Potensi Kriminalisasi Petani Tembakau dalam RUU Kesehatan

Potensi Kriminalisasi Petani Tembakau dalam RUU Kesehatan
Image Source: Flickr

Potensi Kriminalisasi Petani Tembakau dalam RUU Kesehatan

P3M menilai petani tembakau bisa mendapat label sebagai pelaku kriminal seakan-akan penanam tanaman ganja, pemakai, bahkan pengedar narkoba.”

Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan masih menuai pro dan kontra. Kali ini yang menjadi sorotan masyarakat adalah pengaturan mengenai zat adiktif dalam RUU Kesehatan yang berpotensi mengkriminalisasi petani tembakau. 

Dilansir dari Tempo, Perhimpunan dan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menilai RUU Kesehatan dapat mengancam para petani tembakau dan ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ancaman dan potensi kriminalisasi ini dapat terjadi apabila ketentuan Pasal 154 dalam RUU Kesehatan yang berkaitan dengan ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Secara substansi, pasal ini menuai kontroversi karena menyetarakan hasil tembakau dengan narkotika dan psikotropika ke dalam satu kelompok zat adiktif.

Baca  Juga: Buruh Ramai Tolak RUU Kesehatan, Ini Penyebabnya

Akibat hukumnya, para petani tembakau dan ekosistem IHT dapat terkena stigma ‘penguras dana kesehatan’ dan dianggap sebagai penyebab kematian. P3M juga menilai, petani tembakau bisa mendapat label sebagai pelaku kriminal seakan-akan penanam tanaman ganja, pemakai, bahkan pengedar narkoba.

“Lebih parahnya petani tembakau akan mendapat label sebagai pelaku kriminal, layaknya para penanam ganja, pemakai atau bahkan pengedar narkoba,” disampaikan oleh perwakilan P3M dalam keterangan tertulis, Rabu, (12/4/2023).

RUU Kesehatan Dinilai Diskriminatif terhadap Industri Hasil Tembakau

Selain berpotensi mengkriminalisasi petani, pengaturan yang menyetarakan hasil tembakau dengan narkoba, juga berpotensi mematikan IHT. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono, dalam Diskusi Media Mengawal Rancangan Regulasi yang Eksesif dan Diskriminatif terhadap Ekosistem Pertembakauan  pada Rabu, (12/4/2023).

Sebagaimana dilansir oleh Kontan (13/4/2023), Hananto mempertanyakan terkait posisi tembakau yang diposisikan sejajar dalam satu kelompok dengan narkotika dan psikotropika. Padahal baginya, tembakau sebagai komoditas strategis nasional adalah produk legal yang memberikan kontribusi kepada penerimaan negara.

“Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini tapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba,” ucap Hananto. Ia juga menambahkan bahwa hal ini adalah ketidakadilan dan bentuk diskriminasi terhadap pelaku IHT.

Hal tersebut kemudian dijustifikasi oleh pendapat Hikmahanto Juwana, Guru Besar Universitas Indonesia. Dilansir dari Viva, menurutnya, penyetaraan tembakau yang merupakan produk legal dengan narkoba yang sudah jelas ilegal akan berujung mematikan IHT, hal ini dikarenakan penyetaraan yang ada akan menimbulkan perlakuan diskriminatif serta aturan yang mengekang terhadap tembakau.

“Dampaknya terhadap IHT ini pasti mati. Orang akan dilarang dan ditangkap polisi. Pemerintah harus bijak dalam membuat aturan. Kalau ini dipaksakan juga akan membuat legitimasi presiden jatuh karena dianggap tidak pro rakyat kecil”, ucap Hikmahanto sebagaimana dikutip oleh Viva  pada hari Rabu, (12/4/2023).

Polemik Kebijakan Pengendalian Tembakau di Indonesia

Penetapan kenaikan cukai tembakau atau rokok pada tahun 2022 sebagai bagian dari kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat.

Di satu sisi, banyak masyarakat yang memberikan reaksi positif atas kebijakan tersebut, alasannya yaitu agar jumlah perokok dan tingkat penyakit akibat merokok dapat menurun. Di sisi lain, nasib ekonomi para petani tembakau dan para buruh yang bekerja di pabrik rokok juga perlu menjadi perhatian.

Mengutip dari National Geographic Indonesia, faktanya kecanduan terhadap rokok telah menjadi masalah kesehatan yang mengakar di masyarakat Indonesia. Jika dirinci, pengobatan “penyakit katastropik”, yang sebagian besar disebabkan oleh rokok, mencapai hampir seperlima dari anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2016, yaitu sekitar Rp14,5 triliun.

Oleh karena itu, kebijakan pengendalian tembakau dibutuhkan apabila melihat urgensi yang ada akibat dari masifnya dampak yang ditimbulkan dari konsumsi rokok di Indonesia. Namun, dalam mengambil langkah kebijakan, perlu diperhatikan akibat-akibat hukum yang ditimbulkannya.

Ketua Pakta Konsumen, Ary Fatanen, mengatakan sejak dirilisnya Keputusan Presiden tentang rencana pelarangan penjualan rokok secara batangan yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 pada Desember lalu, praktik diskriminasi dan pengabaian hak-hak ekonomi konsumen produk tembakau semakin nyata dirasakan, sebagaimana dikutip oleh Sindo News dalam siaran tertulis, Rabu (12/4/2023).

Terkait polemik kebijakan pengendalian tembakau, Guru Besar Kebijakan Perpajakan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Haula Roosdiana, berpendapat dibutuhkan kebijakan kolaboratif dari seluruh pemangku kepentingan agar pengendalian tembakau dapat efektif. Tanpa adanya tujuan yang sama, target penurunan prevalensi perokok serta pengamanan terhadap penerimaan negara akan sulit tercapai.

 

SS

Dipromosikan