Ketentuan Hukum Transaksi Repurchase Agreement (REPO) di Pasar Modal

Roberto Leiwakabessy, SH., CLA

Ketentuan Hukum Transaksi Repurchase Agreement (REPO) di Pasar Modal

Geliat perkembangan pasar modal terus menunjukkan tren positif, hal ini ditandai dengan banyak masyarakat yang berinvestasi dan bertransaksi lewat pasar modal. Pasar Modal memiliki peran penting dalam pengembangan ekonomi suatu negara. Selain itu pasar modal juga berperan dalam mempertemukan emiten yang tengah membutuhkan dana dan para investor atau masyarakat pemilik modal yang ingin menginvestasikan uang.

Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Efek adalah suatu surat berharga yang bernilai serta dapat diperdagangkan. Efek dapat dikategorikan sebagai hutang dan ekuitas seperti obligasi dan saham.

Salah satu jenis transaksi di pasar modal yang cukup berkembang adalah transaksi Repurchase Agreement (REPO). Semula Transaksi REPO dibuat dan disusun secara tidak transparan dan tidak ideal sehingga kerap kali terjadi perselisihan hukum. Oleh sebab itu, untuk menjaga aktivitas pasar modal agar tetap teratur, wajar, dan efisien maka pada tahun 2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK No. 9/POJK.04/2015 (selanjutnya disebut ‘POJK REPO’) tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement dengan lampiran Global Master Repurchase Agreement Indonesia sebagai suatu standarisasi dalam Perjanjian Transaksi Repurchase Agreement (REPO).

Standarisasi Transaksi Repurchase Agreement (REPO)

Pasal 1 ayat 1 POJK REPO menyebutkan, ‘Repurchase Agreement (REPO) adalah kontrak jual atau beli Efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan.’ POJK REPO juga secara tegas menentukan bahwa setiap Transaksi REPO yang dilakukan wajib dibuat dalam suatu perjanjian tertulis. Pasal 4 ayat (1) POJK REPO menyebutkan: ‘Setiap Transaksi REPO wajib berdasarkan pada perjanjian tertulis.

POJK REPO merupakan suatu standarisasi pelaksanaan transaksi REPO yang mensyaratkan untuk setiap Transaksi REPO dibuat dan disusun menggunakan Global Master Repurchase Agreement (GMRA) Indonesia sebagaimana termuat dalam Surat Edaran OJK No. 33/SEOJK.04/2015. GMRA Indonesia ini merupakan standar perjanjian tentang Transaksi REPO hasil ratifikasi dan pengembangan dari GMRA Global yang diterbitkan oleh International Capital Market Association (ICMA) sesuai dengan ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Pasal 5 ayat (1) POJK REPO menyebutkan: ‘Setiap perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib menerapkan GMRA Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau pihak lain yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan’

GMRA Indonesia wajib digunakan oleh Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang melakukan Transaksi REPO baik untuk kepentingan sendiri maupun bertindak sebagai perantara (agen) untuk kepentingan dan/atau atas nama nasabah atau pihak lain. Lembaga Jasa Keuangan yang dapat bertindak sebagai agen Transaksi REPO hanya Lembaga Jasa Keuangan yang menjadi partisipan (partisipan adalah Bank Kustodian atau Perusahaan Efek) pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

Pasal 6 ayat (1) POJK REPO memberikan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi kepada Lembaga Jasa Keuangan sebelum melakukan Transaksi REPO diantaranya:

  1. Memiliki direktur dan/atau pegawai yang berwenang untuk melakukan Transaksi REPO;
  2. Mempunyai pegawai yang memiliki pengetahuan dan pengalaman kerja yang memadai dalam Transaksi REPO serta memahami peraturan terkait Transaksi REPO;
  3. Memastikan adanya Efek dan/atau dana untuk penyelesaian Transaksi REPO;
  4. Memastikan setiap Transaksi REPO dilakukan oleh Direktur atau pegawai yang berwenang sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  5. Memiliki kebijakan, prosedur, dan pengendalian internal yang memadai; dan,
  6. Memiliki manajemen resiko dalam menangani resiko yang timbul dari Transaksi REPO.

Lebih lanjut Pasal 6 ayat (2) POJK REPO mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi REPO untuk:

  1. Melakukan pembukuan dan pencatatan serta memiliki dokumentasi yang memadai atas Transaksi REPO yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan;
  2. Menerapkan perlakuan Akuntansi pada laporan keuangan Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku; dan,
  3. Melakukan pencatatan identitas pihak-pihak dalam Transaksi REPO secara benar.

 

Wanprestasi dalam Transaksi REPO

Secara umum jual beli merupakan hubungan antara penjual dan pembeli dengan kondisi yang telah disepakati dan dituangkan dalam suatu perjanjian, sehingga ketentuan hukum tentang sah nya suatu perjanjian dalam perjanjian transaksi REPO. Bilamana salah satu pihak, baik Penjual maupun Pembeli, gagal melaksanakan kewajibannya maka pihak tersebut telah wanprestasi.

Sebagai konsekuensi hukum dari wanprestasi, maka pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga atau membatalkan perjanjian tersebut sebagaimana ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian Transaksi REPO, sangat dimungkinkan terjadi wanprestasi atau kegagalan dalam pemenuhan kewajiban. Hal yang paling umum terjadi dan dihadapi oleh investor dalam transaksi REPO saham adalah terjadinya kondisi penjual REPO tidak dapat melakukan pembelian kembali saham atau mengembalikan uang investor atau pemegang REPO ketika jatuh tempo sebagaimana ketentuan Perjanjian Transaksi REPO.

Menurut R. Subekti, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa:

  1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan;
  3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat; atau,
  4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata, Pihak yang dirugikan atas terjadinya kegagalan atau kondisi wanprestasi memiliki hak ganti rugi atas biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, termasuk bunga.

Dan sebaliknya, Pasal 1236 KUH Perdata mewajibkan kepada pihak yang telah gagal atau melakukan wanprestasi untuk memberikan biaya ganti rugi dan bunga kepada si berpiutang. Investor sebagai pihak pembeli REPO Saham dapat menuntut ganti kerugian materil berupa sejumlah uang senilai yang seharusnya didapatkan ketika jatuh tempo sesuai dengan perjanjian dan kerugian immateril, termasuk keuntungan yang akan diperoleh di kemudian hari.

Penjelasan Pasal 3 ayat (3) POJK REPO menyebutkan yang dimaksud dengan “peristiwa kegagalan” (Event of Default) dalam Transaksi REPO, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

  1. kegagalan memenuhi kewajibannya terkait dengan Transaksi REPO;
  2. Lembaga Jasa Keuangan dalam kondisi dibekukan sementara kegiatan usahanya (suspensi);
  3. pernyataan yang dibuat penjual atau pembeli salah atau tidak benar secara material pada saat diberikan atau ditegaskan kembali, dan pihak yang tidak wanprestasi (non-defaulting party);
  4. mengirimkan pemberitahuan peristiwa kegagalan pada pihak yang wanprestasi (defaulting party); dan,
  5. Pihak dalam Transaksi REPO pailit.

Mengutip penjelasan pada poin 19 (sembilan belas) dalam dokumen Tanya Jawab Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 09/POJK.04/2015 Tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement bagi Lembaga Jasa Keuangan menyebutkan bahwa ‘setiap terjadi sengketa atau perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian transaksi REPO menggunakan GMRA Indonesia, akan dirujuk dan diputuskan melalui lembaga Arbitrase salah satunya Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) atau yang saat ini dikenal dengan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK).

Transaksi REPO di Pasar Modal memang salah satu mekanisme dalam rangka investasi. Namun demikian, bagi para calon investor dan atau pihak-pihak dalam Transaksi REPO perlu untuk bijak dan memiliki kehati-hatian serta pemahaman yang cukup untuk meminimalisir munculnya permasalahan hukum.

 

FL

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Roberto Leiwakabessy, SH., CLA. Penulis merupakan Praktisi Hukum (advokat).

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan