)

Salah satu hala yang ditekankan dalam CR ini adalah penerapan transparansi untuk meningkatkan akuntabilitas perhitungan CR yang dibayarkan kepada kontraktor KKS. Apabila penentuan dan perincian CR tidak transparan, maka memberi peluang terjadinya praktek-praktek korupsi dan kolusi. Selain itu, KMSI juga mengusulkan bahwa biaya lingkungan tidak termasuk dalam CR. Hal demikian dilakukan agar perusahaan-perusahaan terdorong untuk mengelola lingkungan dengan baik. “Terkadang kalau sudah berbicara mengenai bisnis proses UU Migas atau UU Pertambangan, seringkali lupa akan aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan,” ujar Aryanto.

9. Participating Interest (PI)

Mengenai PI, Aryanto mengatakan bahwa adanya kewajiban memberikan 10% dari saham kepada daerah. PI ini konteksnya lebih kepada keinginan daerah untuk berpartisipasi yang cukup besar dengan membentuk BUMD sekalipun adanya keterbatasan pada BUMD. Aryanto menambahkan bahwa PI ini semacam investasi kepada daerah dengan ketentuan bahwa dana yang telah terhimpun tidak lekas dihambur-hamburkan begitu saja. “Kita mengatur yang namanya dana cadangan di daerah menggunakan Perda, tetapi kalau untuk PI ini, saya berpikir sudah cukup banyak yang menyinggung,” ujar Aryanto.

10. Perlindungan Atas Dampak Kegiatan Migas

Perlindungan ini meliputi kesehatan dan keselamatan kerja, lingkungan hidup, serta pengadaan tanah. Hal ini sebagaimana ketentuan bahwa “Hak-hak masyarakat adat terhadap tanah ulayatnya harus dilindungi. Tanah ulayat tidak hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat peribadatan, sumber mata pencaharian budaya serta warisan leluhur. Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dapat mengurangi konflik horizontal dan vertical.”

11. Sistem Informasi dan Partisipasi

Aryanto menuturkan, dengan adanya keterbukaan informasi dalam hal kaitannya dengan minyak bumi dan gas alam, maka mendorong tingkat partisipasi dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan aspek keterbukaan informasi dan partisipasi merupakan elemen penting dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.

(LY)

Dipromosikan