Sederet Aturan Ini Diduga Jadi Alasan J&T Express Berencana Pindah IPO ke Hongkong

Sederet Aturan Ini Diduga Jadi Alasan J&T Express Berencana Pindah IPO ke Hongkong

Sederet Aturan Ini Diduga Jadi Alasan J&T Express Berencana Pindah IPO ke Hongkong

Tidak ikut menemani Telkom dan IEC di NYSE, J&T Express yang investor terbesarnya dari China memilih untuk IPO di Hong Kong setelah regulasi baru diterbitkan di China.

J&T Express yang dikelola oleh PT Global Jet Express merupakan perusahaan kurir asal Indonesia, tengah berencana untuk memindahkan penawaran umum perdana (Initial Public Offering atau IPO) saham pada tahun di depan di Bursa Efek Hong Kong.

Sebelumnya, J&T Express memutuskan untuk melakukan IPO di Amerika Serikat. Dilansir dari Strait Times, menurut sumber, J&T Express sedang mempertimbangkan pasar modal Hong Kong dan berencana melakukan IPO dengan target dana yang dihimpun sekitar USD 1 milyar atau setara dengan Rp 14,3 triliun. Nominal tersebut sangatlah besar. Sehingga, apabila terealisasi, maka IPO J&T Express akan menjadi yang terbesar kedua dalam sejarah perusahaan Indonesia di Wall Street.

Sebelumnya telah diberitakan, J&T Express berencana untuk melakukan IPO di Amerika Serikat pada kuartal keempat. Dugaan perubahan tempat terjadi akibat regulator China yang mengumumkan pengawasan terhadap perusahaannya yang terdaftar di luar negeri. Pengawasan terhadap perusahaan yang listing di luar negeri, diduga membuat khawatir J&T Express berekspansi ke Amerika Serikat.

Meskipun J&T adalah perusahaan Indonesia, beberapa investornya berbasis di China dan perusahaan logistik tersebut memiliki operasi yang signifikan di China. Di China, J&T dikenal dengan harga dan ekspansi yang agresif, menantang saingan seperti SF Holding Co. dan YTO Express Group Co yang didukung Alibaba Group Holding Ltd.

Sebelumnya, Amerika Serikat telah mengeluarkan peraturan terkait kewajiban audit untuk perusahaan asing akan mengancam keberadaan perusahaan China di Wall Street. Aturan ini mengharuskan perusahaan yang terdaftar di Wall Street untuk berbagi audit dengan regulator Amerika Serikat. Jika perusahaan tidak mau mematuhi aturan ini, maka perusahaan terancam delisting. Aturan ini pun memaksa perusahaan membuka keterlibatan mereka dengan pemerintah asing. Berbagai aturan ini disebut bakal berakibat pada investasi luar negeri terhadap teknologi China.

Di sisi lain, Cyberspace Administration of China (CAC) atau pengawas internet China mulai memberikan arahan untuk membatasi perusahaan listing di luar negeri. Bahkan, baru-baru ini lembaga tersebut mengusulkan setiap perusahaan dengan data lebih dari satu juta pengguna harus meminta persetujuan mereka sebelum mencatatkan sahamnya di luar negeri.

Pengetatan aturan listing di kedua negara ini menjadi indikasi bakal berakhirnya pasar saham Amerika Serikat untuk perusahaan China.

Mengapa IPO di Hong Kong?

Bursa saham Hong Kong memiliki indeks Hang Seng Tech dengan 30 perusahaan teknologi di dalamnya seperti AliHealth milik Alibaba, Tencent, ZTE, Xiaomi hingga JD Health dari JD.com. Zona waktunya juga hanya satu jam lebih cepat dari Jakarta.

Pada pertengahan tahun lalu, indeks Hang Seng bahkan mengubah beberapa kriteria mengenai dual listing dan struktur pemegang saham. Ini untuk memancing raksasa teknologi, terutama dari Tiongkok.

Menurut Andy Nybo, Direktur di lembaga Konsultasi Internasional Burton-Taylor.Hong Kong secara “sempurna diposisikan untuk memberikan titik akses yang efektif” ke salah satu wilayah yang paling cepat berkembang di dunia, Ia juga menunjukkan bahwa bekas koloni Inggris itu telah mengembangkan pasar keuangan dan ekonomi, dan menyediakan akses bagi investor internasional ke pasar China daratan melalui program “hubungan saham” atau stock connect.

Pada tahun 2017, pendapatan bursa saham Hong Kong melonjak hingga lebih dari 18%, menurut laporan Burton-Taylor. kenaikan tersebut lebih besar dari pertumbuhan pendapatan 6,6% Nasdaq dan pertumbuhan 2,9% ICE, pemilik NYSE.

IPO di Amerika Serikat

Sebelum J&T Express berencana untuk melantai di Wall Street, Amerika Serikat, sebelumnya sudah ada perusahaan-perusahaan Indonesia yang mendahului. Salah satunya adalah PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk atau Telkom, yang telah melewati 25 tahun dual listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan New York Stock Exchange (NYSE). Telkom melakukan penawaran IPO di Amerika Serikat pada 14 November 1995.

Direktur Utama Telkom, Ririek Adriansyah, yang dilansir dari voi.id, mengatakan bahwa menjadi perusahaan dual-listing menunjukkan komitmen pihaknya pada kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta sesuai dengan semangat good corporate governance, yang sekaligus juga menunjukkan kredibilitas sebagai perusahaan publik. Kemudian, ia juga mengatakan bahwa selama 25 tahun terakhir tercatat di BEI dan NYSE, saham Telkom mampu memberikan kapitalisasi pasar yang terus tumbuh hingga sekitar 12 kali lipat dan telah melakukan dua kali stock split yakni di tahun 2004 dan 2013.

Selain Telkom, pada tahun 2020 yang lalu, Indonesia Energy Corporation Limited (IEC) menjadi anggota baru NYSE dengan kode INDO. IEC memulai penawaran perdananya pada 19 Desember 2019 dan berhasil mendapatkan USD15 juta dengan menawarkan 1,4 juta lembar sahamnya seharga USD11 per lembar.

Kenapa Tidak di Indonesia?

Beberapa kewajiban dan biaya regular menjadi salah satu alasan perusahaan yang memilih untuk IPO di luar negeri ketimbang di negeri sendiri. Biaya regular tersebut antara lain biaya sewa komisaris independen, sewa corporate secretary, sewa auditor, biaya public expose, biaya RUPS, iuran BEI dan OJK.

Yang jadi alasan lain, adalah lokasi operasional seperti buyer dan kreditur yang lebih dekat dengan emiten. Buyer dan kreditur akan lebih mempercayai saham yang bisa mereka monitor langsung, yakni yang berada dalam negara yang sama.

Selain itu, keberadaan investor potensial juga menjadi pertimbangan. Hal pertama yang dilihat emiten saat menjual saham perdana adalah banyak atau tidaknya pembeli. Banyaknya jumlah pembeli berarti emiten memiliki kemungkinan likuiditas saham yang kuat. Jika investor lebih banyak di luar negeri, tentu akan mendorong perusahaan Indonesia untuk listing di negara dimana banyak investor yang berminat.

Bahkan Co-Founder Go-Jek, Andre Soelistyo, pernah mengutarakan persoalan regulasi yang menjadi kendala bagi start-up yang ingin melakukan IPO di Indonesia. “Di luar negeri, IPO lebih fleksibel soal perusahaan profit atau perusahaan bisa memiliki kelas saham yang berbeda apakah itu kepemilikan atau holding. Itu wacana untuk kami sampaikan ke regulator agar lebih fleksibel,” ujarnya ketika itu.  

 

MAL

Dipromosikan