Marak Penyitaan Akun Media Sosial, Bagaimana Ketentuannya?

Marak Penyitaan Akun Media Sosial, Bagaimana Ketentuannya

Marak Penyitaan Akun Media Sosial, Bagaimana Ketentuannya?

Penyitaan sistem elektronik, khususnya akun, belum memiliki prosedur yang jelas. Apakah dapat menggunakan ketentuan KUHAP sebagaimana penyitaan benda berwujud?

Publik digegerkan dengan penangkapan praktisi kulit dan kecantikan, Richard Lee, pada Rabu pagi (11/08/2021) di kediamannya di Palembang. Penangkapan diabadikan melalui video yang kemudian viral di berbagai platform media sosial. Sebelumnya, nama Richard Lee, mencuat ke publik, karena video-video edukasinya melalui kanal youtube, tentang produk-produk kecantikan berbahaya.

Respon publik mayoritas mendukung Richard, juga menuntut aparat membebaskan Richard, bahkan hingga muncul petisi bertajuk “Selamatkan Tokoh Penyelamat Kaum Wanita Indonesia” yang sudah ditandatangani lebih dari 200 ribu orang. Hingga akhirnya, Richard dibebaskan pada Kamis malam (12/08/2021), setelah dilakukan pemeriksaan.  

Sebelumnya, Richard ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, terkait akses ilegal dan penghilangan barang bukti. Ia mengakses akun Instagram miliknya, yang telah disita oleh aparat sebagai barang bukti, dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan selebriti Kartika Putri.

Richard Lee, bukan tokoh publik satu-satunya yang akunnya disita oleh aparat kepolisian. Ahmad Dhani telah lebih dulu mengalami hal serupa. Pada November 2018 lalu, akun Instagram-nya disita, menyusul penetapannya sebagai tersangka pencemaran nama baik. Kemudian, selebgram, Revina VT yang akun Instagram-nya disita pada Desember 2020 lalu, lagi-lagi karena tersandung kasus pencemaran nama baik.

Di Indonesia, penyitaan akun sebagai barang bukti masih belum terlalu umum, dibandingkan dengan sita uang, motor, atau surat, yang merupakan benda berwujud. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan, seperti, apakah benda tak berwujud seperti akun media sosial dapat disita? Bagaimana prosedur penyitaannya? Bagaimana perbedaannya dengan penyitaan benda berwujud?

Penyitaan menurut KUHAP

Penyitaan dalam hukum pidana diatur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 1 angka 16 KUHAP mendefinisikan penyitaan sebagai, “serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.”

Melihat definisi di atas, tindakan penyidik mengambil alih maupun menyimpan benda-benda bukan miliknya yang berhubungan dengan suatu tindak pidana, termasuk dalam upaya paksa (dwang middelen), yang dilakukan demi kepentingan pembuktian. Upaya paksa ini dapat melanggar HAM, oleh karena itu, pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyitaan tidak dilakukan sembarangan, harus didahului dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) KUHAP). Namun, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan lebih dulu, baru setelah itu wajib segera melapor kepada ketua pengadilan negeri untuk mendapatkan persetujuan. Penyitaan seperti itu, hanya boleh terhadap benda bergerak (Pasal 38 ayat (2) KUHAP).

Selanjutnya, diatur benda-benda yang dapat disita pada Pasal 39 ayat (1) KUHAP, meliputi:

  • Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  • Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  • Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
  • Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
  • Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Benda yang disita, atau bisa disebut benda sitaan, diperlukan sebagai barang bukti dalam pemeriksaan. Benda sitaan berbeda dengan benda rampasan, benda sitaan masih dapat dikembalikan, sementara benda rampasan, dirampas untuk negara. KUHAP mengatur pengembalian benda sitaan, kepada orang atau mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau mereka yang paling berhak, jika:

  • Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
  • Perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
  • Perkara dikesampingkan untuk kepentingan umum atau ditutup demi hukum, kecuali jika benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Berbeda jika perkara sudah diputus, benda sitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam putusan bersangkutan. Namun, benda sitaan dapat menjadi benda rampasan, jika menurut putusan hakim, benda sitaan dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan, dirusak sampai tidak dapat digunakan lagi, atau digunakan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Perihal penyimpanan benda sitaan, diatur bahwa benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) dan dilarang untuk digunakan oleh siapapun. Benda sitaan menjadi tanggung jawab pejabat berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.

Sedangkan, terhadap benda sitaan yang cepat rusak atau membahayakan, sehingga tidak memungkinkan untuk disimpan hingga perkara berkekuatan hukum tetap atau biaya penyimpanan terlalu tinggi, dapat dilakukan pelelangan. Namun, sebisa mungkin sebagian dari benda tersebut disisihkan untuk pembuktian.

Melihat uraian di atas, KUHAP lebih banyak mengakomodir ketentuan penyitaan benda berwujud. Lantas, bagaimana ketentuan penyitaan akun media sosial yang tidak berwujud?

Penyitaan menurut UU ITE

Secara umum, ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia telah diatur oleh KUHAP. Namun, melalui Pasal 284 ayat (2), KUHAP “membuka” kesempatan dikesampingkannya ketentuan pada KUHAP, atas ketentuan instrumen hukum pidana formil lainnya, yang bersifat lebih khusus.

Dengan demikian, KUHAP berdiri sebagai lex generalis atau hukum umum. Sementara, terdapat sejumlah lex specialis atau hukum khusus dari KUHAP, diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE. UU ITE mengatur hal-hal terkait pengelolaan informasi dan transaksi elektronik, termasuk tindak pidana, juga yang berhubungan dengan penyitaan dan pembuktian.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE, mengatur informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Selanjutnya, Pasal 44 UU ITE mengatur alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan UU ITE, meliputi alat bukti sebagaimana diatur KUHAP dan alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Dengan demikian, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti yang sah menurut KUHAP, yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) KUHAP).

Adapun, definisi informasi elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UU ITE, adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sementara, definisi dokumen elektronik tercantum pada Pasal 1 angka 4 UU ITE, yakni setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Untuk dapat dipergunakan dalam persidangan, alat bukti tidak hanya harus memenuhi kriteria bentuk atau jenis sebagaimana diuraikan di atas, melainkan juga harus memenuhi kriteria keabsahan. Agar alat bukti informasi dan dokumen elektronik sah, syarat materil dan syarat formil harus dipenuhi.

Syarat materiil alat bukti diatur pada Pasal 5 ayat (3) UU ITE yang mengatur, informasi dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah, jika menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan UU ini,  tepatnya jika sesuai ketentuan Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE tentang penyelenggaraan sistem elektronik. Kemudian pada Pasal 6 UU ITE, yang mengatur informasi dan/atau dokumen elektronik dianggap sah, jika informasi di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Syarat formil alat bukti tertera pada Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yakni informasi dan/atau dokumen elektronik bukan merupakan surat atau dokumen yang menurut undang-undang harus berbentuk tertulis. Kemudian, dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU XIV/2016, informasi dan/atau dokumen elektronik harus diperoleh dengan cara yang sah, yakni diminta oleh aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum.

Jika, mengacu pada keterangan aparat penegak hukum pada kasus penyitaan akun sosial media sejumlah tokoh publik, seperti Richard Lee, Ahmad Dhani, dan Revina VT, akun sosial media mereka disita sebagai barang bukti. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa akun termasuk barang bukti, dan bukan alat bukti.

Penunjang Alat Bukti

Barang bukti berfungsi sebagai penunjang alat bukti yang sah. Barang bukti dapat menguatkan kedudukan alat bukti yang sah, yang kedudukannya sangat penting dalam perkara pidana. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa, seorang terdakwa diputus bersalah dengan minimal dua alat bukti yang sah dan daripadanya hakim mendapatkan keyakinan bahwa tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam tindak pidana yang diatur UU ITE, salah satunya pencemaran nama baik, akun yang disita sebagai barang bukti dapat menunjang alat bukti informasi dan/atau elektronik, seperti tangkapan layar atau screenshot unggahan yang bermasalah.

Dengan disitanya akun, diupayakan tidak terjadi penghapusan atau perubahan unggahan yang bersangkutan. Sehingga, syarat materil keabsahan alat bukti dapat terjaga, yang diantaranya informasi pada alat bukti harus dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada UU ITE sendiri telah diatur, penyidik dapat menyita sistem elektronik yang terkait dugaan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik (Pasal 43 ayat (3) UU ITE). Pasal 1 angka 5 UU ITE memberikan pengertian sistem elektronik, yaitu serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Melihat definisi tersebut, akun sosial media adalah termasuk sistem elektronik.

Namun, pada UU ITE hanya diatur sebatas itu. Tidak dimuat aturan lebih lanjut mengenai prosedur penyitaan atas sistem elektronik, yang dalam hal ini khususnya penyitaan atas akun. UU ITE juga tidak mengamanatkan penerbitan peraturan pelaksana terkait prosedur penyitaan tersebut. Apabila mengacu pada KUHAP, sebagai lex generalis dari UU ITE, pun juga lebih diakomodir prosedur penyitaan benda berwujud.

Prosedur penyitaan sistem elektronik, khususnya akun, juga tidak diatur pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski PERMEN tersebut, menegaskan kembali yang dapat dikenakan penyitaan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, termasuk sistem, informasi, atau dokumen elektronik.

Dengan demikian, belum ada prosedur yang jelas terkait penyitaan sistem elektronik, khususnya akun, baik berdasarkan KUHAP, UU ITE, maupun peraturan pelaksananya.

Meski belum ada aturan yang jelas, jika mengacu pada Naskah Akademik Kerangka Hukum Perolehan, Pemeriksaan, dan Pengelolaan Bukti Elektronik (Electronic Evidence) yang dipublikasi oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), mekanisme penyitaan akun yang diberlakukan sekarang ini berupa pengambilalihan akses akun, layaknya pemblokiran rekening. 

Pengambilalihan akses akun dilakukan dengan mengubah PIN, kata kunci, atau sejenisnya yang dimiliki pemilik akses. Juga dengan berkoordinasi dengan penyelenggara sistem elektronik untuk memblokir akses pengguna bersangkutan.

Tanggapan Akademisi

Menurut Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, mengenai penyimpanan dan pengamanan akun media sosial yang disita, Akbar mengatakan, “Seharusnya disamakan dengan barang-barang sitaan tersebut (sebagaimana diatur Pasal 44 ayat (2) KUHAP). Sehingga, harus sepenuhnya dikontrol oleh penegak hukum. Tidak juga dipakai oleh siapapun untuk membuat status tertentu dan sebagainya,” ujarnya pada Kliklegal, Rabu (18/08/2021).

Lebih jauh dia menjelaskan, seharusnya aparat hukum bekerjasama dengan pemilik platform digital. Sehingga, bisa meminta suspend account sementara. “Kalau (penggantian) username dan password masih belum jelas,” terangnya.

Akbar juga menerangkan, sebenarnya aturan KUHAP tidak terbatas pada benda tangible atau berwujud saja. Hal ini bisa dilihat, sebelum ada Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), telah lebih dulu dimungkinkan adanya pemblokiran rekening, karena melihat dana hasil kejahatan. Selain itu, dimungkinkan adanya penyitaan saham dalam kasus-kasus tertentu.

Namun, karena hukum akan selalu tertinggal, maka Akbar menyarankan agar dibuat aturan yang tegas. “Platform-platform seperti Youtube, Instagram, dan Twitter saja bisa suspend akun-akun besar karena menyalahi policy. Ke depan harusnya penegak hukum bekerjasama dengan platform-platform tersebut untuk melakukan suspend,” ujar Akbar.

Ia juga mengatakan, UU ITE wajib direvisi. RUU KUHAP yang pembuatannya sedang berjalan, seharusnya juga memuat aturan mengenai sita elektronik.

Ketika ditanya mengenai potensi penyitaan akun media sosial menciderai hak kebebasan berpendapat, ia menegaskan, penyitaan itu bagian dari prosedur hukum dalam penyidikan tindak pidana. Jika ada dugaan tindak pidana, penyitaan bisa dilakukan. Penyitaan bisa dilakukan terhadap beberapa hal, termasuk benda untuk melakukan tindak pidana.

Namun, agar tidak mencederai HAM, tentu penyitaan harus dilakukan sesuai dengan KUHAP. Jika keberatan dengan penyitaan akun, juga tersedia mekanisme praperadilan. Namun ia mengakui, bahwa penyitaan akun media sosial berkaitan dengan UU ITE yang sarat kontroversi, terutama berkaitan dengan pasal pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

AAB

Dipromosikan