Aturan Devisa Hasil Ekspor Akan Direvisi Jokowi, Ini Urgensinya!

Aturan Devisa Hasil Ekspor Akan direvisi Jokowi, Ini Urgensinya!
Image source: Freepik

Aturan Devisa Hasil Ekspor Akan Direvisi Jokowi, Ini Urgensinya!

Sejatinya, direvisinya PP No. 1/2019 oleh pemerintah bertujuan agar cadangan devisa dalam negeri khususnya hasil ekspor meningkat.”

Sebagaimana dikutip dari kontan.co.id (11/01/2023), Pemerintah dikabarkan akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (“PP No. 1/2019”).

Adapun revisi beleid tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan cadangan devisa di dalam negeri.

Lebih lanjut, Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan bahwa sektor manufaktur juga akan masuk dalam revisi PP tersebut. 

Dengan demikian, nantinya sektor manufaktur akan menyumbang devisa hasil ekspor atau sebagaimana disebut sebagai “DHE”.

“Saat ini hanya sektor pertambangan perkebunan, kehutanan dan perikanan yang diwajibkan masuk di dalam negeri,” ujar Airlangga dalam konferensi pers, Rabu (11/01/2023).

Airlangga juga menyebutkan bahwa revisi atas PP No. 1/2019 tidak hanya menambahkan sektor penyumbang devisa saja, melainkan, aturan mengenai batasan jumlah, dan berapa lama dana tersebut terparkir di dalam negeri juga akan diatur.

Selain itu, Airlangga juga menuturkan bahwa pengaturan sebagaimana dimaksud belum diatur di Indonesia. Airlangga juga menyebutkan bahwa saat ini aturannya hanya pemberian wewenang Bank Indonesia (BI) dalam mencatat cadangan devisa di Indonesia. Airlangga mengatakan, pencatatan tentunya berbeda dengan mengatur cadangan devisa. 

Adapun pengaturan di dalam negara lain turut mempengaruhi revisi terhadap PP No. 1/2019.

“India dan Thailand mengatur (devisa) 6 bulan parkir, kemudian beberapa negara 1 tahun parkir,” ucap Airlangga dalam konferensi pers 11/01/2023.

Merespon wacana revisi PP No. 1/2019 tersebut, sebagaimana dikutip dari wartaekonomi.co.id (13/01/2023), Yusuf selaku pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa ia mendukung langkah pemerintah untuk merevisi PP No.1/2019. Kendati demikian, Ia pun memberikan catatan atas dukungannya tersebut.

“Menambahkan sektor yang wajib membawa pulang DHE tidak hanya SDA namun juga sektor lain termasuk manufaktur, itu sah-sah saja. Namun tidak akan menyelesaikan masalah selama kebijakan DHE hanya sekedar pencatatan DHE sudah ditempatkan di dalam negeri dengan sanksi yang cenderung ringan, umumnya hanya sanksi administratif,” tegas Yusuf, Jumat (13/1/2023).

Menurut Yusuf, alasan utama banyak DHE yang tidak kembali ke Indonesia adalah karena pengusaha cenderung menahan dollar hasil usaha mereka karena berbagai hal.

“Pengusaha membutuhkan devisa untuk kebutuhan impor mereka, untuk membayar utang valas dan juga untuk antisipasi karena kekhawatiran atas ketidakpastian pasar valas, bahkan posisi hold Dollar menjadi pilihan menguntungkan untuk spekulasi,“ ungkap Yusuf.

Selain itu, menurut Yusuf, faktor yang paling jelas adalah bunga deposito dollar yang jauh lebih tinggi di bank luar negeri ketimbang bank di Indonesia.

Tak sejalan dengan pemerintah, sebagaimana dikutip dari tempo.co.id (15/01/2023), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengkritisi rencana pemerintah dalam merevisi PP No. 1/2019. 

Fadhil Hasan selaku Pelaksana Tugas Ketua Bidang Perdagangan & Promosi Gapki mempertanyakan mengenai kebijakan yang nantinya mewajibkan untuk memarkirkan uang di dalam negeri. Ia mengatakan bahwa kebijakan ini akan menghambat jika ada keperluan dalam hal pengusaha memperoleh kredit dari Bank Internasional.

“Solusi kalau ada keperluan gimana? Kalau kredit berasal dari bank internasional gimana?” ujar Pelaksana Tugas Ketua Bidang Perdagangan & Promosi Gapki M. Fadhil Hasan sebagaimana dikutip dari tempo.co.id (13/01/2023).

RAR

Dipromosikan