Konstruksi Hukum Terhadap Pemanfaatan Nilai Ekonomis Produk Kripto

Konstruksi Hukum Terhadap Pemanfaatan Nilai Ekonomis Produk Kripto

Konstruksi Hukum Terhadap Pemanfaatan Nilai Ekonomis Produk Kripto
Oleh: Gede Khrisna Kharismawan

Suatu tinjauan terhadap rezim Hukum Jaminan di Indonesia.

Periode abad ke-21 ditandai dengan perkembangan sektor keuangan dunia yang dipengaruhi oleh proses globalisasi dan digitalisasi, berupa produk derivative hingga cryptocurrency. Cryptocurrency adalah aset keuangan dalam bentuk data digital yang pengalihan kepemilikan dilakukan secara peer-to-peer (P2P) langsung (direct) tanpa melibatkan pihak ketiga, melalui mekanisme kriptografi secara independen dan terdesentralisasi. Dengan kata lain, penciptaan dan pendistribusian aset ini tidak diatur otoritas pusat sebagaimana uang kartal oleh bank sentral. 

Munculnya jenis aset digital ini ditengarai dapat menjadi alternatif terhadap sistem pembayaran dan keuangan serta ekonomi global, karena memiliki kegunaan dan nilai ekonomis sebagai penyimpan nilai, penimbun kekayaan, dan sebagai alat tukar. Bolt dan Van Oordt (2019) menguraikan tiga elemen kunci dari nilai (value) cryptocurrency, yaitu konvertibilitas menjadi uang kartal lain yang sah atau kemampuan untuk membeli barang dan jasa; harapan investor; dan faktor yang menentukan penerimaan di masa depan, baik oleh vendor maupun pembeli. World Economic Forum (2018) menyatakan bahwa cryptocurrency dan mekanisme blockchain dapat meningkatkan volume perdagangan global, dengan meningkatkan layanan dan menurunkan biaya transaksi. 

Hingga Agustus 2021, terdapat lebih dari 10.000 jenis cryptocurrencies yang berbeda, dan secara umum dapat dikategorikan ke dalam empat klasifikasi populer, yaitu Large Capitalization, NFT (Non-Fungible Token), De-Fi (Decentralized Finance), Gaming, dan IoT (Internet of Things).

Cryptocurrency dapat dilihat sebagai aset keuangan karena memiliki nilai tertentu (perceived value), meskipun mereka tidak memiliki jaminan nilai (underlying) secara nyata. Bandingkan dengan ‘uang’ kartal yang memiliki underlying nyata, baik dari pemerintah suatu negara yang menerbitkan uang tersebut, ataupun aset fisik lain seperti emas (Raiborn dan Sivitanides, 2015). Cryptocurrency itu sendiri merupakan bagian dari kelas aset keuangan yang lebih luas, yaitu crypto assets. Adapun yang membedakan cryptocurrency dari crypto assets lainnya adalah pada tujuan penggunaan. 

Namun demikian, cryptocurrency selain dapat digunakan sebagai alat pembayaran juga dapat berfungsi sebagai aset keuangan. Glaser dkk. (2014) memberikan bukti bahwa, setidaknya untuk Bitcoin, alasan utama untuk membeli cryptocurrency adalah sebagai investasi spekulatif. Sedangkan, sekuritas keuangan, seperti ETN (exchange traded notes) dan CFD (derivative berupa contract for differences) dapat memperluas peluang investasi bagi investor. Oleh karena itu, aset digital ini dapat dikatakan sebagai aset keuangan dunia baru. Di sisi lain, sebagian besar cryptocurrency memiliki batasan terhadap jumlah keseluruhan koin yang beredar untuk menjaga keseimbangan tetap terkendali dan untuk memperkuat nilai crypto assets yang sesungguhnya berdasarkan pada persepsi (perceived value) terhadap produk crypto assets itu sendiri.

Adhami dan Guegan (2020) mengklasifikasikan crypto assets kedalam tiga kategori, yaitu cryptocurrency, crypto securities, dan crypto utility asset. Cryptocurrency adalah aset digital yang menggunakan mekanisme penciptaan melalui blockchain yang dapat ditukar atau dialihkan antara peserta jaringan dan digunakan sebagai alat pembayaran. Selanjutnya, crypto securities adalah aset digital yang juga menggunakan mekanisme blockchain, namun berfungsi sebagaimana securities biasa yang menawarkan adanya prospek pembayaran di masa mendatang, ataupun bagian keuntungan. 

Sedangkan, crypto utility assets adalah aset blockchain yang dapat ditukarkan atau memberikan akses ke beberapa produk atau layanan yang telah ditentukan sebelumnya. Pembeda lain dari sekuritas kripto dan aset utilitas kripto adalah bahwa mereka diterbitkan melalui penjualan publik, yang disebut penawaran koin awal atau initial coin offerings (ICO).

ICO itu sendiri menjadi sumber pendanaan yang signifikan bagi perusahaan start-up pengguna mekanisme blockchain. Klasifikasi aset kripto ini sangat penting bagi regulator global, karena pemerintah perlu menentukan apakah aset kripto tertentu harus diatur sebagai uang elektronik, sebagai sekuritas, atau sebagai instrumen keuangan lain, terutama  kekhawatiran terhadap perlindungan konsumen dan investor, diantaranya karena pembayaran ataupun salah transfer cryptocurrency seringkali tidak dapat dibatalkan, tidak sebagaimana pembayaran kartu kredit (Böhme dkk. 2015). 

Sementara itu, terdapat tiga fitur yang membedakan pasar cryptocurrency, yaitu investor bersifat non-institusional, risiko volatilitas pengembalian tinggi, dan nilai fundamentalnya tidak jelas. Dalam hal ini, penulis mempersempit cakupan pembahasan pada nilai ekonomis dari crypto assets yang dapat menjadi jaminan sebagaimana derivative, terutama rezim hukum jaminan yang ada di Indonesia.

Hukum Jaminan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan terhadap utang-piutang ataupun prestasi yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu, jaminan merupakan salah satu manajemen risiko terhadap kepercayaan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban terhadap kreditur. Adapun hukum jaminan dalam suatu negara dapat menunjang pembangunan ekonomi suatu negara melalui kegiatan perkreditan, penanaman modal, pembangunan infrastruktur, akselerasi memajukan ekonomi, ataupun sebagai sarana kebijakan afirmatif terhadap golongan ekonomi lemah. 

Ruang lingkup rezim hukum jaminan di Indonesia dibagi menjadi jaminan umum dan jaminan khusus. Berikutnya, jaminan khusus dibagi menjadi jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Selanjutnya, jaminan kebendaan dibagi menjadi benda tetap berupa tanah atau bukan tanah, dan menjadi benda bergerak berupa gadai atau fidusia. Jika pada jaminan perorangan kreditur merasa terjamin karena mempunyai lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih untuk memenuhi piutangnya, maka pada jaminan kebendaan kreditur merasa terjamin karena mempunyai hak untuk didahulukan (preferensi) dalam pemenuhan piutang atas hak hasil eksekusi terhadap benda-benda debitur. Aturan normatif mengenai jaminan umum diatur melalui Buku II KUHPerdata tentang Benda; Buku III KUHPerdata tentang Perikatan; dan KUHDagang. 

Sedangkan, jaminan khusus diatur melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria; UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah; UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia; dan Pasal 49 UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, mengenai Hipotek.

Berdasarkan pada sifat kebendaan, maka crypto asset dapat diklasifikasikan sebagai benda bergerak yang tidak berwujud (intangible). Crypto Asset tidak memiliki bentuk fisik, melainkan berupa data digital. Dalam hal ini, penulis membandingkan status aset data digital dengan  listrik sebagaimana dalam putusan (arrest) Hoge Raad Belanda pada 23 Mei 1921 tentang pencurian listrik, dimana majelis hakim memberikan argumentasi melalui perluasan makna terhadap listrik dan menciptakan klasifikasi benda tidak berwujud (intangible). Sedangkan, perceived value dari crypto asset adalah tidak murni sebagaimana tercipta melalui mekanisme permintaan-penawaran (supply-demand) pada produk barang dagang, saham, ataupun komoditi, melainkan lebih dekat kepada produk seni (art object) yang di valuasi melalui mekanisme appraisal berdasarkan pada perceived value

Hal ini berarti bahwa nilai dari produk seni adalah diciptakan oleh dealer, yang kemudian disepakati oleh pengguna atau orang yang bersedia untuk membayar senilai yang disepakati. Sehingga posisi crypto asset adalah diantara produk art yang subyektif dengan produk barang dagang yang obyektif. 

Oleh karena itu, menurut hemat penulis perlu ada lembaga appraisal nilai dari suatu crypto asset sebagaimana halnya appraisal yang dilakukan oleh lembaga gadai terhadap benda yang akan digadaikan. Berdasarkan pada uraian sebelumnya, maka posisi rezim hukum jaminan yang menaungi crypto asset berada diantara lembaga Gadai dan Fidusia. 

Namun demikian, karena teknologi dan mekanisme crypto asset berlangsung melalui ranah cyber, maka diperlukan rezim hukum khusus yang dapat mengakomodir crypto asset sebagai obyek jaminan dan mendorong berkembangnya ekosistem ekonomi pendukung untuk dapat memanfaatkan nilai ekonomis crypto asset secara optimal dan nyata sebagai sarana kemajuan menyongsong tatanan ekonomi dunia baru.

 

FL 

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Gede Khrisna Kharismawan, Mahasiswa Pasca Sarjana pada Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan