Dampak Kelam Industri: Pencemaran Limbah Menelusuri Desa-Desa Terpencil

Dampak Kelam Industri: Pencemaran Limbah Menelusuri Desa-Desa Terpencil

Dampak Kelam Industri: Pencemaran Limbah Menelusuri Desa-Desa Terpencil

Permasalahan sampah sudah menjadi bulan-bulanan di telinga masyarakat Indonesia. Sudah banyak gerakan yang dilakukan oleh para muda-mudi untuk menanggulangi permasalahan sampah ini, akan tetapi masih menjadi pertanyaan mengapa permasalahan sampah ini tak kunjung usai.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa permasalahan sampah ini memang terjadi karena banyak faktor. Salah satu yang menarik perhatian ada di kawasan Bandung Barat, tepatnya di Desa Laksanamekar. Desa ini dilalui oleh salah satu sungai terpanjang di Jawa Barat yaitu Sungai Citarum dan terdapat beberapa perusahaan yang mendirikan bangunan industrinya di sekitar Desa Laksanamekar. 

Sungai ini dijadikan warga sebagai sumber kehidupan, seperti mencari ikan, menjadi sumber irigasi sawah, menjadi sumber air untuk mandi, dan sebagainya. Namun, sungai yang merupakan salah satu sumber air bagi warga Desa Laksanamekar juga kerap terpapar oleh permasalah limbah.

Berdasarkan salah satu kesaksian warga, bahwa memang permasalahan yang ada pada Desa Laksanamekar ini diawali oleh pendirian salah satu pabrik asing yang secara tidak bijak membuang limbah cairnya ke Sungai Citarum tersebut.

Terdapat 12 industri yang berdiri di sekitar Desa Laksanamekar diantaranya adalah PT Ateja Tritunggal, PT Ganiarta, PT Indahtex Utama, PT Inticlorindo, PT Higbrich, PT Nice Indonesia, PT Sincung, PT Jimyung, PT Daya Pratama Lestari, PT Almas, dan PT Cahaya Timur. Mayoritas dari industri-industri tersebut bergerak dalam bidang tekstil.

Baca Juga: Kebijakan Pengurangan Emisi Industri Penerbangan Indonesia: Upaya Menuju Penerbangan Ramah Lingkungan

Regulasi yang Mengatur Pembuangan Limbah Pabrik 

Limbah pabrik atau limbah industri merupakan hasil samping dari proses produksi atau kegiatan industri. Limbah pabrik bisa bersifat cair, padat, atau gas, dan sering kali mengandung bahan yang berbahaya atau merugikan lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.

Pengelolaan limbah pabrik sangatlah penting untuk mencegah pencemaran lingkungan dan menjaga keberlanjutan ekosistem. Limbah pabrik yang dikelola dengan baik dapat direduksi atau diolah agar dampak negatif, seperti pencemaran terhadap lingkungan diminimalkan.

Limbah Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut limbah B3 adalah sampah yang menurut sifat, konsentrasi, dan kuantitasnya, baik langsung maupun tidak langsung, merusak lingkungan hidup, mencemari lingkungan hidup, dan/atau mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun.

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, pencemaran lingkungan akibat dari tidak tepatnya pengelolaan limbah B3 terus bergulir seiring dengan pesatnya perkembangan industri di Indonesia. Industrialisasi sebagai model pembangunan alternatif dibutuhkan negara dalam menyokong pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang melesat, ternyata diikuti pula dengan permasalahan lingkungan yang semakin meningkat.

Perlu kita sadari bahwa industri pabrik telah menyumbang banyaknya limbah B3. Besarnya kuantitas limbah B3 yang dihasilkan oleh pabrik industri tidak diiringi dengan penanganan yang tepat. 

Baca Juga: Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Pencemaran Udara: Evaluasi Tanggung Jawab Negara

Penanganan limbah B3 yang tidak tepat melahirkan berbagai persoalan baru yang berdampak pada keberlangsungan makhluk hidup dan lingkungan ekosistem di sekitarnya. Pembuangan limbah B3 yang dilakukan secara ilegal dan tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan dapat mencemari sumber air yang berakhir pada kerusakan ekosistem air.

Kelalaian yang dilakukan dalam pengurangan volume limbah B3 melalui proses fisik, biologis, dan kimiawi juga dapat berdampak besar bagi ekosistem lingkungan di sekitarnya. Hal ini disertai dengan pembuangan limbah B3 yang tidak memenuhi standarisasi dilakukan dengan pembuangan limbah B3 dari sumur injeksi, kolam, serta landfill yang sangat berbahaya dan berdampak negatif terhadap kesehatan. 

Pengelolaan limbah B3 telah diatur sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Permen LHK No.6/2021).

Dalam Pasal 1 ayat (1) Permen LHK No.6/2021, disebutkan bahwa limbah yang bersifat berbahaya dan beracun tidak hanya ditentukan oleh bentuk tampaknya saja, akan tetapi juga dipengaruhi oleh konsentrasi dan jumlah zatnya. Walaupun limbah pabrik tidak menimbulkan bau dan tidak berwarna, belum tentu limbah tersebut merupakan limbah yang aman bagi keberlangsungan ekosistem di sekitarnya.

Urgensi pengelolaan limbah B3, baik secara fisik, biologis, maupun kimiawi diperlukan untuk mengurangi dampak berbahaya serta pengurangan racun yang terkandung dalam limbah B3 tersebut.  Pengelolaan limbah B3 mencakup penyimpanan sementara, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, serta penimbunan hasil pengolahan.

Tanpa adanya pengelolaan yang tepat, limbah B3 akan semakin berbahaya apabila dibuang sembarangan pada sistem perairan. Puncak dari rusaknya ekosistem perairan yang diakibatkan oleh zat yang terkandung dalam limbah B3 adalah bencana umum yang menyebabkan berbagai penyakit kronis dan gangguan kesehatan pada manusia sebagai salah satu komponen makhluk hidup. 

Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP No.22/2021) merupakan salah satu respons pemerintah atas dinamika pelanggaran yang dilakukan oleh industri pabrik terhadap pengelolaan limbah B3. Pemberlakuan PP No.22/2021 merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020), sebagaimana telah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu 2/2022) yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.

Peraturan perundang-undangan tersebut hadir sebagai bentuk pengawasan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang dilakukan untuk menjamin ketentuan yang telah ditetapkan. Penerapan terhadap penegakan hukum dilakukan dengan prinsip ultimum remedium dan melalui tahapan penerapan sanksi administratif dimana tanggung jawab mutlak dibebankan kepada pelaku usaha secara substantif.

Dr. Idad Saadudin, S.Sos., M.Kes selaku perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat menjelaskan bahwa terdapat sanksi administratif yang bertingkat bagi pelanggar lingkungan, mulai dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin, hingga pencabutan izin.

Baca Juga: SPPL dan UKL-UPL sebagai Persetujuan Lingkungan

Belum Adanya Ketegasan dari Pihak Regulator terkait Kelalaian Industri dalam Pembuangan Limbah Pabrik 

Regulator industri pabrik menjadi pihak terpenting dalam menjalankan pemberlakuan hukum dan peraturan yang berlaku, diiringi dengan adanya keseimbangan antara usaha industri dengan lingkungan di sekitarnya.

Pihak regulator menjadi pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan serta pemantauan terhadap mekanisme yang dilakukan oleh industri pabrik dalam melakukan pengolahan limbah dengan memastikan standardisasi yang berlaku terkait pengelolaan limbah.

Setelah melakukan pengawasan terhadap pengelolaan limbah dalam suatu industri pabrik, selanjutnya regulator berkewajiban untuk mengawasi dan memperhatikan berbagai kemungkinan pencemaran lingkungan yang dapat terjadi sebagai dampak dari aktivitas industri tersebut. Beberapa kemungkinan pencemaran lingkungan yang dapat terjadi, di antaranya seperti pencemaran air, tanah, dan sungai. 

Tak hanya itu, regulator juga mengemban peran penting dalam meningkatkan kesadaran seluruh pihak industri yang terlibat terkait pentingnya pengelolaan limbah secara tepat. Tujuannya, untuk mengurangi risiko buruk dari limbah berbahaya yang dihasilkan industri pabrik terhadap ekosistem lingkungan di sekitarnya.

Baca Juga: RKUHP Disahkan, Sanksi Pidana yang Lebih Ringan Bagi Perusak Lingkungan Hidup Dihapus!

Dalam menjalankan tugas dan kewajiban tersebut, regulator berhak untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah serta industri dalam mengatur mekanisme penanganan limbah yang sesuai. Kerja sama tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk pengembangan regulasi yang berlaku untuk menjaga keseimbangan antara industri dan lingkungan. 

Tugas dan kewajiban yang diemban oleh regulator tentunya dilatarbelakangi oleh besarnya risiko dan segala dampak negatif yang harus diawasi. Pelanggaran terhadap regulasi terkait pembuangan limbah pabrik yang sudah diatur dengan sedemikian rupa dapat berdampak pada pencemaran lingkungan yang dapat berakibat fatal.

Sebab, perlu kita sadari pula bahwa pencemaran lingkungan yang terjadi dapat meningkatkan risiko penyakit. Hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap kesehatan setiap individu yang terdapat dalam ekosistem tersebut, sehingga dapat membahayakan suatu kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar daerah industri. 

Selain terhadap individu masyarakat, kelalaian pihak regulator terhadap proses pembuangan limbah pabrik yang tidak sesuai dengan prosedur dapat mengancam keberlangsungan ekosistem. Selain itu, juga sangat berisiko terhadap siklus hidup flora dan fauna yang terdapat di dalamnya.

Hal ini dapat kita lihat contoh nyata yang terjadi di Sungai Citarum. Kerusakan ekosistem Sungai Citarum menyebabkan perlunya pengelolaan rutin sebanyak dua kali dalam setahun serta pengujian kualitas air pada musim kemarau.

Secara fisik, proses pemulihan tersebut tidak dapat dilakukan secara cuma-cuma, sehingga diperlukan anggaran yang cukup besar  untuk periodisasi pemantauan ekosistem Sungai Citarum yang tercemar limbah B3. Banyaknya pencemaran lingkungan yang terjadi dapat menghadapkan pihak regulator kepada kerugian ekonomi yang berdampak kepada pelaku industri. 

Baca Juga: Ombudsman RI: Regulasi Pengelolaan Limbah Baterai ‘EV’ Urgent!

Satuan Tugas yang Dibuat Berdasarkan Peraturan Presiden yang Dirasa Cukup Membantu, Namun…

Berbagai permasalahan terkait dampak pencemaran limbah industri di Sungai Citarum menjadi pokok utama urusan pemerintah. Masyarakat yang terkena dampak negatif dari limbah industri sering kali merasakan beban ekonomi, lingkungan, atau kesehatan yang signifikan.

Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara dalam menyikapi permasalahan terkait hal tersebut, salah satunya adalah melalui pengesahan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum (Perpres No.15/2018).

Pengimplementasian dari Perpres No.15/2018 tersebut adalah dengan dibuatnya satuan tugas yang bernama Satgas Citarum Harum. Sayangnya, implementasi ini belum efektif karena dinilai hanya digembar-gemborkan di awal saja dan pemerintah tidak memperhatikan keberlanjutan dari program dalam Perpres No.15/2018 tersebut. 

Selain itu, masalah lain muncul terkait relawan. Kang Ape, salah satu masyarakat Desa Laksanamekar yang telah menjadi relawan dari tahun 2017, mengaku bahwa saat ini belum ada kejelasan tentang kekuatan hukum sebagai relawan dan tidak mendapat feedback dari pemerintah. Hal ini pun membuat relawan kurang mendapat apresiasi.

Dalam menjawab hal tersebut, Dr. Nadia Astriani, S.H., M.Si selaku Dosen program kekhususan Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menjelaskan bahwa untuk hal yang berkaitan dengan relawan atau petugas merupakan kewenangan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi. Dikatakan bahwa saat ini sedang diusahakan agar masyarakat yang terlibat akan mendapat kepastian hukum, reward (penghargaan), atau feedback melalui program tertentu.

Baca Juga: Terhambat Birokrasi, Berikut Sederet Dokumen Lingkungan yang Harus Diurus Pengusaha Batubara

Pihak Desa yang Dirasa Kurang Tegas dalam Perizinan Pendirian Pabrik 

Perizinan dalam mendirikan badan usaha atau perusahaan adalah proses resmi yang melibatkan pemberian izin atau persetujuan dari otoritas pemerintah setempat atau lembaga terkait.

Proses perizinan sendiri mencakup evaluasi terhadap kepatuhan pada peraturan lingkungan, peraturan keselamatan kerja, serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan jenis usaha yang akan didirikan.

Tujuan adanya perizinan adalah untuk memastikan bahwa perusahaan beroperasi sesuai dengan norma-norma hukum dan lingkungan serta dapat memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat atau merugikan lingkungan. 

Dalam hal ini, setiap pabrik maupun industri yang ingin mendirikan usahanya haruslah memiliki izin dari otoritas tempat berdirinya pabrik tersebut. Salah satu isu yang paling sering menjadi permasalahan yang tiada henti adalah pendirian pabrik di desa-desa yang mengakibatkan pencemaran lingkungan khususnya pencemaran pada air sungai.

Oleh karena itu, pihak desa seharusnya dapat mempertimbangkan risiko perizinan industri pabrik di desa melalui beberapa aspek penting. Selain risiko pencemaran lingkungan akibat limbah berbahaya, pendirian pabrik di desa dapat menurunkan kesadaran masyarakat terhadap dampak industri bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat itu sendiri.

Baca Juga: Revisi Perpres Perbatasan Negara Wajib Berwawasan Lingkungan

Dalam rangka menetapkan perizinan pabrik, pihak desa seharusnya sudah dapat menjamin adanya penyampaian informasi yang jelas oleh pihak regulator terkait proses pendirian pabrik. Selain itu, juga informasi mengenai risiko jangka panjang yang mungkin terjadi adaptasi akibat perubahan yang akan terjadi pada ekosistem sekitarnya. Beberapa hal tersebut diharap dapat membuat pihak desa mengantisipasi dan mendapatkan jaminan yang jelas terkait pertanggungjawaban oleh pihak industri.

Pihak desa kemudian harus dapat mendapatkan jaminan yang sesuai terkait prosedur pendirian pabrik tersebut, sehingga tidak terdapatnya pelanggaran regulasi yang dapat merugikan pihak desa di kemudian hari.

Masyarakat Desa Laksanamekar sendiri telah melakukan upaya penegakan hukum baik di lingkungan sampai melalui arbitrase Universitas Indonesia (UI). Masyarakat menuturkan bahwa sulitnya upaya penegakan hukum adalah karena prioritas ekonomi yang terus diutamakan, sehingga menghasilkan dampak negatif bagi keberlangsungan lingkungan Desa Laksanamekar.

Sebenarnya, perusahaan atau industri memang menguntungkan karena membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain, terkadang beberapa industri merasa mempunyai power berlebih, sehingga abai terhadap kewajibannya dalam menjaga ekosistem di sekitar pabrik. 

Tak hanya itu, untuk mendapatkan perizinan, pihak desa dengan tegas harus memastikan adanya koordinasi yang baik. Hal ini membuat pihak desa dapat dengan efektif berpartisipasi dalam memastikan bahwa kebijakan yang berlaku dapat diterapkan dengan baik.

Dalam rangka mengurangi berbagai risiko yang terjadi, maka diperlukan kesadaran masyarakat itu sendiri terhadap keberlangsungan lingkungan sekitar. Perizinan pabrik diperlukan sebagai jaminan pengawasan lingkungan yang dilakukan oleh pihak desa untuk memastikan keamanan serta kenyamanan lingkungan sekitar. 

Oleh karena itu, pihak desa seharusnya tidak dapat serta merta menurunkan  perizinan pabrik tanpa melalui proses pengawasan yang baik terhadap pendirian industri pabrik terkait. 

Baca Juga: Green Sukuk: Instrumen Investasi Ramah Lingkungan?

Kesimpulan

Limbah pabrik atau limbah industri merupakan hasil samping dari proses produksi atau kegiatan industri. Limbah pabrik bisa bersifat cair, padat, atau gas, dan seringkali mengandung bahan yang berbahaya atau merugikan lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.

Pertumbuhan ekonomi yang melesat diiringi dengan permasalahan lingkungan yang semakin meningkat. Besarnya kuantitas limbah B3 yang dihasilkan oleh pabrik industri tidak diiringi dengan penanganan yang tepat.

Penanganan limbah B3 yang tidak tepat melahirkan berbagai persoalan baru yang berdampak pada keberlangsungan makhluk hidup dan lingkungan ekosistem di sekitarnya. Pembuangan limbah B3 yang dilakukan secara ilegal dan tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan dapat mencemari sumber air yang berakhir pada kerusakan ekosistem air.

Urgensi pengelolaan limbah B3, baik secara fisik, biologis maupun kimiawi diperlukan untuk mengurangi dampak berbahaya serta pengurangan racun yang terkandung dalam limbah B3 tersebut.

PP No.22/2021 merupakan respons pemerintah atas dinamika pelanggaran yang dilakukan oleh industri pabrik terhadap pengelolaan limbah B3. Setelah melakukan pengawasan terhadap pengelolaan limbah dalam suatu industri pabrik, selanjutnya pihak regulator berkewajiban untuk mengawasi dan memperhatikan berbagai kemungkinan pencemaran lingkungan yang dapat terjadi sebagai dampak dari aktivitas industri tersebut. Beberapa kemungkinan pencemaran lingkungan yang dapat terjadi, di antaranya seperti pencemaran air, tanah, dan sungai.

Perizinan dalam mendirikan badan usaha atau perusahaan adalah proses resmi yang melibatkan pemberian izin atau persetujuan dari otoritas pemerintah setempat atau lembaga terkait. Proses perizinan sendiri mencakup evaluasi terhadap kepatuhan pada peraturan lingkungan, peraturan keselamatan kerja, serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan jenis usaha yang akan didirikan.

Baca Juga: Mengenal “Pertambangan Ramah Lingkungan” Nikel di Indonesia

Saran

Penulis memiliki beberapa saran yang diharapkan dapat berguna sebagai respons atas permasalahan tersebut:

  1. Pemberlakuan program pemantauan rutin terhadap kualitas air sungai untuk mengidentifikasi potensi pencemaran.
  2. Kolaborasi antara pemerintah dan industri untuk menciptakan solusi inovatif dalam pengelolaan limbah dan meminimalisasi dampaknya.
  3. Pemberian sanksi berjenjang tergantung pada tingkat pelanggaran untuk mendorong kepatuhan dan tanggung jawab pelaku industri.
  4. Transparansi limbah yang dihasilkan oleh industri agar masyarakat dapat memantau dan memberikan umpan balik.
  5. Pengembangan sistem laporan publik untuk memudahkan akses informasi dan pengaduan terhadap industri yang melanggar.
  6. Timbal balik antara pemerintah dan relawan dalam menjaga kebersihan dan kelestarian ekosistem lingkungan hidup yang tercemar akibat limbah pabrik.

Baca Juga: Tak Patuhi Sanksi, Pemerintah Cabut Izin Lingkungan PT Karya Citra Nusantara

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Jurnal 

Neti Juniarti, “Upaya Peningkatan Kondisi Lingkungan di Daerah

Aliran Sungai Citarum”. Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 3, No. 2, 2020. 

Nursabrina, A., Joko, T., & Septiani, O. (2021). “Kondisi pengelolaan limbah b3 industri Di Indonesia Dan potensi dampaknya: Studi literatur”. Jurnal Riset Kesehatan Poltekkes Depkes Bandung, 13(1), 80-90. 

Siti Ruhama Mardhatillah, “Urgensi dan Efektifitas Sanksi Administrasi dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM,  Vol. 23, No. 3, 2016.

Setiyono, “Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3”, Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 2, No. 1, 2001.

Sumber Lainnya

Amaleo Woha. (2022, May 31). Cara Mudah Pengolahan Limbah Industri Padat, Cair, gas Dan B3. PT Eticon Rekayasa Teknik. https://eticon.co.id/pengolahan-limbah-industri/

Dwi Mahargyani A. (2023, November 18). Perizinan Semakin Mudah, Desa-Desa Kabupaten Magelang Perlu Mengetahui. Kabupaten Magelang. https://dpmptsp.magelangkab.go.id/home/detail/perizinan-semakin-mudah–desa-desa-kabupaten-magelang-perlu-mengetahui/300

Eshandrian. (2023, May 10). Penanganan Limbah Industri untuk Mengurangi Pencemaran. Advanced Analytics Asia Laboratories. https://lab.id/penanganan-limbah-industri/ 

Rizki, M. J. (2021, March 24). Kewajiban Pelaku Usaha Mengolah Limbah B3 Dan non B3 dalam PP 22/2021. hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/berita/a/kewajiban-pelaku-usaha-mengolah-limbah-b3-dan-non-b3-dalam-pp-22-2021-lt605b01edcd2e1?page=2

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Rahil Sabillillah Meilani dan Ria Nisa Anggraeni, para mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 

Artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

BA

Dipromosikan