Memahami Enam Asas dalam UU Jaminan Produk Halal

Dari asas perlindungan hingga asas profesionalitas.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Siti Aminah (Kanan). Sumber Foto: PRABU.

Kementerian Agama (Kemenag) meresmikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Dalam undang-undang tersebut, diatur enam asas yang menjadi dasar dalam pelaksanaan sertifikasi halal oleh BPJPH.

Hal tersebut disampaikan oleh Siti Aminah, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH dalam seminar yang bertemakan “Menuju 2019 Wajib Halal : Cukupkah Satu Tahun Mempersiapkan Halal?” yang diselenggarakan oleh Policy Research Analysis and Business Strategy (PRABU) di Hotel Haris Tebet, Jakarta, Rabu, (24/1).

Pertama, Perlindungan. Aminah menjelaskan asas perlindungan tersebut ditunjukan bagi masyarakat umum dan bagi seluruh pelaku usaha Indonesia. “Begitu banyak produk luar yang masuk karena kan saat ini sudah MEA (masyarakat ekonomi ASEAN,-red), itu begitu banyak produk yang bermacam-macam dengan label yang macam-macam masuk. Kalau bukan negara yang melindungi masyarakat dan pelaku usaha, siapa lagi? Nah, itu dia kita melindungi. Melindunginya dengan apa? Ya, dengan halal,” ujarnya. (Baca Juga: Syarat Latar Belakang Keilmuan Auditor Halal Seharusnya Diperluas).

Kemudian, yang Kedua, Keadilan. Aminah mengatakan untuk ukuran keadilan memang tidak bisa dihitung secara seratus persen apakah langkah ini bisa adil atau tidak, hal ini tergantung dari orang yang menerimanya atas apa yang akan lakukan nantinya. “Jadi itu menjadi masukan dari bapak ibu kepada kami, apakah yang nanti akan kita lakukan nantinya mengenai sertifikasi halal, kemudian BPJPH itu ada rasa keadilan di dalamnya. Itu yang tahu mengenai hal itu Bapak Ibu sekalian,” katanya.

Ketiga, Kepastian Hukum. Menurut Aminah, setidaknya memberikan kepastian hukum bagi konsumen terhadap produk makanan dan barang konsumsi lainnya. “Jelas hukumnya, wah halal itu penting ada undang-undangnya, kemudian nanti ada PP (peraturan pemerintah,-red) nya,” ujarnya. (Baca Juga: Ini Sebelas Kriteria Sistem Jaminan Halal yang Perlu Diterapkan Pelaku Usaha).

Lebih lanjut, Keempat, akuntabilitas dan transparansi. Transparan ini biasanya terkait dengan biaya dan tarif. Aminah menuturkan bahwa pihaknya dari tahun 2015 sampai 2017 sudah menyusun Peraturan Pemerintah tentang Tarif dan Biaya yang berkaitan dengan sertifikasi halal.

“Jadi kita tidak sembarangan dalam menyusun tarif. Kami bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM. Jadi, terkait tarif itu betul-betul didetailkan, misalkan diminta seratus ribu, itu untuk komponen apa saja, harus detail. Jadi kami tidak bisa sembarangan mencantumkan hari ini harga segini, tidak. Itu harus ada alasan-alasannya. Jadi untuk menyusun itu pasti membutuhkan waktu. Dan, kami harus membutuhkan kajian ke beberapa orang terkait biaya dan tarif itu,” jelas Aminah. (Baca Juga: UU Produk Halal Diharapkan Bisa Mendorong Pelaku Usaha Non-Muslim Memenuhi Kewajiban Halal).

Selanjutnya, Kelima, efektifitas dan efisiensi. Sebelumnya, di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), jangka waktu sertifikasi halal adalah 49 hari kerja. Sedangkan di BPJPH, Aminah memastikan tidak akan lebih dari 60 hari. Sidang Fatwa Halal digelar paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH. Lalu, produk yang dinyatakan halal oleh sidang fatwa MUI dilanjutkan oleh BPJPH dibutuhkan waktu 5 hari kerja. Untuk mengeluarkan sertifikat halal paling lambat 7 hari sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI diterima.

“Semua itu maksimal, setelah dihitung-hitung itu waktunya adalah 59 hari kerja. Bisa saja sama seperti di LPPOM MUI dalam 1 hari untuk fatwa MUI itu bisa mengeluarkan fatwa 40 sampai 50 produk. Jadi itu angka 30 hari kerja di MUI itu bisa dibawah itu. itu angka maksimal. Jadi 59 hari kerja di dalam sistem kami itu, itu sistem yang ada diluar bukan di BPJPH. Jadi ada beberapa hal yang sudah kami hitung terkait dengan waktu,” ungkap Aminah.

Keenam, profesionalitas. Sebagai badan yang dibentuk pemerintah, tentunya BPJPH dituntut utuk menyelenggarakan jaminan produk halal yang profesional. “Kami ya harus professional karena kami sebagai negara. Negara disini adalah yang menyusun regulasi, dan juga fasilitator,” tukasnya.

(PHB)

 

Dipromosikan