Dua Rezim Putusan Pembatalan Putusan Arbitrase, Bagaimana Marwah Putusan MK?

Dua Rezim Putusan Pembatalan Putusan Arbitrase, Bagaimana Marwah Putusan MK

Dua Rezim Putusan Pembatalan Putusan Arbitrase, Bagaimana Marwah Putusan MK?

Prinsip Erga Omnes pada putusan Mahkamah Konstitusi ternyata tidak cukup berlaku, terutama terkait putusan tentang dihapusnya penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase nyatanya tidak sepenuhnya dijalankan. Hakim masih mensyaratkan putusan pidana sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.

Bagi pelaku usaha, memilih lembaga penyelesaian sengketa seperti memilih partner untuk bekerja sama. Bagaimana tidak, apabila pelaku usaha salah memilih lembaga penyelesaian sengketa hal itu akan menjadi bumerang bagi pihaknya sendiri. Untuk itu, salah satu alternatif yang dipilih oleh pelaku usaha ialah menyelesaikan perkaranya melalui lembaga arbitrase. Diharapkan dengan memilih lembaga arbitrase yang bersifat tertutup dan rahasia serta didukung dengan arbiter yang andal tentunya akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha itu sendiri.

Namun sungguh disayangkan, pada kenyataannya proses berarbitrase tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus dan sesuai dengan harapan. Setelah putusan arbitrase keluar, bisa saja ditemukan hal- hal yang tidak sesuai sehingga salah satu pihak yang berperkara mengajukan pembatalan putusan arbitrase. Hak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase sendiri diatur pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), yang berisi:

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,  diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
  3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam  pemeriksaan sengketa

Sebagai pintu masuk untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase Pasal 70 UU Arbitrase didukung oleh penjelasan yang mengatur terkait dengan perlu adanya putusan pengadilan.

“Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”

Atas penjelasan tersebut, Mahkamah Konstitusi pada 23 Oktober 2014 telah memutus bahwa Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.  Dengan adanya putusan MK tersebut seharusnya dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak perlu disyaratkan adanya putusan Pidana terlebih dahulu.

Di lingkungan Mahkamah Agung sendiri saat ini terdapat dua rezim alasan pembatalan putusan arbitrase yaitu dengan didahului putusan pidana dan tidak perlu didahului putusan pidana.

Rezim pertama yaitu dengan didahuluinya oleh putusan pidana terlihat pada perkara Nomor 427/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.JKT.SEL tertanggal 07 Juli 2021. Pada putusan tersebut, Majelis Hakim menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya tersebut dalam pertimbangannya memasukan SEMA Nomor 07 tahun 2012 sebagai dasar untuk menolak permohonan dan mengesampingkan Putusan MK.

“Menimbang bahwa dengan memperhatikan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014, Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menentukan suatu dokumen palsu atau tidak, maka hal tersebut merupakan kewenangan hakim pidana, hal ini sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (“SEMA RI”) No. 07 tahun 2012 yang menentukan “Tentang alasan pembatalan Putusan Arbitrase domestik yang bersifat limitatif tidak bisa disampingi dan harus merujuk kepada Pasal 70 UU No. 30/1999 beserta penjelasanya,” kutip salinan putusan.

SEMA Nomor 07 Tahun 2012, yang menjelaskan terkait dengan ketentuan arbitrase yaitu, “Apakah ketentuan Pasal 70 (dengan Penjelasan) tentang alasan pembatalan putusan arbitrase domestik yang bersifat limitatif bisa disimpangi? Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tidak dapat disimpangi.

Rezim kedua, putusan yang mempertimbangkan putusan MK alias tidak perlunya putusan pidana untuk membuktikan Pasal 70. Contohnya ialah Putusan Pengadilan Negeri 699/Pdt.G/2019/PN.Jkt.PSt  jo Putusan Mahkamah Agung No 327 B/Pdt.Sus-Arb/2021.

“Pertimbangan Hakim pada perkara a quo sangat logis karena judex facti tidak mungkin dapat memenuhi jangka waktu pemeriksaan 30 (tiga puluh) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, apabila harus didasarkan pada putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap,” kutip salinan putusan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 327 B/Pdt.Sus-Arb/2021.

Prof Basuki Rekso Wibowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga berpendapat bahwa putusan MK bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut berlaku bagi semua pihak tanpa kecuali, termasuk bagi kalangan hakim di bawah Mahkamah Agung (MA). Menurutnya setelah adanya putusan MK, tanpa dicabut sekalipun eksistensi SEMA Nomor 07 Tahun 2012 kehilangan kekuatan berlakunya.

Sejalan dengan Prof. Rekso, Fitra Arsil, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia memaparkan berdasarkan Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.

Melihat dari prinsip dari Putusan MK yang bersifat erga omnes dalam hal ini berlaku bagi semua pihak, termasuk Hakim di bawah naungan MA tentunya memberikan optimisme bagi pelaku usaha. Secara jelas bahwa putusan MK menyatakan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase bertentangan dengan UUD 1945, sehingga hakim yang masih menerapkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase melanggar UUD 1945. Tentunya prinsip keadilan yang menjadi tujuan hukum tidak dapat tercapai apabila hakim yang memutus tidak menerapkan hukum secara sesuai.

Terlebih lagi, merujuk pada salah putusan 427/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.JKT.SEL yang diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tidak diterapkannya putusan MK karena dibenturkan dengan adanya SEMA. Namun dapat dikatakan secara ringkas bahwa secara substansi Surat Edaran tidak boleh bertentangan dengan UU. Lalu apabila hakim masih menerapkan substansi UU yang telah dihapus oleh MK dengan mendasarkan pada SEMA, menjadi pertanyaan berikutnya, siapa yang akhirnya mau menerapkan putusan MK?

Ali Imron, S.H.I

Ali merupakan Partner dari Kantor Hukum BPLawyers. Ali, yang mengkhususkan diri dalam penyelesaian sengketa, memiliki pengalaman luas dalam menyelesaikan berbagai hal terkait hukum, seperti kepailitan dan PKPU, hubungan industrial dan penyelesaian sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Dipromosikan