Dilema Pandemi Covid-19 Terhadap Pelaksanaan Tugas Aparat Penegak Hukum

Dilema Pandemi Covid-19 Terhadap Pelaksanaan Tugas Aparat Penegak Hukum

Dilema Pandemi Covid-19 Terhadap Pelaksanaan Tugas Aparat Penegak Hukum

Napak tilas perjuangan para penegak hukum di masa pandemi. Apakah penegakkan protokol covid-19 di lingkungan peradilan sudah bisa menjamin kesehatan mereka?

Anwar merasa demam tinggi dan sesak nafasnya malam hari setelah dia pulang dari sidang di pengadilan. Setelah mencoba bertahan dengan obat seadanya, akhirnya segera dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya makin turun. Ternyata Anwar positif menderita Covid-19 dan segera mendapatkan perawatan di rumah sakit. 

Hingga 14 hari lebih Anwar di rumah sakit dan terpisah dari keluarganya. Anwar adalah tumpuan mata pencaharian keluarganya, istrinya seorang ibu rumah tangga dan anak-anaknya masih kecil. Sejak awal Anwar sudah menyadari risiko yang harus di hadapi dalam menjalankan profesinya. 

Sebagai advokat sehari-hari dia harus bersidang membela kepentingan kliennya, menghadapi kerumunan dan antrian sidang di pengadilan dengan penuh risiko penularan Covid-19. Namun karena sudah menjadi profesi dan tanggungjawabnya, risiko tersebut dia hadapi, walau nyawa menjadi taruhannya. Masih banyak rekan sejawat Anwar lainnya yang harus berjuang menghadapi risiko penyebaran virus korona ketika harus memperjuangkan kepentingan kliennya.  

Pada Peringatan HBA Ke-61 Jaksa Agung Republik Indonesia DR. Sanitiar Burhanuddin, S.H.,M.H, mengawali amanatnya dengan pernyataan berbela sungkawa atas segenap insan Adhyaksa yang telah gugur dan yang tengah berjuang sembuh dari covid-19. Hingga per tanggal 16 Juli 2021 sudah ada 52 (lima puluh dua) orang pegawai Kejaksaan yang meninggal dunia yang terdiri dari 38 (tiga puluh delapan) orang Jaksa dan 14 (empat belas) orang Pegawai Tata Usaha. Doa dihaturkan dengan penghormatan sedalam-dalamnya disampaikan. Ia pun berharap agar insan adhyaksa yang saat ini masih berjuang dalam covid-19 ini dapat sembuh dan dapat beraktivitas kembali.

Selanjutnya Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) mencatat per tanggal 23 Juli 2021 terdapat 55 (lima puluh lima) hakim yang meninggal dengan  16 (enam belas) diantaranya karena covid sejak periode Bulan Januari sampai dengan Juli 2021 ini. Terakhir kabar dari advokat senior, Mohamad Assegaf meninggal dunia karena Covid-19.

Berdasarkan data di atas menunjukan secara konkrit bahwa aparat penegak hukum kita yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat dibayang-bayangi potensi terpaparnya covid-19 saat menjalankan tugas. Beban berat pada situasi yang berat menjadikan aspek mitigasi dan perlindungan diri menjadi sangat esensial dilakukan.

Kebijakan Mahkamah Agung dalam memitigasi penyebaran Covid di badan Peradilan

Dalam diskusi Ditjen Badilag dengan Family Court of Australia medio 2020 lalu, menghasilkan beberapa konklusi Pengadilan harus tetap berjalan terkhusus untuk melindungi masyarakat yang rentan, sebagaimana disampaikan oleh Hakim Senior Australia Judy Ryan dengan menegakkan protokol covid-19 di lingkungan peradilan.

Tujuannya adalah agar para pencari keadilan tetap mendapatkan aksesibilitas dalam memperjuangkan haknya tanpa adanya keterbatasan yang dikarenakan keadaan pandemi ini.

Kemudian Mahkamah Aung (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2021 tentang Penerapan PPKM Darurat di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya pada Wilayah Jawa dan Bali (Sema No 7/2021) dan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pengaturan Pola Kerja bagi Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc pada MA RI pada Masa PPKM Darurat (Sema No. 8 Tahun 2021). 

Dalam Sema No. 7/2021 angka 1 disebutkan, Hakim dan Aparatur pada satuan kerja yang berada di wilayah Jawa dan Bali dengan status level 3 dan 4 berdasarkan diktum ketiga huruf c angka 2 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali menjalankan pola kerja Work From Office (WFO) maksimal 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan Hakim clan Aparatur di satuan kerja yang bersangkutan.

Secara materi muatan di atas menunjukan adanya limitasi jumlah presensi di lingkungan peradilan baik pihak yang beracara maupun yang berkunjung termasuk Aparat Penegak Hukum.

Pada angka 2 Sema No. 7/2021, menyatakan bahwa hakim dan aparatur yang sedang menjalankan pola kerja Work From Home (WFH) tetap melaksanakan pekerjaannya seperti biasa dengan sistem daring. Dengan demikian dalam Sema No. 7/2021 ini mengakomodir pelaksanaan persidangan secara daring.

Permasalahan kemudian adalah belum mengikatnya secara hukum kebijakan persidangan daring yang nantinya diharapkan dapat dilakukan oleh hakim sebagaimana pengaturan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No. 4/2021)

Pemahaman daring yang dimaksudkan pada Perma No. 4/2021 hanya mengatur bahwa hakim melaksanakan sidang secara daring dengan hakim harus tetap bersidang di ruang sidang pengadilan. Maka dari itu Ketua MA seharusnya mengeluarkan Peraturan teknis lebih lanjut agar hakim dalam melakukan persidangan daring dari rumah dan tidak harus ke pengadilan.

Dengan demikian terhadap wilayah administratif yang tidak dikategorisasikan sebagai daerah status level 3 dan level 4 menjalankan kegiatannya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No. 4/2021); Sema No. 1/2020 dan Perubahannya; SE No.8/2021 Jo. Sema No.9/2020.

Penanganan Perkara 100% Daring Bisakah?

Dalam laporan utama Kepaniteraan Mahkamah Agung RI Bulan Februari 2021, Ketua MA menyampaikan, “Dalam situasi pandemi Covid-19, perkara yang diterima MA tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 6,07% dibandingkan dengan situasi normal pada tahun 2019. 

Sementara itu, hakim agung selaku aktor utama pemutus perkara jumlahnya berkurang. Peningkatan beban perkara di tengah pandemi dan berkurangnya sumber daya manusia merupakan “kondisi sulit” bagi MA. Namun demikian, kondisi sulit ini tidak dijadikan hambatan, sebaliknya diposisikan sebagai tantangan untuk membangkitkan etos kerja dan menerapkan cara-cara baru dengan mengakselerasi pemanfaatan teknologi informasi”.

Pernyataan ini sejalan dengan peluang lingkungan badan peradilan dalam menyelenggarakan transformasi ini. Sebagaimana Sema diatas memberikan penjelasan bagwa perkara perdata, perdata agama, perkara tata usaha negara dan perkara tata usaha militer mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.

Terhadap perkara pidana, perkara pidana militer dan perkara jinayat mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik.

Pada Sidang Pleno Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2020 Presiden Joko Widodo menyampaikan,”Saya mencatat sebelum pandemi, MA sudah memiliki rencana besar untuk menggunakan teknologi informasi di lingkungan peradilan. Datangnya pandemi justru mempercepat terwujudnya rencana besar tersebut dan reformasi peradilan melalui penerapan sistem peradilan yang modern adalah keharusan”.

Pada satu sisi kukuhnya semangat transformasi ini tidak diikuti fakta di lapangan bahwa tidak semua pengadilan memiliki fasilitas teknis dan jaringan yang memadai untuk pelaksanaan sidang secada daring. Pernyataan dari Ketua MA, Syarifudin, pun disorot bahwa, dalam keadaan demikian maka pimpinan satuan kerja wajib memastikan sidang secara luring dapat diselenggarakan dengan tetap berpedoman pada protokol kesehatan ketat dan sidang dapat dilaksanakan apabila seluruh pihak terlibat melakukan tes swab antigen paling lambat 1×24 Jam sebelum persidangan digelar.

Realitasnya, “Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat PPKM (istimewa) misalnya, masih menggunakan sistem nomor antrian maka antrian biasanya cukup panjang di pagi hari. Tidak ada tanda jaga jarak di lantai, namun biasanya pengunjung menjaga jarak dengan kesadaran sendiri. Sebelum PPKM, hakim juga sempat menawarkan untuk sidang online apabila kondisi tidak memungkinkan dan kondusif namun hingga saat ini sidang masih berlangsung secara fisik”, menurut narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya kepada Kliklegal. 

Hal ini dibuktikan dengan beberapa dokumentasi sebagai berikut,

Dengan demikian pelaksanaan sidang daring atau luring akan sangat bergantung pada hal-hal teknis dan keputusan dari pimpinan satuan. Menjadi perhatian bersama bahwa, dalam pelaksanaan kebijakan antar pengadilan dengan pengadilan yang lain akan berbeda.

Sebagai perbandingan, lembaga arbitrase sudah menjalankan sidang melalui daring selama pandemi berlangsung. Hal ini dapat dijadikan suatu perbandingan yang harus secara serius dipersiapkan oleh MA apalagi belum ada kejelasan kapan pandemi ini akan berakhir. 

Perlindungan Kesehatan Bagi Aparat Penegak Hukum Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Dalam Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi manusia menyatakan adanya Hak atas Kesehatan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Hak atas kesehatan juga dinyatakan pada Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, sebagaimana disampaikan dalam Laporan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandra Moniaga pada pembukaan acara Pra-Festival HAM 2020 akhir tahun lalu.

Norma ini kemudian diturunkan dalam Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; setiap orang berhak hidup tentram, aman damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Terutama pada Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan bahwa, adanya jaminan atas hak memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Pertanyaan kemudian adalah apakah dengan melaksanakan persidangan dan pelaksanaan pengurusan administrasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum mencerminkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; memperoleh jaminan derajat kesehatan yang optimal?

Pertanyaan tersebut dijawab dengan realitas banyaknya aparat penegak hukum yang terpapar covid-19 sehingga akan mempengaruhi produktivitas pekerjaan. Kebijakan mempertahankan pelaksanaan WFO dalam Sema No. 7/2021 disaat PPKM sebanyak 25 persen dan masih memungkinkan adanya interaksi secara langsung dengan orang lain menjadi suatu kebijakan yang kontraproduktif.

Merujuk ada seluruh fakta dan data yang ada, alangkah baiknya jika MA mengkaji kembali kebijakannya demi terciptanya hukum yang berkeadilan pada jaminan derajat kesehatan aparat penegak hukum yang optimal. 

DS

Dipromosikan