Eksistensi Perjanjian Perkawinan Bagi Pengurus dan Pengawas Koperasi Sebagai Personal Guarantor

Eksistensi Perjanjian Perkawinan Bagi Pengurus dan Pengawas Koperasi Sebagai Personal Guarantor

Eksistensi Perjanjian Perkawinan Bagi Pengurus dan Pengawas Koperasi Sebagai Personal Guarantor
Oleh: Radhyca Nanda Pratama, S.H.

  1. Kedudukan Hukum Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (untuk selanjutnya disebut LPDB – KUMKM) merupakan unit organisasi non-eselon di bidang pembiayaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menteri Koperasi dan UKM cq. Sekretaris Menteri Koperasi dan UKM). 

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut PermenKOPUKM Ortaka LPDB – KUMKM), tugas yang dilaksanakan LPDB – KUMKM yakni melakukan pengelolaan dana bergulir untuk pinjaman atau pembiayaan kepada Koperasi dan UMKM. Lebih lanjut salah satu fungsi utama yang diselenggarakan oleh LPDB – KUMKM adalah menyelenggarakan pemberian pinjaman atau pembiayaan kepada Koperasi dan UMKM (vide Pasal 3 PermenKOPUKM a quo).

Berdasarkan interpretasi hukum sistematis terhadap ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 3 PermenKOPUKM yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 11 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) dan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah), maka ditafsirkan bahwa tugas dan fungsi yang dilaksanakan dan diselenggarakan oleh LPDB – KUMKM, sejatinya sama halnya dengan kegiatan usaha penyaluran/pemberian fasilitas kredit oleh Bank Umum ataupun penyaluran/pemberian fasilitas pembiayaan oleh Bank Syariah. 

Namun sacara a contrario, LPDB – KUMKM sendiri tidak diperkenankan dan dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat sebagaimana kegiatan tersebut merupakan salah satu kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Bank Umum dan Bank Syariah (vide Pasal 6 huruf a UU Perbankan jo. Pasal 19 ayat (1) huruf a UU Perbankan Syariah). Hal tersebut yang membuat perbedaan yang terlihat antara LPDB – KUMKM dengan Bank Umum dan Bank Syariah, karena secara kedudukan hukumnya sendiri LPDB – KUMKM adalah Badan Layanan Umum melainkan bukan Badan Usaha seperti Bank Umum maupun Bank Syariah.

Dengan adanya tugas dan fungsi yang melekat pada LPDB – KUMKM yang secara tekstual diatur dalam PermenKOPUKM a quo, artinya secara legitimasi lembaga tersebut memberikan akses layanan fasilitas pinjaman yang berdasarkan kesepakatan atau persetujuan pinjam meminjam maupun pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang berasal dari dana bergulir kepada Koperasi dan UMKM layaknya yang dilakukan Bank Umum/Bank Syariah kepada pihak lain. 

Manakala dilakukan Perjanjian Pinjaman atau Akad Pembiayaan antara LPDB – KUMKM dengan Koperasi/UMKM, maka sudah pasti hal tersebut menimbulkan implikasi berupa adanya hubungan hukum keperdataan antara LPDB – KUMKM dengan Mitra (Koperasi/UMKM) selaku penerima dana bergulir yang telah mengakses pinjaman atau pembiayaan setelah melakukan penandatangan perikatan dengan LPDB-KUMKM yang pada aspek tataran praktik dan implementasinya dituangkan dalam Akta Perjanjian Pinjaman atau Akta Akad Pembiayaan dalam bentuk Akta Notariil. 

Istilah “Mitra” merupakan istilah lain yang secara gramatikal dapat dipersamakan dan dimaknai sebagai “Debitor” yang mana istilah “Mitra” digunakan dalam Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan Dana Bergulir Oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut PermenKOPUKM Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan Dana Bergulir Oleh LPDB – KUMKM).

  1. Personal Guarantee sebagai Jaminan pada Kegiatan Pembiayaan menurut Hukum Positif Indonesia

Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi dalam kegiatan bisnis yang dijalankan oleh sebuah Badan Usaha, fasilitas kredit berupa pinjaman atau pembiayaan oleh lembaga keuangan/pembiayaan menjadi suatu kebutuhan pokok yang tak terelakkan lagi guna memperkuat struktur permodalan maupun untuk memperluas dan mengembangkan kegiatan bisnis Badan Usaha yang bersangkutan. Untuk memberikan rasa aman dan percaya, lembaga keuangan/pembiayaan yang bertindak sebagai pihak kreditor sebagaimana telah memberikan layanan fasilitas kredit atau pembiayaan kepada Badan Usaha yang bertindak sebagai pihak debitur, pihak kreditur dipastikan meminta jaminan kepada pihak debitur. 

Jaminan itu sendiri diartikan sebagai keyakinan kreditor atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit atau pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 1 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tahun 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit. Intisari yang dapat ditarik garis benang merah dari ketentuan Pasal a quo adalah “trust and safe principle to debtor” yang diterapkan oleh pihak kreditor untuk melindungi kepentingannya dan dalam rangka implementasi prudential principle Ketika memberikan/menyalurkan layanan fasilitas kredit atau pembiayaan.

Terminologi “jaminan” selalu dikaitkan atau sering disebut memiliki makna yang sama dengan istilah “agunan”, nyatanya kedua terminologi tersebut jika dianalogikan “1 (satu) koin dengan 2 (dua) sisi berbeda” bermakna berbeda tapi satu rangkaian yang tak terpisahkan. Artinya jaminan dan agunan memiliki keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan akan tetapi keduanya pemaknaannya berbeda. 

Dalam Hukum Perdata Indonesia, jenis jaminan dibagi menjadi 2 (dua) diantaranya Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan atau Jaminan Korporasi. Pada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terminologi jaminan perorangan (corporate guarantee) atau jaminan korporasi (corporate guarantee) tidak dikenal, kedua terminologi tersebut dapat kita temui dalam praktik kegiatan pemberian kredit/pembiayaan oleh lembaga keuangan/pembiayaan. Secara letterlijk dalam ketentuan Burgerlijk Wetboek (BW), dikenal istilah Penanggungan atau biasa disebut borgtocht. 

Lebih lanjut, dalam Pasal 1820 BW yang menegaskan bahwa “Penanggungan adalah suatu perjanjian dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitor itu tidak memenuhi perikatannya.” 

Sesuai dengan hasil Interpretasi gramatikal guna memaknai lebih lanjut pada frasa “pihak ketiga” dan frasa “mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya” pada ketentuan Pasal 1820 BW, yang berarti pihak ketiga tersebut dapat berupa orang perorangan (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon) yang notabene keduanya subjek hukum sebagaimana pihak ketiga tersebut mengikatkan diri pada perikatan yang dibuat antara debitur dengan kreditur yang perikatan tersebut dapat berupa perjanjian utang – piutang atau pinjaman atau pembiayaan dan pihak ketiga tersebut bertindak sebagai penjamin dalam rangka sanggup melunasi hutang debitur apabila debitur wanprestasi terhadap kreditor.

Hingga sampai dengan sekarang, pengaturan mengenai penanggung utang sebagaimana diselenggarakan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai penjamin untuk dan atas nama debitur masih eksis dan relevan sebagai landasan hukum personal guarantee ataupun corporate guarantee pada praktik kegiatan usaha pembiayaan, yang diketahui terlacak dan tertuang dalam ketentuan Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 BW. 

Pada kegiatan pembiayaan manakala jaminan pokok yang ditawarkan dan diberikan debitor untuk memberi rasa aman dan percaya kepada pihak Kreditor dirasa kurang, maka tak ayal pihak kreditor meminta jaminan tambahan kepada debitur. 

Sejatinya Kreditor mengajukan permintaan jaminan tambahan kepada debitor adalah jalan tengah yang ditempuh guna menyesuaikan besaran fasiltas kredit/pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada debitor dan lebih baik terdapat penjamin baik orang perorangan maupun korporasi daripada tidak sama sekali.

Apabila di saat realisasi pemberian pinjaman sudah diterima oleh debitor dan seiring waktunya berjalannya realisasi pembiayaan yang beriringan prestasi yang harus dilakukan oleh debitor melakukan pembayaran utang kepada kreditor. Ada kalanya debitur tidak dapat memenuhi prestasi untuk membayar lunas hutang tersebut karena sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan debitur berhalangan untuk melaksanakan prestasi tersebut atau debitor dengan sengaja memiliki itikad buruk untuk tidak melaksanakan prestasi tersebut. Maka Jaminan pokok maupun jaminan tambahan merupakan solusi yang digunakan sebagai pelunasan hutang debitur oleh kreditor. Personal Guarantee atau borgtocht sering digunakan sebagai jaminan tambahan oleh pihak Kreditor untuk mencukupi kekurangan jaminan pokok yang diberikan oleh Debitor. 

Begitupun pada kegiatan pinjaman atau pembiayaan dana bergulir yang diselenggarakan oleh LPDB – KUMKM, jenis jaminan yang dapat diterima oleh LPDB – KUMKM manakala calon mitra mengajukan jaminan tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 15 PermenKOPUKM Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan Dana Bergulir Oleh LPDB – KUMKM, dari segi yuridis melalui Pasal 13 ayat (1) huruf b jo. ayat (3) PermenKOPUKM dapat menerima Jaminan berupa jaminan perorangan (personal guarantee) dan jaminan korporasi (corporate guarantee) sebagai jaminan imaterial yang diajukan oleh Koperasi/UMKM sebagai penerima dana bergulir atau mitra. 

Lebih lanjut lagi memaknai lebih dalam ketentuan Pasal a quo PermenKOPUKM mengenai frasa “jaminan imaterial” dan “jaminan perorangan” yang ditafsirkan secara gramatikal yang berarti bahwa terdapat pihak ketiga yang menyatakan setuju dan sepakat untuk bersedia, menyatakan kesanggupannya untuk bertindak demi kepentingan dan atas nama mitra sebagai penjamin (guarantor) guna melunasi hutang mitra, kata “Jaminan Imaterial” sendiri bermakna jamiian yang tidak berwujud, secara fundamental yang memberikan rasa kepercayaan pihak kreditor sendiri adalah kesanggupan melunasi hutang  debitor oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai guarantor

Tatkala pada tataran pelaksanaan pengikatan lembaga jaminan yang berupa personal guarantee oleh LPDB – KUMKM kepada mitra dengan jenis Badan Usaha berupa Koperasi, yang bertindak sebagai personal guarantor dalam hal ini tidak lain tidak bukan yakni Pengurus maupun Pengawas Koperasi yang bersangkutan.

  1. Pentingnya Perjanjian Perkawinan bagi Pengurus dan Pengawas Koperasi sebagai Personal Guarantor pada Kegiatan Pembiayaan

Ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU Perkawinan) terlacak dan ditemukan dalam ketentuan BW.  

Secara parsial pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam BW tersebar dalam 2 (dua) bab yakni Bab VII tentang Perjanjian Kawin dengan ketentuan diatur mulai dari Pasal 139 sampai dengan Pasal 179, kemudian dalam Bab VIII tentang Gabungan Harta Bersama atau Perjanjian Pada Perkawinan Kedua atau Selanjutnya dengan ketentuan diatur mulai dari Pasal 180 sampai dengan Pasal 185. Sejak diberlakukannya UU Perkawinan, maka hal ini berlaku postulat hukum “lex posterior derogat legi priori” yang berarti ketentuan hukum yang baru mengesampingkan ketentuan hukum yang lama, sebagaimana ketentuan perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan mengesampingkan ketentuan mengenai perjanjian kawin yang diatur dalam BW.

Fleksibilitas mengenai waktu pembuatan Perjanjian Perkawinan telah mengalami Perluasan makna pasca adanya Putusan Mahkamah (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 yang diucapkan tanggal 27 Oktober 2016. Dalam amar Putusan MK a quo, ketentuan yang mengalami perluasan makna di antara pada ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan, sebagai berikut:

  1. Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut (vide perluasan Makna Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan);
  2. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan (vide perluasan makna Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan);
  3. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan (vide perluasan Makna Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan).

Mengacu pada 3 (tiga) poin di atas pada diktum nomor 1 Putusan MK a quo, mengenai waktu pembuatan Perjanjian Perkawinan yang menunjukkan fleksibilitas tersebut dan terletak dan tertera pada poin 1, yang mana Perjanjian Perkawinan dapat dibuat selama ikatan perkawinan.

Penafsiran yang dilakukan oleh MK mengenai perluasan makna yang secara ekstensifikasi terhadap ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, diartikan Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pasca dilakukannya perkawinan dengan catatan ikatan perkawinan masih berlangsung. Implikasi dari adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yakni terdapat  pengaturan penyesuaian waktu dibuatnya Perjanjian Perkawinan dalam beberapa peraturan perundang-undangan sebagaimana sudah dicatatkan dalam Lembaran Negara dan Berita Negara Republik Indonesia sesuai dengan jenis perundang-undangan yang bersangkutan. 

Sesuai diktum poin 1 dalam amar Putusan MK a quo yang memuat mengenai perluasan makna pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan secara parsial ditemukan dan telah disesuaikan dalam beberapa regulasi diantaranya, Pasal 78 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil jo. Pasal 98 huruf b Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil jo. Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.

Episentrum atau yang menjadi hal paling fundamental materi muatan dalam Perjanjian Perkawinan adalah mengenai pengaturan harta kekayaan yang diperoleh salama perkawinan sekali pun termasuk pemisahan harta kekayaan antara suami dan istri. Sebagaiman hal tersebut dibuktikan dalam hasil penafsiran perluasan makna oleh Hakim Konstitusi terhadap Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan dalam Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015. 

Jauh sebelum Putusan MK a quo diucapkan, pengaturan pemisahan harta kekayaan selama perkawinan dapat dikesampingkan melalui Perjanjian Perkawian ditemukan dalam ketentuan Pasal 139 BW jo. Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari hal tersebut, secara tegas dalam Ratio Decidendi Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 membeberkan fungsi daripada dibuatnya Perjanjian Perkawinan antara calon pasangan suami dan istri maupun pasangan suami istri:

  1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur.
  2. Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri (tanggung jawab pribadi).
  3. Jika salah satu pihak ingin menjual atau mengalihkan harta kekayaan mereka tidak perlu meminta izin dari pasangannya (suami/istri).
  4. Begitu juga dengan fasilitas kredit/pembiayaan yang diajukan salah satu diantara mereka, tidak perlu lagi meminta persetujuan atau izin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka atau bertindak sebagai seorang penjamin pelunasan hutang kepada kreditor atas dibuatnya perikatan oleh kreditor dengan debitor sebagaimana penjamin bertindak demi kepentingan debitor (guarantor).

Berdasarkan poin kesatu sampai dengan keempat di atas, jika cermati lebih mendalam keberadaan sebuah Perjanjian Perkawinan bagi Pengurus dan Pengawas Koperasi yang bertindak sebagai Personal Guarantor dalam kegiatan pembiayaan menjadi sangat vital. 

Mengapa menjadi penting? Karena dalam hal ini dengan adanya Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan selama perkawinan antara suami dan istri, memberikan pelindungan hukum bagi pasangan (suami/istri) Pengurus maupun Pengawas Koperasi terutama harta kekayaan pasangan (suami/istri) yang bertindak sebagai Personal Guarantor demi kepentingan Koperasi (debitor/mitra) untuk melunasi hutang Koperasi sebagai akibat perikatan utang – piutang atau pembiayaan yang dibuat oleh debitor. 

Secara prinsip, Personal Guarantee sifatnya hanya wajib memberi kesanggupan dan melunasi hutang debitor. Akan tetapi perlu diketahui bahwa meskipun yang diikat berupa janji dari seorang guarantor untuk turut serta dalam pelunasan hutang debitur, pertanggungjawaban moral dari seorang guarantor yang benar-benar harus dilakukan seorang guarantor. 

Bentuk pertanggungjawaban moral tersebut diwujudkan melalui kekayaan pribadi milik guarantor yang digunakan untuk turut serta sebagai pelunasan hutang debitor kepada kreditor apabila terjadi gagal bayar atau debitor wanprestasi. Jika terdapat Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan perkawinan, maka dapat dipastikan harta kekayaan milik pasangan Pengurus ataupun Pengawas tidak turut serta sebagai pelunasan hutang terhadap pihak ketiga. Konteks dari Perjanjian Perkawinan yang memuat pemisahan harta kekayaan perkawinan adalah memberikan limitatif mengenai tidak adanya persatuan atau percampuran harta kekayaan perkawinan, artinya secara sederhana harta kekayaan yang dimiliki antara suami dan istri merupakan atas nama pribadi masing-masing dari mereka.

 

FL 

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Radhyca Nanda Pratama, S.H., Legal Officer pada LPDB – KUMKM Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan