Menyelamatkan ‘Garuda’ Dari Jerat Likuidasi

MENYELAMATKAN ‘GARUDA’ DARI JERAT LIKUIDASI

Oleh: Roberto Leiwakabessy, S.H.

Setahun telah berlalu, pandemi Covid-19 belum kunjung selesai. Hampir semua sektor kehidupan mengalami dampak buruk, meskipun di sisi lain, ada pula yang “memanfaatkan” pandemi Covid-19 ini sebagai peluang membangun kemandirian ekonomi. Dampak buruk Covid-19 terutama dialami perusahaan-perusahaan karena pembatasan kegiatan operasional untuk menghindari penyebaran pandemi Covid-19 , termasuk entitas National Flight Carrier kebanggaan Indonesia yaitu PT Garuda Indonesia (persero) Tbk, yang saat ini dikabarkan mengalami kerugian mencapai Rp 70 triliun.

Kerugian puluhan triliun yang dialami perusahaan berplat merah itu, cukup menarik perhatian publik. Melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah menawarkan 4 (empat) opsi yang dapat ditempuh oleh manajemen untuk menyelamatkan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk, dari kebangkrutan, diantaranya:

 

  1.   Terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman/ suntikan ekuitas;
  2. Menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda diantaranya melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU);
  3. Merestrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru dimana perusahaan maskapai baru ini akan mengambil rute domestik Garuda;
  4. Garuda dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan untuk mengisi kekosongan untuk meningkatkan layanan udara bisa dengan pajak bandara/subsidi rute yang terendah.

Kerugian yang dialami emiten berkode GIAA ini diperkirakan akan terus bertambah Rp 1 triliun setiap bulannya. Bahkan demi menjaga agar pasar modal tetap teratur, wajar, dan efisien, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengambil tindakan cepat, yaitu dengan menghentikan sementara (suspend) perdagangan efek PT Garuda Indonesia (persero) Tbk. Karenanya, seluruh stakeholder pun berupaya keras menyelamatkan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk, agar tidak dibubarkan (dilikuidasi).

 

Likuidasi Perseroan Terbatas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), likuidasi didefinisikan sebagai pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada pemegang saham.

Dalam Black’s Law Dictionary 6th Edition, likuidasi diartikan:

“With respect with winding up of affairs of corporation, is process of reducing assets to cash, discharging liabilities and dividing surplus or loss. Occurs when a corporation distributes its net assets to its shareholders and ceases its legal existence.”

Likuidasi atau pembubaran suatu badan usaha perseroan terbatas merupakan hal yang lazim terjadi dalam dunia perusahaan. Secara umum, likuidasi dilakukan sebagai langkah akhir yang ditempuh jika suatu perusahaan terus menerus mengalami kerugian serta tidak adanya prospek yang baik kedepannya bagi perkembangan perusahaan itu sendiri.

Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada BAB X Pasal 142 sampai dengan Pasal 152 telah mengatur mekanisme Pembubaran, Likuidasi, dan Berakhirnya Status Badan Hukum Perseroan. Menurut Pasal 142 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), disebutkan bahwa Pembubaran Perseroan terjadi:

  1.       berdasarkan keputusan RUPS;
  2.       karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
  3.       berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
  6.   karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut pada Pasal 142 ayat (2) huruf a UUPT mensyaratkan pada pokoknya bahwa dalam hal terjadi pembubaran Perseroan terbatas wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator.

 

Menyelamatkan “Garuda” Melalui Penyertaan Modal

Berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Bentuk BUMN dapat berupa badan usaha perseroan (persero) atau badan usaha umum (perum). BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sementara BUMN yang berbentuk perum, seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan

Perbedaan bentuk badan usaha BUMN sebagaimana tersebut, juga memiliki perbedaan dalam hal dilakukan likuidasi. Proses likuidasi terhadap suatu BUMN berbentuk persero diatur dalam ketentuan Bab X dalam  No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sedangkan likuidasi terhadap suatu BUMN berbentuk perum harus memperhatikan ketentuan Bagian ketiga dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara.

PT Garuda Indonesia, Tbk. (persero), merupakan badan usaha milik negara berbentuk perseroan, sehingga mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara. Karenanya, perusahaan penerbangan kebanggaan negara dan bersejarah itu, harus diselamatkan dari ancaman likuidasi dengan cara: pertama, melakukan investigasi secara pro justitia terhadap kerugian yang dialami dan segera mengambil langkah-langkah cepat dan terukur untuk menghindari kerugian yang lebih besar, serta kedua, melakukan tindakan penyertaan modal secara ketat dan bertanggungjawab.

 

 

FL

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Roberto Leiwakabessy, S.H. Praktisi Hukum (advokat). Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan