Social Commerce vs UMKM, TikTok Shop Ditutup: Mengulik Peraturan Menteri Perdagangan No.31 Tahun 2023

Social Commerce vs UMKM, TikTok Shop Ditutup: Mengulik Peraturan Menteri Perdagangan No.31 Tahun 2023

Social Commerce vs UMKM, TikTok Shop Ditutup: Mengulik Peraturan Menteri Perdagangan No.31 Tahun 2023

TikTok Shop menjadi salah satu model bisnis social commerce, yaitu platform yang menggabungkan layanan media sosial dan e-commerce. Platform ini memfasilitasi pengguna dengan transaksi langsung melalui fitur live streaming di TikTok, sehingga memungkinkan pembeli dan penjual berinteraksi secara langsung. TikTok Shop menawarkan berbagai keunggulan bagi pembeli dan penjual, seperti harga yang lebih murah, voucher ongkos kirim (ongkir), pembayaran Cash On Delivery (COD), dan konten video yang kreatif. 

Selain itu, TikTok Shop juga menjadi alternatif bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang ingin menjangkau pasar yang lebih luas. Hal ini dengan memanfaatkan fitur For You Page di TikTok.

Masyarakat pun lebih memilih berbelanja di TikTok Shop karena efisiensi yang didapatkan, kontras dengan UMKM yang lebih mengandalkan penjualan secara tatap muka. Era digital saat ini memengaruhi preferensi konsumen dan UMKM, di mana pembeli lebih nyaman berbelanja secara online di TikTok Shop. Di sisi lain, UMKM dihadapkan dengan persaingan produk yang viral di TikTok, sehingga mendorong sebagian UMKM untuk menggunakan platform TikTok Shop. 

Di samping popularitas TikTok Shop, penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Permendag No.31/2023) yang diberlakukan pada September 2023 menemukan beberapa kekurangan izin social commerce.

Diketahui bahwa TikTok Shop hanya memiliki izin sebagai Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A), bukan untuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE), yang diperlukan untuk beroperasi sebagai penyelenggara perdagangan elektronik. Hal ini mendorong penutupan TikTok Shop di Indonesia. Penutupan tersebut untuk melindungi UMKM dari persaingan harga yang tidak sehat dikarenakan produk impor murah di pasar domestik serta menjaga keseimbangan harga. 

Jadi, TikTok Shop tidak memiliki izin resmi sebagai pelaku e-commerce di Indonesia, karena hanya berstatus sebagai KP3A. TikTok Shop juga dianggap merugikan UMKM lokal karena banyaknya produk impor murah yang bersaing di pasar dalam negeri.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menutup TikTok Shop sesuai dengan Permendag No.31/2023 yang mengatur tentang izin social commerce. Tujuan dari penutupan ini adalah untuk menjaga keseimbangan harga di pasar Indonesia dan melindungi UMKM dari persaingan yang tidak sehat.

Baca Juga: Membedah Konsep TikTok Shop serta Mengkaji Efektivitas Respons Pemerintah terhadap Aktivitas Social Commerce di Indonesia

Adanya Perubahan Regulasi 

Penggunaan social commerce yang berangsur meningkat dari hari ke hari mendorong pemerintah untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan baru guna memperkuat perlindungan terhadap konsumen, menjamin kepastian hukum, serta memperjelas tanggung jawab dari badan usaha dalam melakukan perdagangan pada platform digital.

Upaya pemerintah untuk memperketat aturan pada jual beli online pada platform digital yaitu dengan mengeluarkan Permendag No.31/2023. Aturan tersebut merupakan gagasan yang dikemukakan oleh Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia saat ini.

Tujuan dari dikeluarkannya Permendag No.31/2023 ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum guna terciptanya lingkungan perdagangan menjadi adil, sehat, serta dapat memberikan kebermanfaatan dengan memperhatikan aspek kesejahteraan masyarakat. Peraturan ini juga bertujuan untuk mendukung penuh UMKM Indonesia serta para pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). 

Dikeluarkannya Permendag No.31/202 ini juga menjadi alasan dari ditutupnya fitur Tiktok Shop di Indonesia. Permendag No.31/2023 merupakan peraturan yang mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Peraturan Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Badan Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Permendag No.50/2020).

Baca Juga: Social Commerce bakal Dikenakan Pajak, TikTok Beri Dukungan

Dalam Permendag No.31/2023 ini, terdapat beberapa perubahan regulasi, di antaranya : 

  1. Melarang social commerce untuk memudahkan transaksi pembayaran pada platform elektroniknya. Hal ini merupakan aspek yang belum diatur pada Permendag No.50/2020.
  2. Memberikan definisi yang jelas mengenai model bisnis PPMSE, seperti marketplace atau pasar dan perdagangan sosial dengan tujuan guna memudahkan pembinaan serta pengawasan. Hal ini.tidak secara rinci dijelaskan dalam Permendag No.50/2020.

Adanya perubahan regulasi tersebut pada akhirnya menjadi alasan penutupan TikTok Shop pada tanggal 4 Oktober 2023. Sebab, TikTok Shop hanya memiliki izin sebagai Foreign Trade Representative Office (KP3A). Izin tersebut tidak memungkinkan bagi TikTok Shop untuk melakukan kegiatan transaksi di dalam aplikasi selayaknya aplikasi e-commerce lainnya, yang memang sedari awal tujuan utamanya adalah melakukan perdagangan secara online.

Apabila TikTok Shop ingin beroperasi kembali di Indonesia, maka harus mengantongi izin serta mendirikan badan hukum di Indonesia dengan mengikuti aturan dan standar yang berlaku.

Baca Juga: Dinilai Ancam UMKM Lokal, Project S TikTok Jadi Perhatian DPR

Dampak dari Ditutupnya TikTok Shop 

Meskipun dengan ditutupnya TikTok Shop ini mempertimbangkan perlindungan terhadap penjualan UMKM agar tidak anjlok, akan tetapi banyak pula UMKM yang tidak sepenuhnya berjualan secara konvensional. Faktanya, beberapa UMKM sudah melakukan proses jual belinya melalui TikTok Shop.

Memang TikTok Shop ini bukan satu-satunya platform yang ada di Indonesia. Para penjual dan UMKM pun juga masih dapat memanfaatkan TikTok sebagai media promosi dengan cara menambahkan link produk yang mereka jual, sehingga dapat mengarahkan katalog sebenarnya pada platform marketplace lainnya. Namun, hal ini tentu tidak semudah itu dalam prosesnya, di mana UMKM kehilangan jangkauan pasar yang luas dan harus memulai strategi pemasaran dan akses pasar baru di platform marketplace lain. 

Baca Juga: Belajar dari TikTok, Pahami Fungsi Kebijakan Privasi

Pengaturan Mengenai Social Commerce di Indonesia Berdasarkan Permendag No.31/2023

Pasal 1 

Bila mengaitkan pengertian dari PMSE, social commerce, dan Perizinan Berusaha Bidang PMSE pada Pasal 1 angka 2, angka 17, dan angka 24 dengan ditutupnya TikTok Shop, maka sudah jelas bahwa kehadiran TikTok Shop belum sesuai dengan ketentuan dari social commerce itu sendiri. Di mana, aplikasi media sosial TikTok ini tidak bisa memperdagangkan produk atau jasa secara langsung layaknya e-commerce.

Media sosial hanya bisa digunakan sebagai platform promosi barang/jasa dan transaksi jual beli harus tetap dilakukan di situs resmi atau marketplace. Apabila TikTok Shop ingin tetap beroperasi, maka harus mempunyai Perizinan Berusaha Bidang PMSE dan terpisah dari aplikasi TikTok sendiri, agar tidak seluruh algoritma dikuasai oleh social commerce. 

Pasal 3 

Selanjutnya, Pasal 3 menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memiliki perizinan berusaha dalam melakukan kegiatan usaha di sektor perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berbasis risiko.

TikTok Shop, sebuah fitur dalam aplikasi TikTok yang memungkinkan para pengguna dan kreator untuk memasarkan dan menjual produk mereka, telah ditutup di Indonesia pada 4

Oktober 2023 pukul 17.00 WIB. TikTok Shop ditutup terkait masalah perizinan, karena platform ini hanya memiliki izin KP3A yang tidak boleh berdagang.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menegaskan bahwa TikTok Shop harus memiliki izin berdagang sesuai dengan aturan hukum di Indonesia. Dengan penutupan TikTok Shop, para pedagang yang menggunakan platform ini diharapkan akan menjual di multiplatform, seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. 

Baca Juga: Di Balik Tabir Kebijakan Pembatasan Social Commerce di Indonesia: Dampak, Tantangan, dan Potensi terhadap Keseimbangan Ekosistem Perdagangan

Pasal 4 

Kemudian, dijelaskan pada pada Pasal 8 dalam konteks penutupan TikTok Shop, hal ini menyoroti pentingnya Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan perlunya perizinan yang sesuai untuk entitas bisnis yang beroperasi sebagai platform digital komersial.

Ketika sebuah platform seperti TikTok Shop tidak memperoleh perizinan yang diperlukan sesuai klasifikasi dan ketentuan yang diatur oleh Permendag No.31/2023, maka penutupan menjadi salah satu langkah dalam menegakkan aturan terkait perizinan usaha.

KBLI adalah pengklasifikasi yang digunakan untuk menghasilkan produk/output, baik berupa barang maupun jasa, berdasarkan lapangan usaha untuk memberikan keseragaman konsep, definisi, dan klasifikasi lapangan usaha dalam perkembangan dan pergeseran kegiatan ekonomi di Indonesia. Dalam hal ini, KBLI digunakan oleh TikTok Shop untuk memastikan bahwa mereka mematuhi aturan dan hukum yang berlaku di Indonesia. 

Pasal 21 

Dalam hal ini, Pasal 21 menitikberatkan bahwa social commerce dilarang untuk memfasilitasi pembayaran pada aplikasi serta dilarang untuk bertindak sebagai produsen. TikTok Shop hanya boleh menampilkan konten promosi atau iklan, akan tetapi dilarang membuka fasilitas transaksi alias jual beli bagi pengguna. Produk yang dijual di TikTok Shop juga harus mematuhi regulasi dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Melihat dari praktiknya, fitur TikTok Shop memfasilitasi para pembeli untuk melakukan transaksi langsung di aplikasi yang sama seperti e-commerce lain, contohnya Shopee, Tokopedia, dan lain-lain. Tentunya hal tersebut dilarang secara tegas dalam pasal ini. TikTok Indonesia kemudian memutuskan untuk menutup fitur TikTok Shop di Indonesia per tanggal 4 Oktober 2023 demi mematuhi serta menghormati aturan hukum yang berlaku. 

Baca Juga: Anomali Regulasi Social Commerce di Indonesia yang Tergesa-Gesa, Akankah Efektif?

Perbedaan E-Commerce dan Social Commerce

E-commerce dan social commerce berbeda dalam pendekatan serta cara transaksi jual beli online.

Dalam hal ini, e-commerce memanfaatkan platform khusus berupa website atau aplikasi untuk transaksi. Sementara itu, social commerce lebih menekankan transaksi yang terjadi melalui media sosial

Perbandingan antara e-commerce dan social commerce dapat dilihat dari beberapa aspek, yang meliputi: 

Transaksi

E-commerce lebih praktis dalam transaksi, sehingga memungkinkan pembeli untuk melakukan transaksi secara langsung melalui platform yang disediakan. Sementara pada social commerce, proses jual beli terjadi melalui interaksi langsung antara penjual dan pembeli di media sosial.

Review (ulasan)

Pada e-commerce, ulasan memiliki peran besar dalam menentukan reputasi penjual. Sedangkan pada social commerce, ulasan cenderung lebih disaring karena terlihat oleh pengguna lain dan mempengaruhi calon pembeli.

Baca Juga: Problematika Peraturan Menteri Perdagangan No.31 Tahun 2023 terhadap Eksistensi Social Commerce di Indonesia

Pemasaran

E-commerce fokus pada periklanan dan optimisasi mesin pencari untuk memperluas jangkauan. Sementara social commerce bergantung pada platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok untuk berinteraksi dengan pembeli.

Biaya

Social commerce sering kali lebih ekonomis karena tidak memerlukan biaya besar untuk pembangunan dan pemeliharaan aplikasi atau website seperti yang diperlukan dalam e-commerce.

Interaksi

Pada e-commerce, interaksi antara penjual dan pembeli terjadi melalui situs website khusus. Sementara pada social commerce, pembeli dapat berinteraksi secara langsung dengan penjual saat transaksi. 

Baca Juga: Menelaah Urgensi Menteri Perdagangan dalam Perubahan Regulasi Social Commerce: E-Commerce dan Social Media Harus Dipisah?

Secara umum, e-commerce tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar orang dalam berbelanja. Namun, social commerce juga tumbuh pesat dan dengan variasi karakter antar generasi, sehingga menjadi alternatif yang menarik bagi sebagian orang. 

Mengenai Kasus Fake Buyer pada TikTok Shop 

Kejadian fake buyer pada TikTok Shop adalah taktik pemasaran yang dimanfaatkan oleh para penjual guna meningkatkan jumlah penonton dalam sesi siaran langsung serta meningkatkan lalu lintas penjualan, peringkat, dan testimoni.

Fake buyer adalah individu yang berperan sebagai pembeli palsu yang direkrut oleh penjual dengan imbalan tertentu. Dalam konteks TikTok Shop, para fake buyer ini akan bergabung dalam kelompok pekerja lepas yang fokus pada platform obrolan dan melakukan transaksi dengan sistem pembayaran Cash on Delivery (COD).

Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh fake buyer dalam transaksi jual beli online

  1. Fake buyer akan bergabung dalam sebuah grup freelance yang fokus pada aplikasi obrolan; 
  2. Setiap fake buyer harus beraksi ketika live di e-commerce tertentu. Pembayaran untuk para fake buyer ini dilakukan dengan sistem COD (Cash on Delivery); c. Seller dan ekspedisi akan berkolaborasi untuk mengirimkan produk kepada fake buyer; dan 
  3. Fake buyer dapat mendapatkan upah hingga 1,5 juta perbulan dengan sistem ini. 

Meskipun strategi ini dapat meningkatkan jumlah penonton live dan rating toko, tetapi penggunaan fake buyer dapat merusak reputasi jangka panjang dan kepercayaan customer. Oleh karena itu, penting bagi para penjual untuk menghindari penggunaan fake buyer dan melindungi diri dari risiko kehilangan. 

Baca Juga: Hindari Penipuan, Shopee Luncurkan Fitur “Cek Fakta” 

Apakah TikTok Shop termasuk Tindakan Dumping

Saat ini, persaingan usaha di Indonesia menjadi semakin kompleks karena kita dihadapkan oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat dan kita hidup di era digitalisasi. Di mana, dalam melakukan praktik perdagangan jual beli dapat dilakukan secara online melalui aplikasi.

Dalam menghadapi digitalisasi ini kita tentunya harus siap dengan segala risiko yang nantinya akan ditimbulkan dari praktik jual beli online ini. Munculnya social commerce menjadi bukti dari adanya perkembangan teknologi dalam sektor perdagangan secara online. 

Social commerce juga memungkinkan konsumen membeli, mencari produk, melakukan transaksi dengan mudah, dan yang paling penting adalah konsumen dapat menemukan produk-produk yang jauh lebih murah dengan yang ada pada offline store atau marketplace lain. Saat ini, di Indonesia banyak masyarakat yang menggunakan TikTok Shop sebagai aplikasi dalam melakukan transaksi jual beli. 

Baca Juga: Menyoal Jual Beli Barang Mystery Box di Marketplace dalam Hukum Perdata Indonesia

Pada Juli 2023, melansir dari databoks.katadata.co.id, ditunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara kedua dengan pengguna TikTok Shop tertinggi di dunia (99,8 juta pengguna) setelah Amerika Serikat. Hal tersebut membuat fitur TikTok Shop juga banyak digunakan.

Namun, dengan adanya fitur tersebut dan barang-barang yang dijual pun cukup murah, muncul dugaan bahwa TikTok Shop melakukan praktik dumping dengan mengekspor barang dari negara asalnya, yaitu Cina. Akhirnya, Cina pun dapat memasarkan produk-produk mereka dengan harga yang lebih murah di Indonesia.

Tentunya hal tersebut menuai pro kontra, apalagi di kalangan penjual UMKM yang merasa barangnya kalah saing dengan meningkatnya produk luar negeri yang harga jualnya jauh lebih murah. Tak sedikit penjual UMKM yang gulung tikar karena tidak bisa bersaing dengan penjual social commerce. 

Menyusul dugaan adanya praktik dumping tersebut, TikTok Indonesia angkat bicara dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak melakukan dumping dan tidak melakukan cross-border business atau sebuah layanan yang bisa membantu transaksi internasional termasuk ekspor dan impor menjadi lebih mudah. TikTok Indonesia pun menambahkan bahwa produk-produk yang dijual di TikTok Shop merupakan produk lokal.

Menindaklanjuti hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan Permendag No.31/2023 guna memperketat regulasi hukum dalam perdagangan berbasis digital dan menutup TikTok Shop di Indonesia sebagai aplikasi transaksi jual-beli dan hanya memperbolehkan TikTok sebagai media promosi bagi para pelaku usaha dalam mempromosikan produk-produknya. 

Baca Juga: Lindungi UMKM, Shopee Cs Dilarang Jual Barang Impor di Bawah Rp1,5 Juta

Kesimpulan

Adanya penutupan TikTok Shop di Indonesia dikarenakan ketidaksesuaian dengan aturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023. Penutupan ini diambil untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi perdagangan elektronik yang baru dikeluarkan, yang bertujuan mengatur, melindungi konsumen, dan mengatur tanggung jawab badan usaha dalam transaksi online

Ada beberapa dampak yang muncul dari penutupan ini. Meskipun ditutup dengan alasan perlindungan UMKM dari persaingan harga yang tidak sehat, banyak dari UMKM yang sudah tergantung pada TikTok Shop dalam menjalankan bisnis mereka. Meskipun mereka masih dapat memanfaatkan platform lain dan media sosial untuk promosi, kehilangan TikTok Shop berarti kehilangan jangkauan pasar yang luas, serta memerlukan strategi pemasaran baru. UKM Indonesia memiliki persaingan yang setara di dunia digital. 

Pemilik platform digital perlu bersikap transparan dan tidak memanipulasi algoritmanya guna meraih keuntungan yang tidak adil. Saat ini, keberadaan platform seperti TikTok Shop memudahkan operasional para pelaku usaha, khususnya UMKM. Meskipun demikian, pengaturan yang jelas dan adil sangat penting untuk memastikan manfaat yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Dengan tata kelola yang baik, hubungan antara media

sosial dan e-commerce dapat berkembang secara seimbang, memberikan kesempatan bagi usaha kecil untuk tumbuh dalam ekosistem digital yang semakin kompleks. 

Peraturan yang baru diterapkan secara ketat dan spesifik, seperti larangan social commerce dalam memudahkan transaksi pembayaran di platform elektroniknya serta menekankan pentingnya kepatuhan dalam perdagangan online. Pemerintah berupaya untuk memastikan bahwa setiap entitas usaha yang beroperasi sebagai platform digital komersial harus memenuhi regulasi yang berlaku.

Terkait dengan praktik dumping yang dianggap terjadi dalam TikTok Shop, pemerintah menanggapi dengan ketat dengan menutup platform ini untuk transaksi jual beli. Hal ini pun menggarisbawahi pentingnya aturan yang jelas dan ketat untuk mengatur perdagangan online guna melindungi UMKM dan menjaga keseimbangan harga di pasar. 

Baca Juga: GoPay Resmi Punya Aplikasi Sendiri, Ini Alasannya!

Saran

  1. Pemerintah harus tetap memastikan bahwa regulasi yang diberlakukan dalam perdagangan online terus diperbarui dan diperbaiki agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan dinamika bisnis; 
  2. Para UMKM dan penjual perlu mencari alternatif platform perdagangan online yang sesuai dengan regulasi untuk berjualan. Ini bisa mencakup marketplace resmi dan platform media sosial sebagai alat promosi; 
  3. Konsumen harus tetap waspada terhadap penipuan online dan pastikan bahwa mereka membeli dari penjual yang terpercaya; dan 
  4. Para pelaku bisnis perlu selalu mematuhi aturan dan regulasi yang berlaku dalam perdagangan online.

Baca Juga: Revisi Aturan Social Commerce Tidak Segera Disahkan, Kemendag Buka Suara

Daftar Pustaka

Jurnal 

Muhamad Hasan Sebyar, “Pengaruh Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) Nomor 31 Tahun 2023 terhadap Perkembangan E-commerce di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum dan Sosial, Vol.1, No.4 November 2023. 

Irma Ambarini Darmawan, Isis Ikhwansyah, Pupung Faisal, “Cross-Border Business Competition: Keabsahan dan Hambatan Penerapan Prinsip Ekstrateritorial Dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 1, September 2018. 

Rujukan Elektronik 

Cindy Mutia Annur, “TikTok Shop Ditutup Hari Ini, Berapa Jumlah Pengguna TikTok di Indonesia?”, 2023, 

<https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/04/tiktok-shop-ditutup-hari-ini berapa-jumlah-pengguna-tiktok-di-indonesia>, [diakses pada 10/11/2023]. 

Puspa Indah Rahayu, Mengguncang Pasar UMKM: TikTok Shop dan Era E-commerce yang Baru”, 2023, 

<https://www.kompasiana.com/puspaindahr3059/650c9546856e0a514e05f902/men gguncang-pasar-umkm-tiktok-shop-dan-era-e-commerce-yang-baru?page=all#secti on2>, [diakses pada 10/11/2023]. 

Bayu Samudra, 2023, “Penutupan TikTok Shop dan Dampaknya bagi UMKM dan Ekonomi Indonesia”, 

<https://katanetizen.kompas.com/read/2023/10/06/100347785/penutupan-tiktok-shp -dan-dampaknya-bagi-umkm-dan-ekonomi-indonesia> [diakses pada 10/11/2023]. 

Isti Yogiswandani, 2023, Dampak Tutupnya TikTok Shop bagi UMKM di Indonesia”, <https://www.kompasiana.com/stiven4838/652cf1d5ee794a12cc7e7d63/dampak-tut upnya-tiktok-shop-bagi-umkm-di-indonesia> [diakses pada 10/11/2023]. 

Galuh Putri Riyanto dan Wahyunanda Kusuma Pertiwi, 2023, Pemerintah RI Larang Transaksi di TikTok, Hanya Boleh Promosi”, 

<https://tekno.kompas.com/read/2023/09/26/09500097/pemerintah-ri-larang-transa

ksi-di-tiktok-hanya-boleh-promosi?page=all#google_vignette> [diakses pada 10/11/2023]. 

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Varsha Savilla Akbari Candra Suradipraja, Deva Sinta Rahmawati, dan Valerie Angelita. 

Artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Klik Legal.

BA

Dipromosikan