Black Campaign Skincare? Waspada dan Laporkan!

Black Campaign Skincare? Waspada dan Laporkan!

Black campaign merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh sejumlah orang untuk menjatuhkan suatu produk secara sengaja menggunakan media konvensional ataupun secara online. Black campaign tidak hanya terjadi di dunia  politik tetapi juga di dunia bisnis. Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat  black campaign semakin mudah dilakukan melalui media sosial seperti Instagram,  Tiktok, Twitter, dan platform media sosial lainnya. Tujuan dari black campaign ini  adalah agar masyarakat berpikiran bahwa produk yang dijual dari brand tersebut  merupakan produk yang buruk, sehingga nantinya masyarakat tidak membeli produk  yang bersangkutan. 

Salah satu contoh kasus black campaign yang sedang hangat di masyarakat  adalah kasus Mayang Lucyana Fitri yang melakukan review terhadap produk skincare Tan Skin. Melalui akun instagram story, Mayang berpendapat bahwa produk Tan Skin membuat wajahnya menjadi rusak. Ia melakukan pembelian terhadap produk Tan  Skin lantaran sudah banyak artis yang melakukan endorse terhadap produk  kecantikan tersebut. Sontak kejadian ini membuat pemilik skincare Tan Skin, Gil Gladys buka suara dan mengungkapkan bahwa pengakuan yang dilakukan oleh  Mayang Lucyana Fitri termasuk black campaign. Tak tinggal diam, Tan Skin merasa  bahwa kasus ini perlu dibawa ke ranah hukum karena merupakan pencemaran nama  baik (Aggi Suzatri, 2022). 

Pernyataan Mayang Lucyana Fitri sangat berbeda dengan semua bukti yang  diungkap pihak skincare. Pada kenyataannya, Mayang Lucyana Fitri belum memakai  produk tersebut dalam waktu yang lama, tetapi hanya baru menggunakan beberapa  jam setelah produk sampai dan kemudian Mayang Lucyana Fitri langsung melakukan  review pada akun instagram miliknya. Mayang Lucyana Fitri membeli produk pada  tanggal 24 Maret 2022 dan produk tersebut sampai pada hari yang sama pukul 15.00  WIB. Lalu, Mayang Lucyana Fitri langsung membuat instagram story pada akun  miliknya pukul 9 malam yang mana produk tersebut baru dipakai selama 7 jam saja  (Tri Yuna Aldima, 2022). 

Dari kasus di atas, maka terdapat 2 (dua) permasalahan hukum yang akan di  bahas. Pertama, bagaimana pengaturan black campaign skincare di Indonesia. 

Kedua, bagaimana perlindungan hukum terhadap korban black campaign.  Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk  mengetahui pengaturan black campaign skincare di Indonesia dan perlindungan  hukum terhadap korban black campaign

Pengaturan Black Campaign Skincare di Indonesia 

Sebelumnya, Mayang terancam hukuman sampai 6 tahun penjara dan dan/atau  denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atas perbuatan yang  dilakukannya. Pengaturan black campaign terhadap skincare di Indonesia belum  secara khusus diatur di Indonesia. Namun, terdapat beberapa regulasi yang berkaitan  dengan proses black campaign di Indonesia.  

Yang pertama adalah Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun  2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan Setiap  Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan  menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik  dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling  banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat  (1) UU ITE ini paling sering digunakan dalam kasus black campaign dikarenakan  adanya penggunaan unsur yang mengakibatkan kerugian konsumen, yang mana  konsumen sendiri diartikan sebagai Setiap Orang yang menggunakan barang/jasa  untuk kepentingan sendiri dan bukan untuk diperdagangkan sebagaimana diatur  dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen  (UUPK). 

Kemudian, Pasal 433 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi pasal yang dapat digunakan  dalam hal adanya tindakan pencemaran nama baik yang mencabut Pasal 27 ayat (3)  UU ITE mengenai pencemaran nama baik. Dalam Pasal 433 ayat (2) KUHP mengatur  mengenai Setiap Orang yang yang menyerang kehormatan atau nama baik orang lain  dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui  umum yang dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan,  atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan  pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling 

banyak kategori III. Dalam Penjelasan Umum Pasal 433 KUHP dikatakan bahwa  Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu tindak pidana dan objek dari pasal  ini ialah orang perseorangan. Lebih lanjut, dalam Pasal 79 KUHP dikatakan bahwa  pidana denda paling banyak ditetapkan dalam kategori III adalah Rp50.000.000,00  (lima puluh juta rupiah). 

Berdasarkan kedua pasal tersebut, adanya penggunaan unsur Setiap Orang  perlu dicermati mengenai siapa yang termasuk dalam unsur tersebut. Mengacu pada  Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1398K/KPid/1994 tanggal 30 Juni  1995, identik dengan “Setiap Orang” atau “Hij” sebagai siapa saja yang harus  dijadikan Terdakwa/Dader atau setiap orang sebagai subjek hukum (pendukung hak  dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggungjawaban dalam segala tindakan.  Maka, dalam hal ini penggunaan unsur “Setiap Orang” dapat diartikan sebagai siapa  saja yang dapat dijadikan terdakwa dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. 

Perlindungan Hukum terhadap Korban Black Campaign Skincare

Black campaign yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok di media sosial  dilakukan secara masif dan terstruktur. Hal tersebut didukung dengan adanya  teknologi yang mampu membuat akun-akun dan berisikan suatu konten-konten yang  dengan sengaja hendak menjatuhkan suatu produk yang dibuat oleh brand terkait.  Dalam hal ini, timbulnya urgensi perlindungan hukum bagi korban black campaign,  utamanya pemilik merek skincare

Perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam, yakni perlindungan hukum  preventif dan represif (Muchsin, 2003). Upaya preventif diberikan oleh pemerintah  atau pihak yang berwenang dengan tujuan mencegah sebelum terjadinya  pelanggaran. Perlindungan hukum bagi korban black campaign di Indonesia,  utamanya terhadap brand skincare belum diatur dengan jelas dalam peraturan  perundang-undangan. Kendati demikian, terdapat beberapa upaya yang dapat  dilakukan pemerintah untuk melindungi korban black campaign. Upaya preventif ini  perlu dilakukan secara optimal dengan menjalankan instrumen pengawasan. 

Pemerintah bekerja sama dengan pemilik merek skincare yang telah terdaftar di  DJKI dengan melakukan inventarisasi dan dokumentasi mengenai merek skincare terkait. Di sisi lain, pemerintah mengupayakan basis data (database) yang akurat  mengenai segala hal pokok berkaitan dengan merek terdaftar yang diperlukan dalam  rangka melakukan klaim terhadap pihak luar yang dianggap melanggar hak-hak pemilik merek atau menyebarkan “black campaign”

Pemodelan terkait database  tersebut perlu dibuat agar memudahkan setiap pemilik merek untuk memasukkan data-data mereknya. Oleh karena itu, untuk melindungi pemilik merek dari black  campaign, tidak cukup bagi pemerintah maupun aparat hukum membuat regulasinya  saja, melainkan perlu adanya inventarisasi, kompilasi, dan dokumentasi database  sesuai dengan batasan-batasan dan sebagai hal vital guna melindungi pemilik merek  dari serangan black campaign. Berikut formulasi upaya preventif yang dapat dilakukan  oleh pemerintah dan pemilik merek skincare

Black Campaign Skincare? Waspada dan Laporkan!
Tabel 1. Formulasi Upaya Preventif
  1. Kolektif data 

Kolektif data didapatkan dari media sosial, seperti Instagram, Twitter, Tiktok dan website. Kemudian, membuat data mining yang merupakan proses untuk  menemukan pola yang timbul dari sejumlah data-data dari berbagai aplikasi  yang digunakan untuk menarik data “black campaign”

Dalam hal  mengkolektifkan data uji menggunakan teknik knowledge based pada sejumlah media sosial yang memverifikasi black campaign. Dengan kata lain, knowledge  based diperlukan untuk memverifikasi fakta-fakta yang diajukan dalam konten  skincare serta membandingkan dengan unggahan yang relevan pada media  sosial untuk menguji kredibilitas suatu konten skincare

  1. Pra-proses data 

Berbagai data yang telah dikolektifkan dari media sosial akan dikategorikan  menjadi dua jenis, yakni data latih dan data uji. Data latih berisikan sejumlah  data yang terverifikasi sebagai black campaign dan data uji berisikan data yang belum terverifikasi sebagai black campaign

  1. Analisa data dan kesimpulan 

Setelah melakukan kategorisasi terhadap data, tahap selanjutnya yakni  melakukan perbandingan terhadap data zero, data latih dan data uji untuk  mengetahui apakah terhadap perbedaan nilai dari masing-masing data dan  diakhiri dengan evaluasi dan kesimpulan. 

Apabila dalam kesimpulan  dinyatakan terdapat black campaign, maka pemilik merek skincare dapat  mengajukan perlindungan hukum represif yang merupakan suatu perlindungan  akhir dengan memberikan sanksi, berupa denda dan/atau hukuman dengan  cara mengajukan gugatan pidana maupun gugatan perdata. Ketiga langkah  diatas dapat menjadi alat bukti bagi korban untuk menuntut pertanggung  jawaban bagi setiap orang yang melakukan black campaign

Terdapat gugatan perdata yang dapat diajukan oleh korban black campaign dan  parameter yang digunakan adalah perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan  Pasal 1365 KUHPerdata serta memberikan ganti kerugian kepada korban black  campaign sebagaimana putusan pengadilan. Mengacu pada hal tersebut, penyebaran  informasi yang dianggap sebagai black campaign seringkali terjadi di tengah  masyarakat, sehingga menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak. 

Oleh karena itu,  korban dapat menuntut pertanggungjawaban hukum kepada pelaku dengan cara  membuat gugatan dan diserahkan kepada pengadilan. Penyebaran black campaign memberikan kerugian yang besar bagi pemilik merek skincare, baik kerugian materil  maupun imateril. Hal tersebut dikarenakan perkembangan teknologi yang masif,  sehingga penyebaran informasi sangat cepat dan mudah.  

Sebagaimana Pasal 1365 KUHPerdata, si penderita akan mendapatkan ganti  kerugian, jika berhasil memberikan bukti bahwa tergugat (pelaku) telah senyatanya  terbukti melakukan PMH. Adapun, PMH dalam KUHPerdata dibuktikan dengan beban pembuktian berada pada penggugat (korban), jika penggugat berhasil membuktikan  bahwa tergugat melakukan PMH, maka penggugat akan mendapatkan ganti kerugian. 

Dalam hal ini, terdapat unsur-unsur perbuatan yang dikatakan sebagai PMH, yaitu  (Munir Fuady, 2005): 

  1. Adanya perbuatan melanggar hukum
    Perbuatan yang dianggap sebagai PMH, yakni:

    1. Perbuatan yang melanggar Undang-Undang; 
    2. Perbuatan yang melanggar hak orang lain dan dilindungi oleh hukum; 
    3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
    4. Perbuatan yang bertentangan dengan norma yang terdapat dalam  masyarakat 
  2. Adanya kesalahan oleh pelaku 
    1. Terdapat unsur kesengajaan; 
    2. Terdapat unsur kelalaian; 
    3. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; 
  3. Adanya kerugian yang timbul 

Kerugian yang timbul dan dirasakan oleh korban merupakan unsur PMH  sebagaimana Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam hal ini, terdapat kerugian materil  dan kerugian imateril yang timbul akibat perbuatan tersebut. Beberapa kerugian  yang dirasakan oleh pemilik merek skincare akibat adanya black campaign, yakni  penurunan brand trust dan/atau reputasi serta pengaruh purchasing behavior pelanggan terutama berkaitan dengan nilai (value) yang dimiliki, sehingga  menimbulkan keengganan bagi pelanggan untuk membeli produk skincare dari  merek tersebut. Hal tersebut akan membuat pemilik merek skincare kehilangan  pelanggan. Adapun, untuk membangun kembali brand trust dan/atau reputasi  dibutuhkan biaya yang tidaklah sedikit. Dalam kasus black campaign, pemilik  merek skincare harus melakukan damage control, seperti mengajukan gugatan  kepada setiap orang/sekelompok orang yang menyerang atau memberikan  informasi yang dianggap sebagai black campaign

  1. Adanya hubungan sebab akibat.  

Pihak penggugat (korban) harus membuktikan saling terkaitnya kesalahan  dan kerugian yang diderita di muka persidangan. Kesalahan merupakan suatu  unsur yang penting dalam pertanggungjawaban perdata. Dalam hal terbukti  adanya kesalahan yang dilakukan oleh tergugat dan melahirkan kerugian bagi penggugat, maka tergugat harus memberikan ganti kerugian kepada penggugat.  Dalam kasus black campaign, pemilik skincare yang merupakan penggugat harus  membuktikan adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku dalam  menyebarkan informasi dan diduga sebagai black campaign

Penggugat dapat  melampirkan bukti-bukti seperti inventarisasi, kompilasi, dan dokumentasi hal-hal  pokok berkaitan dengan skincare tersebut, kemudian dibandingkan dengan  penyebaran informasi yang dilakukan oleh pelaku. Apabila telah terbukti adanya  unsur kesalahan, maka pemilik merek skincare berhak mendapatkan ganti  kerugian dari tergugat. 

Kesimpulan 

Di Indonesia belum adanya peraturan khusus yang mengatur mengenai adanya  tindakan black campaign terhadap skincare. Namun, terdapat beberapa pasal yang  dapat dijadikan acuan dalam hal ini, antara lain Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat  (1) UU ITE, dan Pasal 433 ayat (2) KUHP. 

Perlindungan hukum kepada korban black campaign (pemilik merek skincare)  terbagi menjadi dua, yakni upaya preventif dan represif. Terlebih, perlindungan hukum  bagi korban black campaign di Indonesia, utamanya terhadap merek skincare belum  diatur dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, untuk  melindungi pemilik merek dari black campaign, tidak cukup bagi pemerintah maupun  aparat hukum membuat regulasinya saja, melainkan perlu adanya inventarisasi,  kompilasi, dan dokumentasi database sesuai dengan batasan-batasan dan sebagai  hal vital guna melindungi pemilik merek dari serangan black campaign

Saran 

Diharapkan segera dibuat dan disahkannya peraturan di Indonesia mengenai  black campaign yang secara khusus mengatur mengenai skincare, mengingat  siapapun bisa menjadi pelaku dan korban dari adanya black campaign ini serta agar  tidak adanya korban lain yang percaya mengenai informasi palsu atau berita bohong  yang disampaikan dalam black campaign. 

Untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban black campaign (pemilik merek skincare) perlu adanya sinergi dan kerja sama antara pemerintah dan  pemilik merek skincare tersebut dengan melakukan inventarisasi, kompilasi, dan  dokumentasi terhadap hal-hal pokok terkait skincare tersebut.

Daftar Pustaka 

Buku 

Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Bandung:  Citra Adiyta Bakti. 

Peraturan Perundang-Undangan 

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana. 

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1398K/KPid/1994. 

Jurnal 

Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia,  Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas  Maret. 

Sumber Lain 

Aggi Suzatri, Mayang Terancam Hukuman 6 Tahun Penjara Imbas Dianggap Lakukan  Black Campaign Skincare Thttps://sumsel.tribunnews.com/2022/03/31/mayang-terancam-hukuman-6- tahun-penjara-imbas-dianggap-lakukan-black-campaign-skincare-t, diakses  pada 15 Mei 2023. 

Tri Yuni Aldima, Diduga Lakukan Black Campaign Terhadap Skincare T, Mayang  Terancam Hukuman 6 Tahun Penjara, https://www.hops.id/hot/pr 2943128570/diduga-lakukan-black-campaign-terhadap-skincare-t-mayang terancam-hukuman-6-tahun-penjara?page=2, diakses pada 15 Mei 2023.

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Diva Yohana Margaretha Marbun, Inas Zulfa Sulasno, Shafira Nadya Nathasya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

AZ

Dipromosikan