Halal Watch Nilai Putusan MK Mengenai Uji Materi UU JPH Sudah Tepat

Pemohon dinilai tidak bisa membedakan antara mandatory sertifikasi halal dan mandatory halal.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (kedua dari kiri). Sumber Foto: http://halalwatch.or.id

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang diajukan oleh advokat Paustinus Siburian.

“Putusan MK sudah tepat,” kata Ikhsan dalam konferensi pers usai pembacaan putusan oleh majelis hakim konstitusi, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (21/2). (Baca Juga: Permohonan Kabur, MK Nyatakan Uji Materi UU Halal Tidak Dapat Diterima).

Menurut Ikhsan, kekhawatiran pemohon yang didasari oleh pemikiran bahwa UU JPH menganut mandatory halal adalah keliru, sehingga tidak memahami perbedaan antara Mandatory Sertifikasi Halal dan Mandatory Halal.  “Saya tegaskan di sini pemohon ini tidak memahami secara benar mengenai barang yang dimaksud oleh UU JPH, antara mandatory sertifikasi halal dan mandatory produk halal,” ujarnya.

“Ini yang menjadi persoalan sehingga yang bersangkutan sebagai warga negara dan advokat tersebut mengajukan permohonan. Di dalam UU JPH, jelas yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah mandatory sertifikasi halal, bukan mandatory halal,” ujar Ikhsan. (Baca Juga: Uji Materi UU Halal Tidak Diterima oleh MK, Pemohon Kecewa).

Ikhsan menegaskan UU JPH mengatur mandatory sertifikasi halal. Artinya, memperbolehkan barang yang tidak halal itu beredar di Indonesia. Jadi, bagi warga negara non muslim diperbolehkan memakan makanan yang di luar syariat Islam, seperti meminum alkohol, makan daging babi, atau lainnya.

Lebih lanjut, Ikhsan menjelaskan jika UU JPH mengatur Mandatory Halal, maka semua produk wajib halal apa pun jenisnya. Tentu saja ini akan berbahaya dan merugikan umat non muslim dan kewajiban merupakan langkah yang tidak tepat, mengingat Indonesia terdiri dari beragam agama yang dilindungi hak-haknya dalam konstitusi. “Ini dipertegas dan Alhamdulillah pada hari ini Mahkamah Konstitusi sudah meluruskan bahwa permohonan itu tidak jelas, kabur dan tidak dapat dipertimbangkan alias tidak dapat diterima,” ujarnya. (Baca Juga: Paustinus Siburian, Advokat yang Berani Uji Materi UU Jaminan Produk Halal).

Lebih lanjut, Ikhsan menjelaskan bahwa UU JPH mengatur tentang Mandatory Sertifikasi Halal. Artinya, setiap produk yang beredar seharusnya disertifikasi halal oleh lembaga berwenang. Sertifikasi halal ini bertujuan melindungi konsumen dari bahaya kandungan bahan-bahan haram, sebagaimana banyak kasus ditemui belakangan ini.

Ikhsan menuturkan sebetulnya hadirnya UU JPH ini supaya tidak ada kebimbangan. Ia menjelaskan yang dimaksud dengan barang dalam undang-undang itu adalah produk. Produk itu bisa meliputi barang dan jasa yang berkaitan dengan produksi itu dari awal sampai akhir itu harus halal. (Baca Juga: Definisi Tak Jelas Jadi Alasan Advokat Gugat UU Jaminan Produk Halal).

“Jadi kalau di tengah-tengah ada yang tidak halal dari menyimpannya, mengangkutnya misalnya dicampur sama yang tidak halal, daging sapi dicampur sama daging celeng misalnya. Maaf di pedesaan susah angkutan, tetap tidak boleh, haram hukumnya itu dijelaskan. Jadi yang harus halal dari produk, bahan, sampai proses,” kata Ikhsan.

“Jadi, logistik yang mengangkutnya harus logistik yang halal, menempatkannya juga harus yang halal. Misalnya memasak di bejana taruh di dapur bareng-bareng sama daging celeng. Itu enggak boleh. Jadi dia menginformasikan restonya halal itu tidak akan bisa kalau seperti itu, tidak diizinkan untuk mendapatkan sertifikasi resto (restoran,-red) yang halal karena apa memaksakannya tidak halal. Bejana dan barang-barangnya itu berhubungan dengan kehalalannya itu clear dari undang-undang itu,” pungkasnya.

(PHB)

Dipromosikan