Menyoal Tidak Adanya Batas Waktu Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Menyoal Tidak Adanya Batas Waktu Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Menyoal Tidak Adanya Batas Waktu Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

“PN Jakarta Pusat tidak dapat membatalkan putusan arbitrase (internasional) yang dijatuhkan di luar wilayah Indonesia. Sehingga, Pasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur batas akhir penyerahan putusan itu.”

Arbitrase merupakan pilihan bagi para pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketa bisnisnya. Penyelesaian melalui arbitrase memiliki sejumlah karakter yang berbeda dibandingkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Diantaranya, prosesnya relatif lebih cepat, sebab hal-hal yang bersifat prosedural dan administratif tak sebanyak di pengadilan. Selain itu, kerahasiaan lebih terjamin karena sidang dilakukan tertutup. Kemudian, putusan bersifat mengikat dan final, sehingga terhadapnya tidak bisa diajukan upaya hukum, seperti banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.

Namun, arbitrase bukan tanpa problematika. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga memiliki sejumlah problematikanya sendiri. Di Indonesia, problematika tersebut khususnya terkait pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Sebelum menilik lebih jauh, perlu diketahui ketentuan-ketentuan dasar mengenai pelaksanaan suatu putusan arbitrase internasional di Indonesia, yang selengkapnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Pasal 1 angka 9 UU AAPS, mendefinisikan putusan arbitrase internasional, sebagai putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Adapun, menurut Pasal 65 UU AAPS, PN yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia hanyalah PN Jakarta Pusat.

Terdapat sejumlah syarat agar putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, hal ini diatur Pasal 66 UU AAPS, yakni:

  • Putusan dijatuhkan arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang terikat perjanjian bilateral maupun multilateral dengan Indonesia, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional;
  • Putusan menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
  • Putusan tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
  • Putusan hanya dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua PN Jakarta Pusat; dan
  • Putusan yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung, yang selanjutnya dilimpahkan kepada PN Jakarta Pusat.

Perjanjian multilateral tersebut, utamanya adalah Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Konvensi New York 1958). Yang telah ditandatangani 168 negara, termasuk Indonesia, melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards“, yang Telah Ditandatangani di New York pada Tanggal 10 Juni 1958 dan Telah Mulai Berlaku pada Tanggal 7 Juni 1959.

Menurut Pasal 67 UU AAPS, sebelum dapat dilaksanakan, putusan arbitrase internasional perlu memperoleh eksekuatur, dan untuk mendapatkan eksekuatur, putusan perlu diserahkan dan didaftarkan terlebih dahulu oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera PN Jakarta Pusat dalam berkas permohonan pelaksanaan. Berkas harus disertai dengan:

  • Lembar asli atau salinan otentik putusan, sesuai ketentuan otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
  • Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan, sesuai ketentuan otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
  • Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia, perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa, berbeda dengan pendaftaran putusan arbitrase nasional di PN, yang memiliki batas waktu maksimal 30 hari sejak putusan ditetapkan (Pasal 59 ayat (1) UU AAPS), pendaftaran putusan arbitrase internasional di Indonesia (dalam hal ini, di PN Jakarta Pusat), tidak memiliki batasan waktu.

Lantas, apakah ketiadaan ketentuan ini pernah mengundang polemik? Apa sebetulnya yang menjadi alasan ketiadaan ketentuan ini?

Tak Ada Batas Waktu, Tak Ada Kepastian Keadilan?

Mengenai hal ini dapat dipelajari dari satu perkara di Mahkamah Konstitusi pada 2015 silam.

Pada 9 Januari 2015 silam, PT. Indiratex Spindo, yang dalam hal ini diwakili oleh direktur utamanya, Ongkowijoyo Onggowarsito, melalui kuasa hukumnya, Fahmi H. Bachmid, Imam Asmara Hakim, dan Zaenal Fandi, mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU AAPS ke Mahkamah Konstitusi. Perkara itu bernomor Nomor 19/PUU-XIII/2015.

Adapun, Pasal 67 ayat (1) UU AAPS berbunyi: “Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sementara, Pasal 71 UU AAPS berbunyi: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Pemohon mengklaim menderita kerugian konstitusional dengan berlakunya ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU AAPS, yang tidak mengatur batas waktu pendaftaran putusan arbitrase internasional, serta kewajiban PN Jakarta Pusat memberitahukan adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional kepada termohon.

Putusan arbitrase internasional, yang menyatakan pemohon harus membayar ganti rugi ke pihak lawan, yakni putusan forum arbitrase di Liverpool, International Cotton Association (ICA), didaftarkan 1 tahun 5 bulan setelah diputuskan pada 14 Desember 2012. Pemohon juga baru mengetahui adanya pendaftaran putusan tersebut 3 bulan setelah putusan didaftarkan.

Oleh karenanya, menurut pemohon, Pasal 69 ayat (1) UU AAPS, menyebabkan hilangnya hak pemohon untuk mendapatkan kepastian keadilan, melalui pengajuan pembatalan putusan, sebagaimana diatur Pasal 71 UU AAPS. Yang mengatur batas waktu diajukannya permohonan pembatalan maksimal 30 hari sejak putusan didaftarkan.

Pemohon juga menguraikan, terdapat diskriminasi hukum, bagi pemohon sebagai badan hukum Indonesia sebagai pihak dalam putusan arbitrase internasional, dengan badan hukum Indonesia lainnya sebagai pihak dalam putusan arbitrase nasional. Sebab, pendaftaran putusan arbitrase nasional di PN dibatasi oleh jangka waktu tertentu, sementara pendaftaran putusan arbitrase internasional tidak.

Dengan demikian, menurut pemohon, Pasal 67 ayat (1) UU AAPS bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang masing-masing mengatur bahwa, negara Indonesia adalah negara hukum, dan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim untuk menyatakan Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71  UU AAPS bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Atau, Pasal 67 ayat (1) UU AAPS dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai: “Putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera PN Jakarta Pusat paling lambat 30 hari sejak tanggal Putusan Arbitrase dijatuhkan.”

Begitu pula untuk Pasal 71 UU AAPS, dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai: “(Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama) 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera PN tersebut diberitahukan kepada termohon eksekusi.”

Bagaimana dengan Putusan Hakim?

Pada 3 November 2015, pada akhirnya, Majelis Hakim menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Hal ini didasari pada beberapa pertimbangan hukum, khususnya bahwa kerugian yang diderita pemohon bukanlah kerugian konstitusional, yang disebabkan berlakunya ketentuan Pasal 67 ayat (1) serta Pasal 71 UU AAPS. Melainkan kerugian finansial yang timbul dari putusan ICA terkait. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Majelis Hakim, dalam beberapa poin.

Pertama, Pasal 67 ayat (1) UU AAPS, merupakan aturan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pengadilan Indonesia, dalam hal ini, PN Jakarta Pusat, tidak berwenang melakukan pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase internasional, sehingga tidak ada relevansinya untuk mengatur pemberitahuan adanya pendaftaran atau penyerahan putusan arbitrase internasional.

Dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1) UU AAPS, hak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase internasional tidaklah hilang. Sebab, aturan itu tidak menghalangi maupun menghilangkan hak tersebut. Hak tersebut tetap ada, dan bisa direalisasikan, namun harus diajukan ke Pengadilan Inggris, menurut ketentuan hukum Inggris, dimana ICA berkedudukan, bukan di Indonesia, dalam hal ini ke PN Jakarta Pusat.

Kedua, terkait Pasal 71 UU AAPS, majelis hakim menerangkan bahwa aturan itu mengatur batas waktu permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional, bukan putusan arbitrase internasional. Lagi-lagi menegaskan, bahwa pengadilan Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase internasional. Sehingga, majelis hakim menyatakan pemohon telah mencampuradukkan dua substansi pengaturan yang berbeda dan tidak berhubungan.

Ketiga, untuk lebih memperjelas, bahwa kerugian pemohon bukanlah kerugian konstitusional, majelis hakim menghubungkan alasan permohonan pemohon dengan tuntutan pemohon. Jika benar, kerugian yang diderita pemohon adalah kerugian konstitusional, jika permohonan dikabulkan, kerugian pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi. Namun, yang akan terjadi tidaklah demikian, karena misalkan permohonan dikabulkan pun, pemohon tetap tidak bisa mengajukan pembatalan putusan arbitrase internasional di pengadilan Indonesia.

Oleh karena kerugian yang dialami pemohon bukanlah kerugian konstitusional, sebagaimana diatur Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemohon dinyatakan tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang menjadi syarat pengajuan permohonan uji materiil. Karenanya, hakim juga tidak dapat mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan pemohon.

Tanggapan BANI dan DPR

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sempat memberikan keterangan dalam persidangan perkara tersebut, tepatnya pada 21 April 2015 silam. Wakil Ketua BANI kala itu, M. Husseyn Umar, mengatakan, “PN Jakarta Pusat tidak dapat membatalkan putusan arbitrase (internasional) yang dijatuhkan di luar wilayah Indonesia. Sehingga, Pasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur batas akhir penyerahan putusan itu.”

BANI menguraikan, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958, kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase internasional berada pada negara dimana putusan terkait dijatuhkan.

BANI juga mengingatkan bahwa, perlu dibedakan antara pembatalan (annulment) dan penolakan (refusal) putusan arbitrase internasional, sebab keduanya memiliki akibat hukum yang berbeda. Pembatalan putusan berakibat dinafikannya putusan arbitrase seakan-akan tidak pernah dibuat, sedangkan penolakan putusan tidak berakibat demikian. Penolakan putusan berakibat tidak dapatnya putusan terkait untuk dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang menolaknya.

Oleh karena itu, ketiadaan batas waktu pendaftaran dalam Pasal 67 ayat (1) UU AAPS, tidak menghilangkan hak konstitusional pemohon. Sebab, hak tersebut tetap ada, dan dapat diajukan ke Pengadilan Inggris.

BANI juga mengingatkan bahwa, arbitrase bersumber pada kesepakatan para pihak, yang berlandaskan pada asas pacta sunt servanda, untuk menyelesaikan sengketa melalui majelis arbitrase. Dengan demikian, para pihak diharapkan melaksanakan putusan arbitrase dengan sukarela, tanpa ada upaya untuk membatalkannya.

Pada kesempatan yang sama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), turut memberikan keterangan. Bahwa tidak ditentukannya batas waktu penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase internasional mempertimbangkan, diantaranya persyaratan-persyaratan yang harus dilengkapi dan disertakan oleh pemohon eksekusi dalam penyampaian berkas permohonan eksekusi, sebagaimana diatur Pasal 67 UU AAPS, memerlukan waktu yang cukup lama.

DPR juga berpendapat, ketentuan yang dipersoalkan telah sesuai dengan tata cara pelaksanaan putusan yang diatur dalam hukum acara perdata. Anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana, mengatakan, “Sehingga mengenai jangka waktu pemberitahuan pendaftaran putusan arbitrase internasional hanya persoalan teknis, bukan persoalan konstitusionalitas norma.”

Perlawanan Tunda Eksekusi

Bimo Prasetio, Partner dari kantor hukum BP Lawyers, berkisah tentang persoalan ketika membantu kliennya melakukan eksekusi putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) di Indonesia. 

Setelah memperoleh eksekuatur dari PN Jakarta Pusat, ternyata masih panjang jalan penyelesaian eksekusi aset dari termohon. Ketika itu, termohon eksekusi melakukan perlawanan di pengadilan negeri. Alhasil, harus dilalui proses bertahun-tahun mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga ke Mahkamah Agung (MA). Ketika itu, pengadilan tidak dapat melanjutkan proses eksekusi karena menunggu perlawanan berkekuatan hukum tetap. 

Walaupun pada akhirnya perkara tersebut dimenangkan oleh kliennya di tingkat MA, namun setidaknya butuh waktu 4 tahun perkara tersebut dapat dilanjutkan proses eksekusinya. 

“Saat itu aset yang akan dieksekusi berupa saham di beberapa perusahaan milik termohon. Ketika akan dieksekusi, termohon sudah menarik semua keuntungan, bahkan perusahaan dalam kondisi minus, punya hutang pajak yang sangat besar, serta domisili perusahaan termohon sudah tidak diketahui. Tentunya Klien kami kesulitan untuk melanjutkan eksekusi. Apalagi diketahui perusahaan termohon ini sudah colaps, bahkan di beberapa publikasi, aset dari owner perusahaan tersebut juga dalam proses lelang oleh beberapa bank.” ujarnya. 

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing cukup menjadi tantangan dalam pelaksanaannya di Indonesia. Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah ketika Pertamina melawan Karaha Bodas. Ketika itu PN Jakarta Pusat sempat membatalkan putusan arbitrase Jenewa, walau kemudian MA menganulir putusan PN Jakarta Pusat. Di luar Indonesia, Karaha Bodas juga melakukan eksekusi terhadap aset Pertamina di beberapa negara lain seperti di Hongkong dan Amerika Serikat. 

 

AAB/RED

Dipromosikan