Begini Pandangan Akademisi Soal Pelarangan Bitcoin

Pelarangan dinilai sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dosen Hukum Teknologi Informasi FH Unpad Firdausi Firdaus. Sumber Foto: https://www.qmul.ac.uk/

Dosen Hukum Teknologi Informasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad) Firdausi Firdaus melihat bahwa Bank Indonesia (BI) mempunyai dasar yang kuat dalam melarang transaksi menggunakan mata uang virtual atau cryptocurrency, seperti bitcoin, di Indonesia.  

“Di Indonesia, kalau secara regulasi UU Mata Uang mengatakan bahwa mata uang yang bisa digunakan adalah rupiah, sedangkan bitcoin tidak,” ujar Firdaus kepada KlikLegal melalui sambungan telepon, Senin, (5/3). (Baca Juga: Milenial Kelas Menengah Menjadi Target Pasar Fintech Terbesar).

Menurut Firdaus, bitcoin berbeda dengan e-money. Ia menerangkan e-money adalah uang rupiah yang dalam bentuk elektronik, sedangkan bitcoin bukan rupiah sehingga secara hukum itu bertentangan dengan mata uang kita. “Itu dilihat dari UU mata uang,”ujarnya.

Selain itu, bila melihat UU perlindungan konsumen maupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia, lanjut Firdaus, penggunaan bitcoin ini dinilai akan merugikan konsumen karena nilai dari currency-nya tidak stabil. “Ternyata di komoditas pun dia bukanlah suatu yang memiliki nilai komoditas yang stabil seperti emas, misalkan atau hal-hal yang lainya. Nggak bisa menganggap bitcoin untuk diterapkan di Indonesia semudah itu,” ujar Firdaus. (Baca Juga: Melihat Prediksi Pertarungan Fintech di 2018).

Meski begitu, Firdaus mengakui ada beberapa negara yang melegalkan adanya bitcoin, seperti Jepang. “Kasus yang kehilangan bitcoin itu, bitcoin itu prosesnya sebenarnya aman, tapi uang yang kita terima itu dikelola bukan individu tapi dikelola oleh suatu agency untuk mengelolanya. Nah, yang memegang data-data nasabah itu kebobolan ketika ada kerugian dari nasabah, agency itulah yang harus menggantikan karena itu kerugian dia,” jelasnya.

Sedangkan, di Indonesia belum terdapat regulasi yang mengatur virtual currency karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab dan jika terjadi sesuatu, konsumen lah yang akan sangat dirugikan. “Di Indonesia itu belum ada aturan. Kalau ada misalnya bitcoin itu datanya hilang yang harus bertanggungjawab itu siapa, yang disalahkan siapa, belum bisa,” pungkasnya. (Baca Juga: Pencegahan dan Penanggulangan Kehilangan Uang Kreditur dalam Siklus Peer to Peer Lending (AILRC)).

(PHB)

Dipromosikan