Anomali Regulasi Social Commerce di Indonesia yang Tergesa-Gesa, Akankah Efektif?

Anomali Regulasi Social Commerce di Indonesia yang Tergesa-Gesa, Akankah Efektif?

Anomali Regulasi Social Commerce di Indonesia yang Tergesa-Gesa, Akankah Efektif?

Saat ini, teknologi informasi memiliki suatu peran yang strategis pada era globalisasi. Tidak dapat dipungkiri, dampak dari globalisasi ini memengaruhi hampir setiap bidang kehidupan manusia yang diisi oleh manfaat dan bantuan dari teknologi, salah satunya dalam hal jual beli atau perdagangan. Adanya teknologi yang berkembang saat ini menciptakan perdagangan secara elektronik yang kemudian merambah sebagai suatu ruang bisnis digital.

Di Indonesia sendiri, perkembangan perdagangan secara elektronik atau kerap disebut e-commerce atau marketplace, tumbuh dengan pesat pada seluruh aspek dunia bisnis. Dengan adanya e-commerce, baik pelaku usaha maupun konsumen, keduanya sama-sama mendapatkan kemudahan dalam transaksi jual beli.

Kegiatan jual beli yang dulunya hanya dapat dilakukan secara tatap muka (konvensional) kini dapat dilakukan melalui ruang virtual (cyberspace). Seiring dengan berkembangnya zaman, e-commerce ini kemudian terus berkembang dan mengikuti arah pesatnya penggunaan media sosial hingga memunculkan suatu bentuk baru yang bernama social commerce. Social commerce sendiri berbeda dengan e-commerce, ia lebih mengacu pada praktik memasarkan dan menjual suatu produk melalui platform media sosial. 

Keberadaan social commerce merupakan perpaduan dari perkembangan e-commerce dan media sosial yang memanfaatkan aspek sosial untuk meningkatkan interaksi dan transaksi antara penjual dan pembeli. Beberapa media sosial yang kerap dimanfaatkan sebagai social commerce tersebut adalah WhatsApp Business, TikTok Shop, Instagram, dan Facebook.

Pangsa pasar melalui sosial media ini sangat menjanjikan karena saat ini setiap orang tidak pernah lepas dari penggunaan sosial media. Dari sosial media tersebut, para penjual dapat memasarkan produknya secara langsung, ditambah dengan teknologi yang dapat menciptakan algoritma membuat pengguna sosial media dapat melihat beberapa barang yang sedang diminati atau ingin dibeli, belum lagi dengan penawaran harga yang jauh lebih rendah. Hal itu terbukti dengan peningkatan hasil penjualan dari social commerce seperti TikTok yang mencapai Rp886.231.400 dan akan terus meningkat (Supriyanto 2023).

Baca Juga: Belajar dari TikTok, Pahami Fungsi Kebijakan Privasi

Namun, di balik pesatnya perkembangan social commerce ini, terdapat persoalan dalam pengaturannya. Hukum yang ada di Indonesia kini tampaknya sangat jauh tertinggal dengan praktik perdagangan social commerce yang melaju sangat cepat. Perangkat hukum yang ada belum mampu untuk menjangkau pengaturan aktivitas social commerce di Indonesia.

Salah satu kasus yang menjadi titik awal dari urgensi pengaturan social commerce di Indonesia adalah penutupan fitur TikTok Shop pada 4 Oktober 2023 lalu. Berita TikTok Shop pertama kali ramai lantaran banyaknya keluhan dari para pedagang konvensional (offline), yang beranggapan bahwa harga jual barang di TikTok Shop terlalu rendah dan jauh dari harga pasar. Akibatnya, para pedagang konvensional ini tidak mampu bersaing dengan harga yang jatuh tersebut. Tidak hanya itu, hal utama yang mematikan pasar adalah algoritma yang dihasilkan dari pengguna media sosial ini yang dapat memonopoli pasar dan menggeser pedagang lainnya.

Demi mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Permendag No.31/2023), yang secara langsung akan mengisi kekosongan hukum terkait aktivitas social commerce di Indonesia. Peraturan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar dari penutupan TikTok Shop di Indonesia. 

Baca Juga: Khawatir Mata-Mata, Amerika Serikat Blokir TikTok

Regulasi Social Commerce dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.31 Tahun 2023

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, tren social commerce mengalami peningkatan yang begitu pesat. Hal ini lantaran penggunaan social commerce di Indonesia turut dipengaruhi oleh fitur dan model layanan yang diberikan oleh media sosial terkait.

Sebagai contoh, sebelum penggunaannya dilarang, TikTok menyediakan fitur TikTok Shopping dan Product Showcase. Kedua fitur ini memungkinkan pengguna atau konsumen untuk melihat serta membeli secara langsung berbagai barang yang dipasarkan. Artinya, konsumen hanya perlu mengakses satu media sosial untuk dapat menjelajahi servis serta produk yang dipromosikan oleh penjual, kerabat, ataupun influencer yang diikuti. Kemudahan akses ini ternyata memberikan pengalaman berbelanja yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya, seperti halnya menciptakan koneksi yang lebih personal antara penjual dengan pembeli maupun antara pembeli dengan pembeli lainnya. 

Fitur TikTok Shopping memberikan keleluasaan bagi pedagang dalam menjual produk-produknya dengan memungkinkan pembuatan berbagai bentuk konten. Keleluasaan juga dirasakan oleh TikTok sebagai PSE, yakni dapat dengan mudah menggunakan data pribadi para penggunanya. Hal ini memberikan peluang besar bagi TikTok untuk menyesuaikan algoritma yang dapat mendorong penggunanya agar melihat secara berulang produk-produk yang cenderung disukai, sampai akhirnya melakukan transaksi jual beli. 

Baca Juga: CEO TikTok ke Indonesia, Pakar Bahas Aturan Social Commerce

Lahirnya Permendag No.13/2023 sebagai regulasi merupakan respons pemerintah atas dinamika perdagangan berbasis sistem elektronik tersebut, salah satunya mengenai social commerce. Sebagai regulasi sektoral, Permendag No.13/2023 ini menambah ketentuan baru dengan memasukan pengaturan mengenai social commerce.

Social commerce didefinisikan oleh Pasal 1 angka 17 Permendag No.13/2023 sebagai penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang (merchant) dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa. Definisi ini memperlihatkan bahwa social commerce tidak memegang peranan sebagai pedagang, tetapi hanya sebagai sarana pemasaran.

Kemudian, Pasal 2 Permendag No.13/2023 menentukan bahwa social commerce merupakan salah satu model bisnis yang dapat dipilih oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagai pelaku usaha, baik PPMSE dalam negeri maupun luar negeri. Dengan begitu, setiap orang perorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha menggunakan transaksi elektronik bisa memanfaatkan social commerce.

Pemanfaatan yang dimaksud ialah dengan memasang iklan berupa penawaran barang dan/atau jasa dari merchant tertentu. Barang dan/atau jasa yang dipromosikan pada social commerce harus memenuhi standar persyaratan teknis dan ketentuan perpajakan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Permendag No.13/2023. 

Pengaturan lainnya, yaitu Pasal 21 ayat (2) Permendag No.13/2023 menegaskan larangan bagi social commerce untuk bertindak sebagai produsen. Merujuk pada peraturan perundang-undangan di bidang distribusi barang, produsen yang dimaksud ialah pelaku usaha yang memproduksi barang. Perlu kita perhatikan bahwa ketentuan ini bersifat asertif dalam menerangkan kedudukan social commerce, yakni hanya sebagai penyedia fitur atau fasilitas untuk memasang penawaran barang maupun jasa, bukan sebagai pihak yang melakukan suatu produksi.

Ketentuan ini selaras dengan maksud pembentukan Permendag No.13/2023 untuk membatasi lingkup kegiatan usaha media sosial agar tidak menciptakan persaingan niaga yang tidak seimbang antara dunia perdagangan berbasis elektronik dengan dunia perdagangan konvensional. Lebih jauh, ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi monopoli pasar melalui pemanfaatan algoritma media sosial atas pengolahan data pribadi. Selain itu, social commerce kini juga tidak diperkenankan untuk menyediakan fasilitas bagi transaksi pembayaran, sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) Permendag No.13/2023. 

Berbagai aturan mengenai social commerce yang termuat dalam Permendag No.13/2023 kian memperjelas maksud pemerintah untuk memisahkan praktik jual beli pada e-commerce dengan media sosial. Sebagai konsekuensinya, aplikasi media sosial yang hanya mengantongi izin sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) tidak dapat lagi melakukan transaksi jual beli barang dan/atau jasa. Jika ingin tetap menyelenggarakan perdagangan, PSE tersebut harus melakukannya pada e-commerce yang dapat ditempuh melalui kerja sama dengan e-commerce lain yang sudah ada atau membentuk e-commerce sendiri sebagai sistem elektronik terpisah dengan media sosialnya. 

Baca Juga: Dinilai Ancam UMKM Lokal, Project S TikTok Jadi Perhatian DPR

Belum Adanya Kepastian Pelindungan Data dalam Social Commerce

Sebelum membahas perihal kedudukan social commerce, perlu kita pahami terlebih dahulu apa yang menjadi tendensi pengesahan regulasi Permendag No.13/2023, khususnya dalam hal social commerce itu sendiri.

Social commerce adalah salah satu bentuk peningkatan fungsi media sosial yang menjadi ruang bagi para users untuk di saat yang sama dapat melakukan kegiatan perdagangan. Artinya, social commerce juga bisa kita anggap sebagai konvergensi antara social media dan e-commerce (Widadatul Ulya: 2023).

Namun, menurut Permendag No.13/2023 tidak demikian. Jika kita mengacu pada definisinya sebagaimana diuraikan di atas, social commerce hanya diartikan sebagai “media promosi”, alih-alih media perdagangan.

Melalui definisi tersebut, ditemukan bahwa terminologi social commerce sebagai bentuk konvergensi antara social media dan e-commerce dengan terminologi social commerce yang dimaksud oleh Permendag No.13/2023 tersebut sangatlah berbeda. Permendag No.13/2023 itu bertendensi bahwa media sosial bukanlah media “dagang”, sehingga tidak bisa digunakan sebagai platform jual beli. 

Baca Juga: Social Commerce bakal Dikenakan Pajak, TikTok Beri Dukungan

Uniknya, salah satu semangat mengapa Permendag No.13/2023 ini diciptakan adalah untuk membatasi gerak-gerik ­social commerce untuk sesederhana sebagai “media promosi”.

Dalam salah satu diskusi yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Juan P. Adoe, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kewirausahaan Aldi Haryopratomo, dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Komunikasi dan Informasi Firlie H. Ganinduto berpandangan bahwa social commerce tetap harus menjunjung tinggi sistem interoperability dan interconnectivity (KADIN Indonesia: 2023).

Sederhananya, sistem ini membuka peluang bagi para konsumen untuk bebas memilih platform e-commerce lainnya untuk berbelanja, mengingat social commerce tidak lagi diperkenankan mengakomodir kegiatan transaksi. Baik itu sister apps maupun aplikasi lain, artinya dengan kebebasan memilih platform ini, maka platform social commerce dengan e-commerce akan sering melakukan pertukaran data pribadi para pengguna (konsumen). 

Perlu digarisbawahi bahwa kasus-kasus kebocoran data dalam pertukaran data pribadi dalam transaksi elektronik bukanlah hal yang tabu. Memang dalam regulasi Pasal 26 Permendag No.13/2023, dinyatakan bahwa social commerce sebagai media iklan wajib tunduk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

Namun, harus kita perhatikan bahwa sejak disahkan hingga saat ini, UU PDP masih memiliki banyak tantangan yang belum juga terjawab. Salah satunya adalah pemrosesan data pribadi anak yang sampai saat ini belum diatur secara jelas.

Jika Permendag No.13/2023 ini mendasarkan tanggung jawab pemrosesan data pribadi anak ini kepada UU PDP, sedangkan UU PDP sendiri belum mengaturnya, lantas aturan mana yang akan melindungi kewajiban-kewajiban social commerce sebagai prosesor data pribadi anak? Sebab, perlu ditekankan bahwa menurut Data Business of Apps, 14,4% pengguna TikTok Shop (salah satu social commerce) adalah anak berusia 13-17 tahun (Santika: 2023).

Baca Juga: Menelaah Urgensi Menteri Perdagangan dalam Perubahan Regulasi Social Commerce: E-Commerce dan Social Media Harus Dipisah?

Keamanan Data Belum Diatur secara Mendalam

Kemudian, merespon pertanggungjawaban social commerce dengan platform e-commerce sebagai pengendali dan prosesor data pribadi, maka aturan tersebut belum menjawab permasalahan-permasalahan pelindungan data pribadi. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, memang menyampaikan bahwa pemisahan antara social commerce dengan e-commerce ini adalah salah satunya untuk mencegah penyalahgunaan data dan adanya monopoli algoritma (Santika: 2023).

Namun, semakin banyak pihak yang terlibat dalam pemrosesan data pribadi, akan semakin banyak juga potensi ancaman adanya kebocoran data, penyalahgunaan data, atau bahkan penjualan data. Sebab, baik antara social commerce maupun e-commerce yang bersangkutan, belum tentu keduanya memiliki standar keamanan data yang setara atau setidaknya memadai. Ini jugalah yang menjadi tantangan bagi iklim perdagangan melalui e-commerce, lantaran hingga kini Indonesia belum memiliki data security standard yang ajeg.

Terlebih, Permendag No.13/2023 ini tidak dapat memberikan solusi atas adanya kekosongan aturan ini, mengingat hal demikian seharusnya diatur dalam aturan setingkat undang-undang atau peraturan pemerintah.

Baca Juga: Problematika Peraturan Menteri Perdagangan No.31 Tahun 2023 terhadap Eksistensi Social Commerce di Indonesia

Pembentukan Regulasi Tidak Komprehensif akibat Proses Tergesa-gesa

Pasal-pasal mengenai social commerce pada Permendag No.13/2023 tidak memperlihatkan pengaturan yang menyeluruh. Pemerintah beralasan bahwa dikeluarkannya peraturan ini untuk menjawab keresahan UMKM konvensional yang merasa dirugikan akibat perdagangan pada media sosial yang selama terjadinya mengarah pada monopoli pasar. Kekhawatiran adanya monopoli pasar berlandaskan pada “keuntungan” media sosial untuk memanfaatkan data pribadi para penggunanya dengan membentuk suatu algoritma yang dapat memperlihatkan preferensi produk serta rentang harga dari penggunanya. 

Sebaliknya, pandangan bahwa kehadiran social commerce, terutama TikTok Shop, memberikan potensi negatif bagi iklim perdagangan UMKM di Indonesia tidak sepenuhnya benar. Alshaf Pebrianggara selaku Ketua Program Studi Manajemen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), menyampaikan bahwa kehadiran TikTok Shop dan bentuk-bentuk social commerce lainnya justru tidak merusak pasar, tetapi mendongkrak kedudukan UMKM agar mendapatkan pasar yang jauh lebih luas (Romadhona: 2023). Alshaf juga kembali menambahkan bahwa pengaturan mengenai social commerce ini seharusnya tidak sampai adanya pembubaran Tiktok Shop, tetapi dengan pengaturan secara komprehensif agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh social commerce turut serta membangun perekonomian kecil dan menengah dalam ruang lingkup nasional.

Demi mencapai terciptanya iklim perdagangan melalui media semacam ini yang sehat, maka perlu diperhatikan penguatan-penguatan sektoral yang menjadi pondasi untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang menguntungkan semua pihak, atau seminimal-minimalnya tidak memberikan kerugian bagi salah satu komponen yang terlibat. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan perindustrian juga mengalami globalisasi secara masif.

Artinya, pembukaan pasar global akan menciptakan peluang yang besar bagi para pelaku usaha, baik domestik maupun mancanegara. Aturan perundang-undangan seharusnya bisa memelihara fair trade, atau perdagangan yang sehat, agar tidak ditemukan di kemudian hari adanya monopoli pasar oleh perusahaan raksasa (Budhijanto: 2010), dan inilah yang menjadi semangat dibentuknya Permendag No.13/2023 tersebut.

Namun, mengingat masih ada aturan-aturan dari perundang-undangan yang menjadi induk dari Permendag No.13/2023 ini, misalnya UU PDP, yang belum secara komprehensif mengatur perihal PDP, maka melalui Permendag No.13/2023 ini diharapkan ada mekanisme-mekanisme yang secara integral mengenai data pribadi tersebut. Penguatan-penguatan ini perlu diperhatikan, sehingga perdagangan yang terjadi dalam ranah social commerce pun tidak luntang-lantung akibat kosongnya perlindungan hukum. 

Baca Juga: Revisi Aturan Social Commerce Tidak Segera Disahkan, Kemendag Buka Suara

Di sisi lain, peran social commerce untuk mendongkrak UMKM pun harus dipastikan dan dikontrol keberlangsungannya. Oleh karena itu, pengawasan-pengawasan oleh otoritas terkait perlu dilakukan secara integral, untuk memastikan apakah memang aturan-aturan yang ada dalam Permendag No.13/2023 ini telah dijalankan sebagaimana mestinya.

Dari tampaknya banyak kekosongan ini, tentu terlihat bahwa pembentukan Permendag No.13/2023 agak sedikit terburu-buru. Kendati demikian, Permendag No.13/2023 merupakan batu loncatan yang baik untuk memberikan perlindungan perdagangan melalui media sosial.

Namun, alangkah lebih baiknya, Permendag No.13/2023 terus mengalami pembaharuan yang mengikuti kebutuhan perdagangan. Sebab, Permendag No.13/2023 dirasa belum bisa memberikan perlindungan dalam jangka panjang, mengingat perkembangan teknologi di dunia serba digital ini bisa terjadi hanya dalam kedipan mata (Budhijanto: 2010).

Padahal, dengan fenomena yang terjadi sekarang, lahirnya peraturan ini diharapkan dapat dirumuskan dengan saksama serta melibatkan segala pihak yang terlibat dan menjadi jawaban dari segala permasalahan yang timbul dari aktivitas social commerce di Indonesia. 

Baca Juga: Pemerintah Berencana Atur Cross-Border Selling E-Commerce

Kesimpulan

Kelahiran social commerce sebagai perpaduan dari perkembangan e-commerce dan media sosial menjadi tren baru yang berkembang cukup pesat dalam perdagangan Indonesia. Terdapat setidaknya dua hal yang menjadikan penggunaan social commerce ini terus berkembang begitu pesat.

Pertama, dari fitur dan model layanan yang memudahkan konsumen untuk dapat menjelajahi produk dengan mengakses satu media sosial saja. Kedua, dengan teknologi algoritma yang diciptakan oleh platform social commerce menjadikan pengguna dapat melihat berulang produk yang cenderung disukainya.

Sebagai respons pemerintah atas pesatnya perkembangan social commerce di Indonesia, maka lahirlah Permendag No.13/2023. Secara garis besar, peraturan ini lahir untuk memperjelas maksud pemerintah dalam memisahkan praktik jual beli pada e-commerce dengan media sosial, sehingga dalam hal ini social commerce tidak diperbolehkan untuk melakukan produksi dan transaksi jual beli secara langsung.

Namun, apabila dilihat dari segi substansinya, pembentukan Permendag No.13/2023 terlihat terburu-buru karena dengan waktu perumusannya yang cukup singkat, masih terdapat banyak kekosongan hukum. Beberapa di antaranya, Permendag No.13/2023 terlihat begitu sempit karena hanya merujuk pada peraturan undang-undangan, yang mana undang-undang tersebut juga belum mampu menjawab permasalahan yang ada.

Selain itu, terdapat materi-materi yang belum diatur dalam Permendag No.13/2023, seperti terkait pertanggungjawaban pengelolaan data pribadi konsumen. Artinya, jika hal ini belum diatur sama saja akan terjadi monopoli data dalam penggunaan social commerce nantinya. Dengan kekurangan yang ada tersebut, membuat lahirnya Permendag No.13/2023 terlihat tidak komprehensif dan belum mampu untuk menjadi jalan keluar dari permasalahan yang timbul dari aktivitas social commerce di Indonesia.

Baca Juga: Lindungi UMKM, Shopee Cs Dilarang Jual Barang Impor di Bawah Rp1,5 Juta

Saran

Dalam rangka menyikapi hal ini, penulis memiliki beberapa saran yang diharapkan dapat berguna sebagai respons atas regulasi Permendag No.13/2023 terkait social commerce tersebut, yaitu meliputi:

  1. Perlunya regulasi yang mengatur secara lebih komprehensif mengenai kedudukan social commerce dengan memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan erat dengan perdagangan melalui sistem elektronik, karena Permendag No.13/2023 ini hanya memberikan pembeda antara social commerce dan e-commerce.
  2. Penguatan aturan sektor-sektor terkait dalam rangka penyelenggaraan social commerce sangat diperlukan, mengingat masih ada hal-hal yang dirujuk oleh Permendag No.13/2023 tersebut kepada peraturan perundang-undangan lain, sedangkan dalam aturan rujukan pun masih belum menjawab permasalahan yang ada.
  3. Daya saing UMKM perlu ditingkatkan secara komprehensif, yakni dari sisi pengetahuan dan keahlian berbasis teknologi dan inovasi. Dalam hal ini, diperlukan peran pemerintah dalam memfasilitasi sarana dan program dalam rangka meningkatkan kualitas UMKM. Diperlukan pula pengawasan secara efektif  untuk melindungi UMKM dari monopoli pasar atau persaingan tidak sehat.

Baca Juga: Kemendag Rencana Bahas Aturan Dagang E-commerce UMKM

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Buku

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2010.

Jurnal

Widadatul Ulya, “Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Usaha pada Transaksi Bisnis Social Commerce TikTok Shop (Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam)”, Syariah: Journal of Indonesian Comparative of Syari’ah Law, Vol. 6, No. 1, 2023

Agus Supriyanto, “Penjualan Melalui Tiktok Shop dan Shopee: Menguntungkan yang Mana?”, Scientific Journal of Business and Entrepreneurship, Vol.1, No.1, 2023.

Situs Web

Erlina F. Santika, Kelompok Anak Muda Jadi Pengguna Terbesar TikTok, Usia Berapa Mereka?, Katadata.co.id https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/27/kelompok-anak-muda-jadi-pengguna-terbesar-tiktok-usia-berapa-mereka

KADIN Indonesia, “Diskusi Peraturan Mengenai Social Commerce”, dilansir melalui https://kadin.id/info-advokasi/diskusi-peraturan-mengenai-social-commerce/

Romadhona, “TikTok Shop Bubar, Dosen Umsida: Tak Perlu Dihapus, Tapi Diatur”,  https://umsida.ac.id/dosen-umsida-sarankan-tiktok-shop-tak-perlu-dihapus/

TikTok, “TikTok Shopping dan Showcase”, https://ads.tiktok.com/help/article/tiktok-shopping-and-showcase?lang=id

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Fadhli Ahmad Mujahid, Gabriella Christina Marintan, dan Dzikra Zahira Az Zahra Siregar, para mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 

Artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

BA

Dipromosikan