Direktur Paten Akui Pasal 20 UU Paten Bertentangan dengan TRIPS Agreement

Namun, pertentangan itu dibolehkan sepanjang untuk kepentingan nasional.

Ilustrasi. Sumber Foto: https://i.ytimg.com/

Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang pada Direktorat Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (DJKI Kemenkumham), Dede Mia Yusanti mengakui substansi Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang mewajibkan pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia melanggar Agreement on Trade-Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPS Agreement).

TRIPS Agreement adalah sebuah perjanjian internasional yang berkaitan dengan aspek hak kekayaan intelektual. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Sejatinya, UU itu bertajuk UU Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) di mana TRIPS Agreement ada di dalamnya.

“Ada sih yang dilanggar, tetapi sebetulnya kalau kita baca dengan letterlijk sih ya melanggar. Tetapi kita punya kebijakan lain yang sepanjang untuk kepentingan nasional kan di TRIPS juga boleh. Apalagi untuk public health, itu ada di pasal berapa gitu,” ujar Dede ketika ditemui di Gedung DJKI Kemenkumham, Jakarta, Selasa (6/2). (Baca Juga: Direktur Paten Sebut Ada Semangat Nasionalisme di Balik Pasal 20 UU Paten).

Dede menyebut ketentuan TRIPS yang dinilai dilanggar oleh UU Paten adalah Pasal 27. Hal tersebut memang sempat menjadi perhatian pemerintah ketika menyusun Pasal 20 UU Paten yang mewajibkan pemegang paten wajib membuat produk di Indonesia. “Perhatian pertama adalah Pasal 27 TRIPS sendiri, itu kan disebutkan bahwa tidak boleh ada diskriminasi, apakah itu dibuat secara lokal atau diimpor,” ujarnya.

Secara lengkap, Pasal 27 ayat (1) TRIPS Agreement berbunyi, “Paten harus tersedia dan hak paten dinikmati tanpa diskriminasi berkaitan dengan tempat ditemukannya, di bidang teknologi dan apakah produk tersebut diimpor atau diproduksi di tingkat lokal.” (Baca Juga: Kisah Keberatan Kamar Dagang Amerika terhadap Pasal 20 UU Paten).

Lebih lanjut, Dede menjelaskan bahwa aturan TRIPS tersebut dapat diterima logika. Ia menilai ketentuan tersebut dapat juga melindungi orang Indonesia yang memiliki paten. “Kita juga berpikir balik, bahwa jangan kita selalu berpikir orang yang daftar paten sudah pasti orang luar negeri. Orang dari dalam negeri juga banyak kan yang punya paten,” ujar Dede lagi.

Dede mencontohkan apabila ada Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Universitas di Indonesia yang memiliki paten yang bagus dan didaftarkan di ASEAN, tetapi produknya bisa terhambat apabila negara lain menerapkan serupa Pasal 20 UU Paten yang mewajibkan membuat produk di Indonesia. “Dia nggak bisa ekspor, misalnya ke Malaysia, karena ada aturan di sana, bahwa harus membuat produk di sana,” tukasnya.

“TRIPS mengatur seperti itu karena masuk logikanya juga. Karena satu orang punya pabrik seperti di tempat kita, ya sudah banyak ekspor deh. Misalnya Aqua, mau ekspor ke Malaysia atau negara yang menjadi tujuan untuk menjual produk itu kan cukup ekspor saja. Sebenarnya itu intinya,” jelasnya. (Baca Juga: Kamar Dagang AS, Indeks Kekayaan Intelektual Indonesia pada 2018 Meningkat Jadi 30 Persen).

Dede mengakui bahwa pembentuk UU Paten tentunya sudah mempertimbangkan perjanjian internasional ini. Namun, Pasal 20 UU Paten tetap dilahirkan dengan argumentasi untuk kepentingan nasional. “Oke lah kalau kita bicara masalah perjanjian internasional, tetapi sepanjang untuk kepentingan nasional kita bisa saja berargumen,” tukasnya.

Meski begitu, Dede memiliki harapan agar persoalan tersebut dapat diselesaikan, dan tercipta win win solution antar kepentingan nasional – dalam hal investasi dan penyerapan tenaga kerja – yang ingin dituju Pasal 20 dan mempermudah investor asing masuk. “Kita kan ini memaksa orang untuk berinvestasi, ternyata kan nggak bisa,” ujarnya.

“Mudah-mudahan sih dengan Permen (Peraturan Menteri,-red) Pasal 20 (yang sedang dibahas,-red) paling tidak kita bisa meredam tidak setujuan masyarakat, khususnya investor asing atau pemohon paten asing yang merasa bahwa ketentuan ini tidak sesuai dengan TRIPS dan tidak realistis untuk dilaksanakan,” pungkasnya. (Baca Juga: Ini Sejumlah Solusi Terkait Pasal 20 UU Paten yang Disiapkan Ditjen KI).

(PHB/ASH)

Dipromosikan