Pro Kontra Pengesahan UU Kesehatan dalam Aspek Perlindungan Tenaga Kesehatan

Pro Kontra Pengesahan UU Kesehatan dalam Aspek Perlindungan Tenaga Kesehatan
Ilustrasi alat penunjang bagi tenaga kesehatan | Sumber foto: freepik.com

Pro Kontra Pengesahan UU Kesehatan dalam Aspek Perlindungan Tenaga Kesehatan

“Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan telah disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023, yang digelar pada (11/7/2023).”

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) mencakup berbagai isu dan topik terkait kesehatan. Dalam hal ini, UU Kesehatan telah menggabungkan 13 undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan. Secara lebih rinci, UU Kesehatan telah mencabut 9 undang-undang dan mengubah 4 undang-undang terkait dengan kesehatan. 

Nyatanya, banyak pihak yang justru keberatan apabila UU Kesehatan disahkan. Hal ini menyebabkan pengesahan UU Kesehatan menimbulkan polemik dan menjadi perhatian oleh banyak kalangan masyarakat di Indonesia. Terutama terkait para objek dari regulasi itu sendiri, yaitu tenaga medis dan tenaga kesehatan. 

Layaknya mengulang hal yang sama, RUU Kesehatan yang baru disahkan ini menggunakan metode Omnibus Law atau undang-undang sapu jagat, seperti UU Cipta Kerja. UU Kesehatan juga menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan, sama persis seperti UU Cipta Kerja yang disahkan tiga tahun silam.

Baca Juga: Pro Kontra Menuju Disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja

Metode Omnibus dalam UU Kesehatan

Secara lebih rinci, metode omnibus diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.13/2022).

Sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1b) UU No.13/2022, metode omnibus merupakan metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan:

  1. Memuat materi muatan baru;
  2. Mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau
  3. Mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama.

Metode omnibus membuat ketiga kategori peraturan perundang-undangan di atas digabungkan ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

Baca Juga: Rakyat Bisa Kontrol UU Cipta Kerja “Omnibus Law” Kini dan Nanti?

Secara sederhana, melansir dari laman resmi Kementerian Hukum dan HAM, omnibus law adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

Terdapat beberapa kelemahan dari mekanisme omnibus law ini. Dalam hal ini, melansir dari lk2fhui.law.ac.id, undang-undang dengan metode omnibus akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang kurang demokratis. 

Metode omnibus secara tidak langsung membatasi ruang partisipasi, penyusunan regulasi menjadi tidak sistematis, dan terlalu tergesa-gesa, sehingga berakibat menimbulkan permasalahan baru. 

Baca Juga: Sah! Omnibus Law Keuangan Masuk Prolegnas DPR 2023

Fraksi DPR terkait Pengesahan UU Kesehatan 

Dalam perjalanannya, pengesahan UU Kesehatan disetujui oleh mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di antaranya yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Fraksi Nasional Demokrat (NasDem) menerima dengan catatan terkait mandatory spending. Sedangkan, Fraksi Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak pengesahan UU Kesehatan ini. 

Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab disapa Ibas, menjelaskan alasan utama penyebab Partai Demokrat menolak pengesahan UU Kesehatan. Sebab, berkaitan dengan mandatory spending alokasi anggaran bidang kesehatan dan liberalisasi dokter dan tenaga medis. 

Baca Juga: Buruh Ramai Tolak RUU Kesehatan, Ini Penyebabnya

Menurut Ibas, melansir dari antaranews.com, negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan sejumlah anggaran bagi sektor kesehatan dalam bentuk mandatory spending. Ibas mewakili Fraksi Demokrat menyampaikan bahwa mereka menginginkan kesehatan di Indonesia semakin baik, maju, dan berkelas. 

Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini menjelaskan beberapa alasan yang menyebabkan PKS menolak pengesahan UU Kesehatan. Beberapa di antaranya, terkait menghilangnya mandatory spending yang dianggap sebagai bentuk upaya mengurangi tanggung jawab pemerintah di bidang kesehatan.

Kemudian, UU Kesehatan minim partisipasi dan mengabaikan aspirasi Organisasi Profesi kesehatan. Padahal, Organisasi Profesi selama ini telah berupaya menjaga etika dan profesionalisme profesi kesehatan. 

Fraksi PKS menilai UU Kesehatan sangat sentralis di tangan pemerintah dengan memangkas banyak norma strategis yang semestinya menjadi muatan undang-undang. 

Berdasarkan argumentasi tersebut, mengutip dari pks.id, Fraksi PKS berpendapat bahwa Omnibus Law UU Kesehatan tidak benar-benar berpihak pada rakyat. 

Baca Juga: Seorang Advokat Mengajukan Judicial Review UU Kesehatan ke MK, Begini Alasannya!

Urgensi Pengesahan UU Kesehatan

Urgensi disahkannya UU Kesehatan, seperti yang dilansir dari lk2fhui.law.ac.id, adalah untuk memberikan perlindungan hukum ekstra bagi para tenaga kesehatan. Selain itu, juga sebagai  payung hukum yang melindungi masyarakat secara lebih baik dalam penanganan di ruang kesehatan. 

Kemudian, UU Kesehatan juga menjadi sarana pendorong kesiapan bidang kesehatan Indonesia dalam menghadapi krisis kesehatan di masa kini dan masa yang akan datang.

Pihak yang tidak setuju dengan disahkannya UU Kesehatan menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena sejak proses penyusunan, pembahasan, hingga pengesahannya dinilai cacat secara prosedur. 

UU Kesehatan dianggap belum mencerminkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Oleh karena itu, dinilai belum memperhatikan aspirasi dari semua kelompok. 

Dilansir dari dialeksis.com, UU Kesehatan dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait keorganisasian keprofesian, baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, dan apoteker. 

Organisasi Profesi menilai penghapusan 9 undang-undang secara lex generalis atau secara khusus yang mengatur terkait keprofesian akan berdampak pada kepastian hukum profesi, dan dinilai akan merugikan pekerja sektor kesehatan. 

Baca Juga: UU Kesehatan Disahkan, Nakes Akan Gugat ke MK? 

Kriminalisasi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis

Terdapat beberapa substansi dari UU Kesehatan yang dianggap akan merugikan pekerja di sektor kesehatan.

Salah satu pasal kontroversial dalam UU Kesehatan yaitu Pasal 440 ayat (1) UU Kesehatan yang menyatakan bahwa, setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Rp250 juta.

Namun, jika kealpaan yang dilakukan mengakibatkan kematian, maka setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan sesuai dengan apa yang diatur pada Pasal 440 ayat (2) UU Kesehatan akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp500 juta. 

Alhasil, setelah ditekennya UU Kesehatan ini, tenaga medis bisa diadukan sebagai pelaku tindak pidana akibat kelalaian berat dalam menjalankan tugas. Organisasi Profesi dan beberapa pihak lainnya menyatakan bahwa dengan adanya Pasal 440 tersebut, maka akan berpotensi memicu kriminalisasi kepada dokter, tenaga kesehatan, dan tenaga medis lainnya. 

Baca Juga: RUU Kesehatan: Potensi Hilangnya Otonomi BPJS Kesehatan

Mengutip dari lk2fhui.law.ac.id, kekhawatiran para tenaga kesehatan, khususnya dokter, muncul lantaran pasal ini tidak menyebutkan secara rinci bentuk kelalaian apa yang dimaksud. Hal ini menyebabkan aturan tersebut dapat menjadi justifikasi kesewenang-wenangan pasien untuk menuntut tenaga kesehatan, sehingga berpotensi menjadi pasal karet pula.

Di sisi lain, hal tersebut dibantah oleh Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril, yang menyatakan bahwa UU Kesehatan justru akan menambah perlindungan baru bagi tenaga kesehatan, termasuk dari upaya kriminalisasi.

“Janganlah kita memprovokasi seolah-olah ada potensi kriminalisasi, itu tidak benar. Justru RUU Kesehatan ini menambah perlindungan baru, termasuk dari upaya-upaya kriminalisasi. Kita niatnya melindungi, kok malah didemo,” tandas Syahril, dikutip dari laman publikasi Kementerian Kesehatan.

Baca Juga: Potensi Kriminalisasi Petani Tembakau dalam RUU Kesehatan

Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Fatahillah Akbar menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan antara Pasal 440 ayat (1) UU Kesehatan dengan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU No.36/2014). 

Fatahillah kemudian mempertanyakan apabila hal ini dianggap kriminalisasi tenaga kesehatan, kenapa tidak ada organisasi profesi yang bersuara mengenai hal ini sedari dulu. “Kenapa baru keberatan sekarang, padahal itu sudah diatur sejak lama,” paparnya saat dihubungi Reporter KlikLegal via telepon.

Menurut Fatahillah, apabila seorang tenaga kesehatan yang melakukan sebuah kesalahan atau kelalaian, maka sudah seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. 

Walau memang tenaga kesehatan tersebut harus ditindak oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDK) terlebih dulu, terkait apakah tindakan tersebut termasuk ke dalam “kelalaian”. Kemudian, apakah yang dilakukan sudah sesuai dengan standar etika profesi atau belum. 

Baca Juga: Terbitkan Perpres Baru, Obat Hingga Alat Kesehatan Wajib Bersertifikat Halal!

Perlindungan Tenaga Kesehatan 

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menyampaikan bahwa dengan dihapuskannya undang-undang yang secara lex specialis atau secara khusus mengatur tentang keprofesian, maka akan berdampak pada kepastian hukum profesi. 

Adib menganggap bahwa UU Kesehatan ini belum bisa menjamin perlindungan dan kepastian hukum tenaga medis dan kesehatan. 

“Pertama, berkaitan dengan profesi, ada pasal-pasal dalam RUU ini belum memenuhi unsur-unsur perlindungan dan kepastian hukum kepada tenaga medis atau kesehatan,” ujar Adib, sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com

Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi juga mengungkapkan bahwa muatan UU Kesehatan ini tidak memberikan kepastian terkait kontrak kerja bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. 

Emi menyampaikan bahwa belum tampak perbaikan dari perlindungan hukum bagi tenaga medis dan kesehatan dalam bentuk kontrak kerja. Menurutnya, sebagaimana undang-undang existing yang seharusnya, maka cukup dibuat peraturan perundang-undangan pada tingkat di bawahnya dengan lebih spesifik. 

Namun, pihak yang setuju dengan pengesahan regulasi ini menyatakan bahwa dengan disahkannya UU Kesehatan justru akan memberikan perlindungan hukum yang lebih baik. Jika menolak undang-undang, maka akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum seperti dulu. Padahal pada kenyataannya, telah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan tenaga kesehatan serta tenaga medis lainnya. 

Baca Juga: Maba UIN Raden Mas Said Dipaksa Daftar Pinjol, Bagaimana Perlindungan Konsumennya? 

Fatahillah kemudian juga menyatakan bahwa tidak terlalu ada perbedaan yang signifikan antara Omnibus Law UU Kesehatan dengan UU Kesehatan yang telah ada sebelumnya (UU No.36/2009) yang sudah dicabut atau diubah sebagian oleh UU Kesehatan (UU No.17/2023) ini. 

Hal ini melansir dari unair.ac.id, selaras dengan apa yang disampaikan sebelumnya, Pakar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UNAIR, Riza Alifianto Kurniawan menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan tidak berubah. Negara tetap menjamin bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan terlindungi oleh hukum dalam menjalankan tugas keprofesian mereka. 

Baca Juga: Perlindungan Konsumen dalam FinTech: Tantangan dan Solusi Menuju Praktik yang Lebih Bertanggung Jawab

Peran Organisasi Profesi dalam UU Kesehatan

Seperti dilansir dari lahatpos.disway.id, dampak lain dari lahirnya UU Kesehatan ialah melemahkan peran Organisasi Profesi, khususnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebab, UU Kesehatan telah menghilangkan rekomendasi IDI sebagai salah satu syarat pengurusan Surat Izin Praktik (SIP). 

UU Kesehatan tidak lagi mengakomodir Organisasi Profesi sebagai bagian dari hal yang harus diatur oleh UU Kesehatan. Kemudian, IDI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi dokter di Indonesia. Dokter berpeluang mendeklarasikan Organisasi Profesi dokter selain IDI.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa UU Kesehatan tidak menghapus keberadaan Organisasi Profesi kesehatan. Namun, fungsi dari Organisasi Profesi kesehatan dirancang seperti profesi lainnya. 

Peran Organisasi Profesi seperti IDI akan tetap sama seperti Organisasi Profesi lainnya, yaitu berserikat. Adapun yang menjadi pembeda ialah dengan disahkannya UU Kesehatan, maka IDI tidak lagi memegang fungsi sebagai regulator. 

Hal ini terlampir dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU No.29/2004), yang mengatur mengenai pengalihan sebagian besar penerbitan SIP dan Surat Tanda Registrasi (STR) dari pemerintah ke IDI. 

Baca Juga: Kelas BPJS Kesehatan dihapus, Apa Kabar Rumah Sakit Swasta?

Memang benar, sebagaimana mengutip dari kumparan.com, secara formal STR dikeluarkan oleh lembaga negara Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan SIP oleh pemerintah daerah. Namun, dalam prosesnya, peran IDI sangatlah besar. 

Menkes menyampaikan bahwa banyak dokter-dokter yang merasa disulitkan oleh Organisasi Profesi saat ingin mengambil spesialisasi ataupun melakukan praktik di tempat tertentu. Hal ini lantaran pemerintah daerah tidak dapat menerbitkan SIP untuk dokter jika IDI setempat dan perhimpunan dokter spesialis (untuk dokter spesialis) tidak mau mengeluarkan “rekomendasi”.

Peran IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang perizinan tidak ada presedennya di ranah kedokteran negara-negara maju, bahkan di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. 

Masalah izin dan penjaminan kompetensi dokter adalah wewenang pemerintah, tanpa terikat atau bahkan tersandera oleh Organisasi Profesi. Oleh karena itu, UU Kesehatan diharapkan bisa mengembalikan tugas Organisasi Profesi tersebut ke negara. 

Baca Juga: Tingkatkan Layanan Kesehatan Berbasis Teknologi, Bundamedik Akuisisi 35 Persen Saham RSJP Paramarta Bandung

Liberalisasi melalui Tenaga Kesehatan WNA

IDI beranggapan bahwa UU Kesehatan dapat mempermudah praktik dokter asing di Indonesia. Selain itu, IDI juga menilai bahwa UU Kesehatan berpihak kepada investor dengan mengabaikan hak masyarakat, tenaga medis, dan tenaga kesehatan terkait dengan perlindungan hukum dan keselamatan pasien. 

Dengan dipermudahnya tenaga asing untuk melakukan praktik di Indonesia, maka akan mengancam keselamatan pasien. Kemudian, dokter asing dinilai bakal mudah masuk tanpa kompetensi dan kualifikasi yang tidak jelas. 

Melansir dari nasional.kompas.com, UU Kesehatan telah mengatur bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing (WNA) lulusan luar negeri dapat melakukan praktik di Indonesia. 

Baca Juga: Godok Aturan Golden Visa, Hanya Untuk WNA Berkualitas?

Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 248 ayat (1) UU Kesehatan, WNA yang bisa praktik di Indonesia hanyalah tenaga medis spesialis dan subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu yang telah mengikuti evaluasi kompetensi. 

Kemudian, Pasal 251 UU Kesehatan mengatur bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan asing bisa praktik di Indonesia apabila:

  1. Terdapat permintaan dari fasilitas pelayanan kesehatan pengguna tenaga medis spesialis dan subspesialis serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu WNA lulusan luar negeri sesuai dengan kebutuhan;
  2. Untuk alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
  3. Untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang satu kali hanya untuk dua tahun berikutnya. 

Nyatanya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui UU Kesehatan mencoba berupaya untuk melakukan penyederhanaan syarat WNA maupun WNI lulusan luar negeri atau dispora untuk dapat bekerja di Indonesia. 

Mengutip dari cnnindoenesia.com, Kemenkes telah menyiapkan evaluasi kompetensi dan program adaptasi secara matang. Oleh karena itu, baik dispora maupun WNA, keduanya harus mengantongi STR dan SIP yang berlaku dengan batas waktu tertentu.

Hal tersebut bertujuan agar dispora dan WNA dapat mempelajari berbagai jenis penyakit endemik yang berbeda, pun dengan penyakit tropis dan sub tropis yang kemungkinan belum pernah mereka tangani sebelumnya. 

AP

Dipromosikan