Pengesahan RUU KUHP: Bagaimana Implikasi Hukum Terhadap Tindak Pidana Perselingkuhan?

Pengesahan RUU KUHP: Bagaimana Implikasi Hukum Terhadap Tindak Pidana Perselingkuhan?

Pengesahan RUU KUHP: Bagaimana Implikasi Hukum Terhadap Tindak Pidana Perselingkuhan?

Perselingkuhan (selingkuh) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti (1) suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; (2) suka menggelapkan uang; korup; (3) suka menyeleweng. Kemudian, Asya (2000) memberikan pendapat terkait definisi dari perselingkuhan yang mana menyatakan bahwa perselingkuhan merupakan perbuatan seorang suami atau istri dalam bentuk menjalin hubungan dengan seseorang diluar ikatan perkawinan atau pernikahan dimana jika diketahui pasangan sah akan dinyatakan sebagai perbuatan menyakiti, mengkhianati, melanggar kesepakatan, diluar komitmen (Prasetio, 2021: 970). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perselingkuhan adalah perbuatan menyeleweng dimana memiliki hubungan dengan pasangan lain di luar pasangan nikah tanpa diketahui oleh pasangan nikahnya. 

Di Indonesia, perselingkuhan digolongkan sebagai salah satu tindak pidana. Meskipun istilah perselingkuhan tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi perselingkuhan yang mana dilakukan dengan persetubuhan bisa dikenakan pasal perzinaan (Saputra, 2021). Sebagaimana pengaturannya diatur dalam Pasal 284 KUHP Lama. Selain itu, juga terdapat pengaturan terhadap tindak pidana tersebut dalam Pasal 411 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Adapun dalam perkembangannya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah melakukan pengesahan terhadap RUU KUHP tersebut menjadi Undang-Undang pada tanggal 6 Desember 2022. Sehingga dalam penulisan ini penggunaan terminologi “RUU KUHP” sudah tidak relevan lagi dan digantikan dengan terminologi KUHP Baru. Tidak hanya itu, adanya pengesahan tersebut juga memberikan peristiwa penting untuk perkembangan hukum pidana di Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika KUHP Lama akan digantikan oleh KUHP Baru. 

Secara garis besar KUHP Baru akan berlaku pada 2026 karena masih berada dalam masa penyesuaian yang mana menurut ketentuan berlaku sejak 3 tahun setelah diundangkan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya perubahan dalam hukum pidana sebagai bentuk upaya dalam menjawab perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat saat ini (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2022).

Menilik ketentuan dalam KUHP Baru, salah satu poin yang sangat penting diperhatikan yaitu tidak dibedakan antara tindak pidana kejahatan dengan pelanggaran, tetapi keduanya menggunakan istilah tindak pidana. Melihat hal ini, terlihat perbedaan yang cukup mendasar dengan ketentuan dalam KUHP Lama yang membedakan tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Walaupun demikian, KUHP Lama masih menjadi hukum positif yang berlaku saat ini, sedangkan KUHP Baru menjadi hukum yang akan berlaku pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dampak pengaturan tindak pidana perselingkuhan pada KUHP Baru. 

Pengaturan Tindak Pidana Perselingkuhan dalam KUHP Lama dengan KUHP Baru 

Pada dasarnya istilah perselingkuhan baik dalam KUHP Lama maupun KUHP Baru tetap saja tidak diatur secara eksplisit. Walaupun begitu, kedua peraturan tersebut sama-sama mengandung pengaturan mengenai perselingkuhan yang mana dilakukan dengan persetubuhan bisa dikenakan pasal perzinaan. Selain itu, juga terdapat beberapa ketentuan yang diatur secara berbeda dari masing-masing peraturan tersebut.

Berangkat dari pengaturan KUHP Lama mengenai tindak pidana perselingkuhan diatur dalam Pasal 284 KUHP Lama Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Sebagaimana ketentuan dari Pasal 284 ayat (1) KUHP Lama menyatakan bahwa: “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1 (a) seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, (b) seorang perempuan yang telah kawin yang melakukan mukah; 2 (a) seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin, (b) seorang perempuan yang tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya” (Hamzah, 2016: 114-115). 

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat kita lihat hanya perselingkuhan dengan melakukan hubungan persetubuhan, maka bisa diproses secara hukum pidana. Sedangkan, perselingkuhan tanpa adanya hubungan persetubuhan, maka tidak bisa diproses secara hukum pidana. Dengan begitu, seseorang yang melakukan perselingkuhan tanpa adanya persetubuhan seperti selingkuh secara dunia maya, jalan bersama, makan bersama, dan saling memberi barang, tidak akan dapat diproses secara hukum pidana. Meskipun memang perbuatan perselingkuhan yang dilakukan tidak dapat dibenarkan dan termasuk perbuatan tercela (Ruang Advokat Menjawab Law Office, 2021).

Lebih lanjut dalam hukum pidana pengaturan tindak pidana perselingkuhan termasuk pada delik aduan, khususnya delik aduan absolut. Hal ini berarti tindak pidana tersebut pada hakikatnya mutlak memerlukan pengaduan untuk penuntutannya (Saputra, 2013: 6). Dengan kata lain delik tersebut memang sejak awal digolongkan sebagai delik aduan. Selain itu, delik aduan absolut pada proses penuntutannya tidak dapat dipecah karena dalam ketentuannya delik ini cukup dengan menyebutkan peristiwanya saja. 

Sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP Lama yang menyatakan bahwa: “Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga” (Hamzah, 2016: 114-115). Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, perselingkuhan hanya bisa diproses secara hukum pidana jika ada pengaduan oleh suami atau istri yang dirugikan dari perselingkuhan yang dilakukan pasangan sahnya. Kemudian pada pengaturan delik aduan mengenai perselingkuhan memiliki beberapa perbedaan ketentuan dengan delik aduan pada umumnya. 

Pertama, delik aduan perselingkuhan mengecualikan ketentuan Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 75 KUHP Lama Bab VII tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Hal ini sejalan dengan Pasal 284 ayat (3) KUHP Lama yang menyatakan bahwa: “Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75” (Hamzah, 2016: 114-115). Dengan demikian, delik aduan perselingkuhan tidak dapat diwakilkan untuk proses pengaduannya dan jangka waktu menarik kembali delik aduan pada Pasal 75 KUHP Lama tidak berlaku dalam hal ini. 

Kedua, untuk pengaturan menarik kembali pengaduan tindak pidana perselingkuhan, maka tunduk pada ketentuan Pasal 184 ayat (4) KUHP Lama yang berbunyi: “Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai” (Hamzah, 2016: 114-115). Jadi, selama perkara perselingkuhan tersebut belum diperiksa dimuka pengadilan, maka dalam ketentuannya pengaduan itu dapat ditarik kembali. 

Tidak hanya itu, pengaturan untuk mengajukan pengaduan terlebih dahulu harus memperhatikan Pasal 285 ayat (5) KUHP Lama yang menyatakan bahwa: “Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan ranjang menjadi tetap” (Hamzah, 2016: 114-115). Ketentuan ini berarti baik suami atau istri yang tunduk pada Pasal 27 BW yang berbunyi: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”, maka harus tunduk pada ketentuan pasal ini dan tidak boleh melakukan perbuatan zina dengan orang lain karena dapat dipidana (Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2020: 9). 

Di sisi lain, pengaturan KUHP Baru mengenai tindak pidana perselingkuhan diatur dalam Pasal 411 Bagian Keempat tentang perzinaan Bab IXV tentang tindak pidana kesusilaan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sebagaimana diatur dalam Pasal 411 ayat (1) KUHP Baru yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.” 

Adapun terkait pernyataan “bukan suami atau istrinya”, diatur lebih lanjut dalam penjelasan pasalnya yang menyatakan bahwa: (a) laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; (b) perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; (c) laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan; (d) perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau (e) laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan. 

Berdasarkan ketentuan di atas, KUHP Baru tidak hanya mengatur persetubuhan dalam konteks perselingkuhan yang bisa diproses secara hukum pidana, bahkan persetubuhan dalam konteks hubungan di luar pernikahan juga bisa diproses secara hukum pidana. Artinya, hubungan seksual oleh pasangan yang belum ada hubungan pernikahan dapat dipidana. Dengan begitu, ketentuan pada pasal perzinaan mengatur lebih luas mengenai tindak pidananya, yang mana tidak hanya mencakup perzinaan perselingkuhan tetapi juga perzinaan pra nikah. 

Baca Juga: Jaminan Hukuman Pidana Terhadap Pelaku Perselingkuhan dalam KUHP Baru

Di samping itu, pengaturan delik mengenai perselingkuhan dalam KUHP Baru memiliki kesamaan dengan KUHP Lama yaitu sama-sama merupakan delik aduan absolut. Namun, dalam KUHP Baru terdapat perluasan terkait orang yang dapat melakukan pengaduan pada tindak pidana yang mana diatur dalam Pasal 411 KUHP Baru, sebagai akibat adanya perluasan makna perzinaan. 

Hal ini sesuai pada ketentuan Pasal 411 ayat (2) KUHP Baru yang menyatakan bahwa: “Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: (a) suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; (b) Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.” Berkenaan dengan ketentuan tersebut, jika perzinaan dalam konteks hubungan perselingkuhan, maka tetap hanya suami atau istri yang dirugikan yang dapat melakukan pengaduan. Sedangkan, jika perzinaan dalam konteks hubungan pra nikah, maka orang tua atau anaknya (anak kandung yang sudah berumur 16 tahun) berhak melakukan pengaduan. 

Tak ketinggalan, pengaturan dalam pasal 411 KUHP Baru juga mengecualikan ketentuan delik aduan pada umumnya dalam tindak pidana perselingkuhan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 411 ayat (3) KUHP Baru yang berbunyi: “Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.” Kemudian, untuk ketentuan menarik kembali pengaduan dalam ketentuan ini merujuk pada Pasal 411 ayat (4) KUHP Baru yang menyatakan bahwa: “Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.” Hal ini berarti pengaturan mengenai delik aduan perselingkuhan di KUHP Lama terkait menarik kembali pengaduan memiliki kesamaan dengan pengaturan yang diatur dalam KUHP Baru. 

Berdasarkan penjabaran pengaturan tindak pidana perselingkuhan dalam KUHP Lama dengan KUHP Baru, pengaturan lain yang tidak dapat dilupakan yaitu mengenai cara mengklasifikasikan ketika telah terjadinya perzinaan. Dalam hukum acara pidana, telah diatur secara limitatif mengenai orang yang bisa melapor dan bukti-bukti yang diperlukan jika terjadi tindak pidana perzinaan. 

Untuk orang yang bisa melapor dalam tindak pidana perzinaan perselingkuhan yaitu hanya suami atau istri yang dirugikan. Sedangkan, untuk bukti pada pengaduan perzinaan merujuk pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: “Alat bukti yang sah ialah: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; dan (e) keterangan terdakwa” (Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2020: 9). Adapun dalam perkembangannya juga telah diatur mengenai bukti-bukti elektronik berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik seperti foto, vidio, chat dan lain sebagainya. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 (Saputra, 2021). Kendatipun demikian, dalam hal ini perlu juga diperhatikan untuk bukti-bukti tersebut benar-benar mengarah kepada tindak pidana yang diatur di pasal perzinaan. 

Dampak Pengaturan Tindak Pidana Perselingkuhan dalam KUHP Baru

Adapun terkait dampak dari pengaturan tindak pidana perselingkuhan dalam KUHP Baru, dapat dilihat dari perluasan makna pada pasal tentang perzinaan. Sebelumnya, KUHP Lama dalam pasal perzinaan hanya mengatur ketentuan tindak pidana perzinaan perselingkuhan. Berbeda dengan KUHP Baru dalam pasal perzinaan mengatur lebih luas ketentuan tindak pidana pada pasal tersebut, yang mana tidak hanya menyangkut perzinaan perselingkuhan melainkan juga perzinaan pra nikah. 

Melihat kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasal perzinaan KUHP Baru mengatur tindakan persetubuhan yang mana dilakukan oleh dua orang yang tidak terikat dengan ikatan pernikahan yang sah, baik salah satu maupun kedua belah pihak sudah terikat ikatan pernikahan ataupun keduanya belum terikat pada ikatan pernikahan (Ajie, 2016). Jika ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, ketentuan tersebut menunjukkan dampak negatif. Alasannya karena berusaha mengkriminalisasi perbuatan yang dilakukan atas kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak, sehingga kenapa harus dipidana. Dengan demikian, sangat terlihat bahwa pengaturan perzinaan dalam KUHP Baru bertujuan untuk mengkriminalisasi semua pelaku persetubuhan tanpa ikatan atau hubungan yang sah. 

Kemudian pada ketentuan delik aduan dalam pasal perzinaan di KUHP Baru, dampak yang cukup menarik yaitu terkait orang yang bisa melaporkan tindak pidana tersebut. Apabila pada perzinaan perselingkuhan memang dirasa sangat baik orang yang bisa melapor yaitu suami atau istri bagi pelaku yang terikat pernikahan. Namun, pada perzinaan pra nikah orang yang bisa melapor yaitu orang tua atau anak bagi pelaku yang tidak terikat pernikahan. Di sini patut dipertanyakan apakah ketentuan tersebut akan efektif karena sangat kecil kemungkinan ada orang tua yang ingin memidanakan anaknya sendiri. Begitupun sebaliknya, juga sangat kecil kemungkinan seorang anak ingin memidanakan orang tuanya. 

Selanjutnya dampak lain yang ada pada pengaturan tindak pidana perselingkuhan dalam KUHP Baru yaitu perubahan ketentuan ancaman hukuman pidananya. Jika sebelumnya KUHP Lama memberikan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan, tetapi dalam KUHP Baru memberikan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10.000.000). Hal ini dapat dikatakan termasuk dampak yang positif karena setidaknya memberikan hukuman pidana lebih besar daripada ketentuan sebelumnya mengenai tindak pidana perselingkuhan. 

Namun, apabila dibandingkan dengan pemberian sanksi terhadap tindak pidana perzinaan dengan negara lain ketentuan ancaman hukuman di Indonesia masih tergolong rendah. Misalnya dengan Malaysia yang mengatur pemberian sanksi terhadap perzinaan dengan denda RM.5.000.00 yang mana setara dengan Rp. 16.000.000 atau penjara paling banyak 3 tahun atau sebat (cambuk) paling banyak enam kali sebatan (cambukan) atau bahkan dihukum dengan kombinasi hukuman tersebut (Sudarti, 2021: 79). Hal ini dapat kita lihat sangat jelas perbedaan besarnya sanksi yang diberikan bagi pelaku perzinaan antara Indonesia dengan Malaysia. 

Terakhir dampak pengaturan tindak tindak pidana perselingkuhan dalam KUHP Baru yaitu terjadi pengurangan ketentuan dalam pengaturan pasalnya. Sebagaimana terdapat beberapa hal mengenai tindak perselingkuhan yang diatur KUHP Lama kemudian tidak diatur lagi dalam KUHP Baru. 

Hal ini dapat kita dilihat pada Pasal 284 ayat (2) KUHP Lama yang berbunyi: “…bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga. Selain itu, Pasal 284 ayat (5) yang berbunyi: “Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan ranjang menjadi tetap.” Dengan begitu, merujuk pada pengaturan hukum pidana, ketentuan-ketentuan yang telah hilang tersebut tidak berlaku lagi dalam KUHP Baru sebab tidak diatur pengaturannya.

Kesimpulan 

Berdasarkan rumusan permasalahan dan pembahasan di atas dapat di kemukakan dua kesimpulan. 

  1. Pengaturan istilah perselingkuhan baik dalam KUHP Lama maupun KUHP Baru tidak diatur secara eksplisit, tetapi pengaturan mengenai perselingkuhan yang mana dilakukan dengan persetubuhan bisa dikenakan pasal perzinaan. Dalam KUHP Lama, pengaturan tindak pidana perselingkuhan diatur dalam Pasal 284 Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Kemudian pada KUHP Baru, pengaturan tindak pidana perselingkuhan diatur dalam Pasal 411 Bagian Keempat tentang perzinaan Bab IXV tentang tindak pidana kesusilaan. 
  2. Dampak pengaturan tindak pidana perselingkuhan dalam KUHP Baru didasari adanya perluasan makna yang terjadi dalam pasal perzinaan yang mengandung pengaturan tindak pidana perselingkuhan. Adapun dampaknya terdiri atas pengaturan pasal perzinaan tidak hanya menyangkut perzinaan perselingkuhan melainkan juga perzinaan pra nikah; penambahan orang yang bisa melapor dalam pasal perzinaan, suami atau istri untuk perzinaan perselingkuhan kemudian orang tua dan anak untuk perzinaan pra nikah; perubahan ketentuan ancaman hukuman pidana tindak pidana perselingkuhan yang awalnya pidana penjara paling lama sembilan menjadi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10.000.000); pengurangan ketentuan dalam pengaturan tindak pidana perselingkuhan yang tidak lagi memasukan pengaduan diikuti dengan ketentuan permintaan bercerai atau pisah ranjang. 

Saran 

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis mempunyai dua saran mengenai topik yang dibahas.

  1. Perlu adanya pengaturan lebih lanjut yang secara eksplisit atau tegas mengenai istilah perselingkuhan dalam KUHP Lama maupun UU Baru agar dapat menghindari ketidakjelasan terkait pengaturan tindak pidana perselingkuhan dalam hukum pidana yang mana dimasukkan pada pasal perzinaan. 
  2. Pemerintah perlu memperhatikan aspek-aspek apa saja yang masih kurang dan kemanfaatan dalam merancang suatu peraturan perundang-undangan untuk menghindari ketidakjelasan dan kesalahpahaman pada ketentuannya.

Daftar Pustaka 

Peraturan Perundang-Undangan 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

Buku 

Hamzah, Andi. 2016. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta. 

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 2020. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero).. 

Jurnal 

Rick Syekh Alif Saputra. 2013. “Tinjauan Yuridis Tentang Hubungan Fungsionil Antara Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Delik Aduan”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 1(5): 6. 

Viana Meilani Prasetio, et al. “Pemicu Perselingkuhan Istri Analisis Tokoh Sugiri Pada Film Red (2020)”, Jurnal Bahasa dan Seni, 1(9): 970. 

Sudarti. 2021. “Perbandingan Hukum Pidana Perzinaan di Malaysia dan Brunei Darussalam”, Jurnal El-Mashlahah, 11(1): 79. 

Sumber Lain 

Andi Saputra. (2021). Istriku Selingkuh dengan Bukti Chatting, Bisakah Saya Pidanakan?. 

(https://news.detik.com/berita/d-5771614/istriku-selingkuh-dengan-bukti-chatting-bisakah-saya-pidanakan), diakses pada 12 Mei 2023. 

Bintang Wicaksono Ajie. (2016). Tindak Pidana Zina dalam RKUHP 2015. (https://reformasikuhp.org/tindak-pidana-zina-dalam-r-kuhp-2015/), diakses pada 13 Mei 2023. 

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2022). Perubahan KUHP, Wujudkan Negara Hukum yang Demokratis. (https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/42432/t/Perubahan+KUHP%2C+Wujudkan+Negara+Hukum+yang+Demokratis#:~:text=%E2%80%9CRUU%20KUHP%20merupakan%20upaya%20rekodifikasi,ada%20di%20masyarakat%20saat%20ini), iakses pada 12 Mei 2023. 

Ruang Advokat Menjawab Law Office. (2023). Pasangan Selingkuh Bisa Dilaporkan atau Dipidana. (https://youtu.be/G3pP5BxtTHo), diakses pada 13 Mei 2023. 

Artikel opini ini ditulis oleh Manisha Ramadanni, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi kliklegal.

AZ

Dipromosikan