Ojol AirAsia Vs. Ojol Indonesia: Driver Hubungan Kerja Vs. Driver Hubungan Kemitraan

Ojol AirAsia Vs. Ojol Indonesia Driver Hubungan Kerja Vs. Driver Hubungan Kemitraan
Image Source by ayoyogya.com

Ojol AirAsia Vs. Ojol Indonesia: Driver Hubungan Kerja Vs. Driver Hubungan Kemitraan

“Akademisi Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Fitriana, menjelaskan agar skema Hubungan Kemitraan yang diterapkan dalam layanan ojol di Indonesia digantikan dengan skema Hubungan Kerja.”

Dilansir dari situs perusahaan, platform layanan perjalanan Airasia Super App diketahui tengah membuka lowongan pekerjaan bagi driver ojek online (ojol) yang ada di Malaysia. Sebagaimana informasi yang didapat dari situs Airasia, driver yang bergabung dengan platform ini nantinya akan ditetapkan sebagai full-time employees atau pekerja tetap penuh waktu.

Jika dibandingkan dengan di Indonesia, skema hubungan yang digunakan antara perusahaan penyelenggara layanan dengan driver-nya disini bukanlah Hubungan Kerja yang bersifat tetap seperti yang dilakukan Airasia di Malaysia, melainkan Hubungan Kemitraan. Terdapat sejumlah faktor yang dinilai lebih menguntungkan perusahaan yang mana menyebabkan banyak platform di Indonesia lebih memilih menggunakan skema Hubungan Kemitraan dibandingkan Hubungan Kerja yang bersifat tetap.

Kendati demikian, Hubungan Kemitraan yang diterapkan saat ini di Indonesia pun dirasa oleh beberapa pihak sudah tidak lagi relevan jika melihat kondisi permasalahan yang kerap terjadi. Minimnya fasilitas penunjang hingga ketidakpastian pendapatan diketahui menjadi salah dua dari beberapa isu yang timbul dari praktik Hubungan Kemitraan antara penyelenggara layanan dengan driver ojol ini di Indonesia.

Lantas, apakah skema Hubungan Kerja yang ditawarkan Airasia Super App di Malaysia dapat menjadi ‘angin segar’ bagi permasalahan ojol di Indonesia? dan apa sejatinya perbedaan skema Hubungan Kerja yang bersifat tetap dengan Hubungan Kemitraan? Simak pembahasan lebih lanjutnya berikut ini.

Perbedaan Praktik Ojol AirAsia Malaysia dengan Ojol lainnya di Indonesia

4 Agustus 2022, Airasia Super App melalui situs resmi perusahaan mengumumkan bahwa pihaknya tengah menawarkan posisi sebagai driver ojol di perusahaannya. Pembukaan lowongan ini dilakukan perusahaan sehubungan dengan rencana untuk meningkatkan kinerja layanan airasia food dan airasia xpress yang dimiliki platform ini.

Airasia Super App diketahui lebih lanjut akan memberlakukan skema Hubungan Kerja sebagai pekerja tetap penuh waktu kepada pada driver ojolnya. Tidak main-main, Airasia Super App bahkan berani menjamin para drivernya tersebut akan mendapatkan pemasukan mencapai RM3000 atau setara Rp10 juta perbulannya melalui gaji yang diberikan perusahaan apabila mereka bergabung dengan platform layanannya tersebut.

Chief Executive Officer AirAsia Group, Tony Fernandez, menuturkan dalam keterangannya bahwa alasan AirAsia lebih berpreferensi untuk menggunakan skema Hubungan Kerja bersifat tetap ini sebab Airasia, menurut Tony, ingin sekali mengedepankan kesejahteraan driver ojol selaku ujung tombak dari bisnis perusahaannya melalui kepastian pendapatan berupa gaji dan beberapa tunjangan yang diberikan perusahaan.

Airasia juga sejatinya berkeinginan untuk memberikan peluang yang tidak terbatas kepada para driver ojol nya terhadap kesempatan posisi pekerjaan yang lebih luas di dalam perusahaannya. Atas dasar tersebut, Tony menilai bahwa Hubungan Kerja bersifat tetap ini merupakan skema paling tepat untuk diterapkan dalam bisnis model platform Airasia Super App dibandingkan dengan skema lainnya.

Memiliki penerapan yang berbeda, platform layanan ojek online yang ada di Indonesia sebagaimana diketahui menggunakan skema Hubungan Kemitraan dalam bisnis modelnya. Cara driver ojek online mendapatkan pemasukan dengan adanya skema Kemitraan ini bukanlah melalui sistem gaji sebagaimana skema Hubungan Kerja, melainkan melalui sistem bagi hasil antara driver dengan penyelenggara layanan.

Dikutip dari situs Ojolakademi.com, Gojek, sebagai contoh, menerapkan sistem bagi hasil 80%/20% per transaksi. Misalnya, apabila terdapat suatu transaksi yang berhasil dilaksanakan oleh driver ojol dengan nilai transaksi Rp10 ribu rupiah, maka driver tersebut mendapatkan 80% bagiannya (atau sebesar Rp8 ribu rupiah) dan penyelenggara mendapatkan 20% bagiannya (atau sebesar Rp2 ribu rupiah).

Selain itu pula, terdapat beberapa bonus serta insentif yang bisa didapatkan ojol di Indonesia. Pun demikian, itu semua tergantung kembali lagi kepada kinerja dari ojol tersebut apakah mereka memenuhi kriteria atau target harian tertentu. Apabila mereka berhasil untuk dapat mencapai kriteria atau target tersebut, maka mereka akan mendapat bonus serta insentif tersebut dan berlaku juga sebaliknya.

Perbedaan Pengaturan Regulasi Hubungan Kemitraan dengan Hubungan Kerja di Indonesia

Jika melihat pada rezim peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Hubungan Kemitraan bagi hasil sebagaimana yang dilakukan oleh penyelenggara ojol di Indonesia secara spesifik diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU 20/2008) dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020).

Sedangkan, jika melihat pada skema Hubungan Kerja yang bersifat tetap sebagaimana yang dilakukan AirAsia Super App di Malaysia, maka landasan hukum yang mendasari pelaksanaannya kalau di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003).

Dalam UU 20/2008, dijelaskan bahwa hubungan antara para pihak yang terlibat dalam Hubungan Kemitraan merupakan setara antara masing-masingnya. Sedangkan, dalam UU 13/2003, hubungan antara para pihak yang terlibat di dalamnya diatur sebagai subordinatif atau dengan kata lain tidak setara.

Kemudian, dalam UU 20/2008, dijelaskan bahwa bagi hasil yang dilakukan dalam Hubungan Kemitraan diterapkan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam Hubungan Kemitraan, dimana negara tidak menetapkan batasan minimum atau maksimum tertentu.

Sedangkan, dalam UU 13/2003, dijelaskan bahwa upah yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja dalam Hubungan Kerja diatur batas minimumnya oleh negara serta diatur pula terkait pemberian bayaran non-upah yang juga harus diberikan pemberi kerja kepada pekerja (mis: tunjangan hari raya).

Berbicara mengenai hak, dalam UU 20/2008 diatur bahwa hak dari para pihak dalam Hubungan Kemitraan bagi hasil dikembalikan lagi kepada kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat didalamnya. Lain halnya dengan Hubungan Kerja yang diatur dalam UU 13/2003 dimana negara secara absolut memberikan hak kepada pekerja seperti diantaranya:

  1. Hak untuk memperoleh jaminan Jaminan Sosial dan Keamanan, Kesehatan, serta Keselamatan Kerja (K3);
  2. Hak untuk berserikat, hak untuk mengembangkan potensi;
  3. Hak untuk libur, cuti, dan istirahat;
  4. Hak memperoleh perlindungan terhadap PHK;
  5. Hak untuk mogok kerja;
  6. Hak bekerja sesuai aturan jam kerja; dan
  7. Sejumlah hak khusus untuk karyawan perempuan.

Mengkritisi Status Quo Praktik Kemitraan Ojol di Indonesia

Jika melihat pada prinsip posisi hubungan hukumnya, memang secara sekilas Hubungan Kemitraan lebih memberikan bargaining position yang lebih kuat antara satu pihak dengan pihak lainnya dalam melakukan negosiasi.

Terlebih, dengan adanya prinsip saling membutuhkan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dalam Hubungan Kemitraan sebagaimana diatur UU 20/2008 seharusnya membuat para driver ojol ini berada pada kondisi yang setara dan leluasa dalam melakukan pekerjaannya.

Sayangnya, praktik Hubungan Kemitraan ojol ini di Indonesia nyatanya sudah tidak lagi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Penelitian dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) menilai bahwa kemitraan yang ada antara perusahaan aplikasi dan ojol bukanlah lagi sebuah Hubungan Kemitraan yang murni karena semua keputusan penting dalam proses kerja menjadi kewenangan perusahaan platform dimana driver ojol tidak mempunyai power terkait dengan hal itu.

Sebagai contoh, IGPA menemukan bahwa para ojol diketahui tidak memiliki hak bersuara dalam proses mengambil keputusan yang seharusnya mereka peroleh ketika statusnya adalah merupakan seorang Mitra. Sedangkan, keputusan tentang penentuan tarif, sanksi, bonus, orderan, algoritme, dan mekanisme kerja dalam kemitraan dinilai ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan.

Selain itu, terdapat pula kondisi dimana ojol akan mendapatkan sanksi sepi order ketika performa mereka dinilai kurang, baik karena jarang atau tidak teratur mengaktifkan akun, sering menolak pesanan, hingga karena adanya penilaian jelek dari konsumen, yang mana juga diketahui merupakan kondisi satu arah dimana penilaian tersebut dilakukan secara sepihak dari pihak perusahaan dan konsumen tanpa ada ruang bagi ojol untuk melakukan klarifikasi atau pembelaan atas penilaian tersebut.

Sehingga, menurut hasil penelitian IGPA ini, Hubungan Kemitraan ojol yang dijalankan saat ini kurang sejalan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia di mana terdapat kedudukan tidak setara antara para pihak dalam Hubungan Kemitraan.

Di sisi lain, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, hak dari para pihak dalam Hubungan Kemitraan diatur untuk dikembalikan lagi kepada kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat didalamnya. Hal ini juga sejatinya mengakibatkan driver ojol dalam praktiknya akan berada pada posisi yang rentan karena para driver tersebut tidak memiliki hak-hak selayaknya pekerja dalam Hubungan Kerja, seperti halnya mendapatkan hak pendapatan upah minimal atau pesangon.

Dikutip dari wawancara Project Multatuli dengan beberapa driver ojol di Indonesia, terungkap bahwa selama ini kebanyakan driver ojol didorong untuk terus bekerja dengan jam kerja yang panjang dengan pendapatan yang tidak begitu sebanding dengan hasil kerja kerasnya. Namun, di saat yang bersamaan mereka juga bekerja tanpa dilindungi oleh regulasi yang mengatur terkait dengan jaminan keselamatan serta kesejahteraan mereka.

Perlu diingat bahwa driver ojol dalam Hubungan Kemitraan ini adalah seorang mitra dan bukan seorang karyawan/pekerja. Sehingga, driver ojol dalam hal ini tidak dapat menuntut hak-hak yang berhubungan dengan UU 13/2002 tersebut seperti halnya pendapatan minimal atau pesangon tersebut.

Solusi yang Tepat

Kepada KlikLegal, Akademisi Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Fitriana, menjelaskan bahwa terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menangani permasalahan ini.

Pertama, Fitriana menyarankan agar skema Hubungan Kemitraan yang diterapkan dalam layanan ojol di Indonesia digantikan dengan skema Hubungan Kerja. Sebab, menurut Fitriana, driver ojol ini dalam praktiknya tidak bekerja dibawah keahlian tertentu, melainkan berdasarkan perintah yang diberikan oleh perusahaan.

“Keahlian itu sebenarnya konsepnya adalah tidak berada di bawah perintah. Jadi, misalkan seorang dokter dengan pasien itu kalau mau memberi resep atau memberikan apapun itu terserah dokter. Nah, itu kemitraan. Berbeda dengan driver ojol dimana mereka diawasi dan dilihat dalam sistem dan bahkan ada mekanisme suspend apabila mereka tidak memenuhi target tertentu,” ujar Fitriana.

Atas usulan tersebut, Fitriana juga menuturkan agar penyelenggara layanan ojol tersebut menyesuaikan manajemen perusahaannya dengan menggunakan sistem Hubungan Kerja. Konsekuensinya, menurut Fitriana, akan menjadi tanggung jawab dari penyelenggara tersebut untuk menyediakan upah rutin kepada driver ojolnya dari yang sebelumnya menggunakan sistem bagi hasil.

Kemudian, Fitriana juga menegaskan agar pemerintah dapat turut andil dalam menangani permasalahan ini. Walaupun memang pada saat ini hubungan yang terjadi diantara driver ojol dengan penyelenggara layanan merupakan hubungan keperdataan dan bukan hubungan ketenagakerjaan, namun menurut Fitriana persoalan tersebut saat ini sudah menyangkut kemaslahatan hidup banyak masyarakat Indonesia. Sehingga, menurut Fitriana, pemerintah perlu untuk melakukan intervensi untuk melakukan pemecahan terkait masalah ini.

“Banyak sekali masyarakat kita ini yang hidupnya bergantung pada penghidupan driver ojol. Saya kira bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk mengatur atau mengeluarkan regulasi khusus yang menyatakan bahwa gig economy bisa juga masuk kedalam ranah hubungan kerja,” ujarnya.

Kendati demikian, Ia menyarankan agar sebaiknya pemerintah juga memperhatikan kemampuan penyelenggara ojol dalam membuat kebijakan terkait permasalahan ini nantinya. Fitriana mengungkapkan, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus dirancang sedemikian rupa agar juga tidak terlalu membebani penyelenggara sehingga dikemudian hari terjadi dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan. “Jangan sampai terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran,” ujarnya.

 

AA

Dipromosikan