Penetapan PJPK Dalam Proyek KPBU: Tinjauan Regulasi dan Praktiknya Di Indonesia

Penetapan PJPK Dalam Proyek KPBU Tinjauan Regulasi dan Praktiknya Di Indonesia

Penetapan PJPK Dalam Proyek KPBU: Tinjauan Regulasi dan Praktiknya Di Indonesia

Salah satu Fokus pembangunan Nasional adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik secara maupun infrastruktur ekonomi. Pembangunan infrastruktur bertujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional, salah satunya dengan cara mempercepat penyediaan infrastruktur pelayanan umum untuk masyarakat. Namun dalam prosesnya, pembangunan infrastruktur membutuhkan jumlah anggaran yang sangat besar, sementara jumlah alokasi anggaran pemerintah untuk infrastruktur terbatas.

Maka dari itu, pemerintah sangat mendukung kerjasama dengan pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur melalui skema pembiayaan alternatif, yaitu skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)(Nurachmad, 2018) guna mempercepat pembangunan infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran, dan tepat waktu. Pemerintah sadar akan keterbatasan kemampuannya dalam penyediaan kebutuhan publik sehingga mendorong swasta untuk mengambil peran lebih. Dalam praktik di dunia internasional saat ini, dikenal pula skema Public Private Partnership atau disebut sebagai KPBU  di Indonesia. Bagian ini akan membahas terkait proses penentuan dan penetapan PJPK dalam proyek KPBU di Indonesia dan akibat dari proses penetapan PJPK dalam proyek KPBU. Proses KPBU terbagi dalam tiga tahap yaitu perencanaan, penyiapan, dan transaksi. 

Tulisan ini memberikan gambaran bahwa untuk sampai pada satu titik dari masalah diatas maka, kesimpulan terkait hukum dan kelembagaan diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai berbagai peraturan hukum yang terkait serta lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan sesuai tugas dan fungsinya sebagai PJPK dalam suatu proyek KPBU.

Proses penentuan dan penetapan PJPK pada proyek KPBU

Pada proyek KPBU, PJPK sebagai subjek di sisi pemerintah yang dapat melakukan kerja sama. Berdasarkan Perpres KPBU, PJPK adalah Menteri/ Kepala Lembaga/ Kepala Daerah, atau BUMN/ BUMD sesuai dengan kewenangan dan pengaturannya masing-masing yang bertindak sebagai penyelenggara atau penyedia infrastruktur yang akan melaksanakan proyek dan pelelangan investor. Dalam suatu proyek KPBU diperlukan adanya suatu pihak yang bertanggung jawab sebagai perwakilan dari pemerintah Indonesia untuk berkoordinasi dengan Badan Usaha (investor). Dilihat dari sisi Badan Usaha yaitu BUMN/BUMD, Badan Usaha Asing, Perseroan Terbatas, dan/atau Koperasi.  Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tahap pelaksanaan KPBU, maka kita perlu mengetahui tata cara penentuan PJPK dalam KPBU. Awal mulanya KPBU dilaksanakan melalui Studi Pendahuluan pada tahap perencanaan KPBU oleh kementerian yang terkait. Setelah ini, dilaksanakan rapat koordinasi untuk penentuan keputusan PJPK, apabila PJPK tidak ada aturan-aturan lain.  Selanjutnya diselesaikan dengan Penetapan PJPK oleh Keputusan Presiden atau Menteri.

Maka proses penentuan PJPK ini ditentukan oleh menteri/kepala lembaga bisa melimpahkan kewenangannya dengan bentuk tertulis sesuai dengan ketentuan namun tidak menghilangkan tanggung jawabnya sebagai PJPK. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ada beberapa proyek yang sudah ada ketetapannya terkait penentuan PJPK seperti pada Proyek Kilang Minyak Bontang, PJPK nya adalah Pertamina yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM 15 Maret 2018. Contoh lainnya pada Proyek kelistrikan seperti PLTU Batang, PLTU Mulut Tambang 8,9,10 PJPK nya diserahkan oleh Kementerian ESDM yang menunjuk PJPK nya yaitu PT PLN (Persero). Lalu pada Proyek transportasi misalnya dalam Proyek Pelabuhan Kuala Tanjung PJPK nya adalah Kementerian Perhubungan (Potensi). 

Dapat kita lihat pada praktiknya banyak proyek KPBU dengan PJPK yang sudah ditetapkan, namun pada lain sisi ada proyek yang belum ada penetapan PJPK nya yang mana menimbulkan permasalahan. Ketidakjelasan terkait kewenangan pelimpahan PJPK juga menyebabkan penentuan beberapa proyek di Indonesia terdapat ketidaksesuaian antara proyek yang PJPK nya kurang sesuai.

Proses Penentuan dan Penetapan PJPK dikaitkan dengan Prinsip KPBU, yakni Prinsip Kemitraan dan Prinsip Pengendalian dan Pengelolaan Risiko dalam PP No. 38 Tahun 2015

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 4 Perpres KPBU, KPBU dilakukan berdasarkan lima prinsip, yaitu prinsip kemitraan, kemanfaatan, bersaing, pengendalian dan pengelolaan risiko, efektif, dan efisien. Terkait dengan proses penentuan dan penetapan PJPK aperlu ditinjau dari prinsip kemitraan, yakni kerjasama dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan persyaratan yang mempertimbangkan kebutuhan kedua belah pihak.

Dalam pengimplementasiannya, kewenangan PJPK yang sudah ditentukan dan ditetapkan akan melekat pada sebuah jabatan sehingga pada saat terjadi pertukaran pejabat, kewenangan sebagai PJPK tersebut tetap melekat pada jabatan. Meskipun demikian, pejabat yang baru terpilih yang menggantikan pejabat sebelumnya pada jabatan yang sama, belum tentu memiliki kapabilitas dan komitmen yang sama atas pelaksanaan suatu proyek KPBU yang telah berjalan. 

Hal ini belum sepenuhnya mencerminkan prinsip kemitraan dalam KPBU dan menjadi sebuah tantangan yang perlu disusun langkah mitigasinya secara komunikatif demi melaksanakan prinsip kemitraan yaitu dengan mempertimbangkan kebutuhan kedua belah pihak agar keberlanjutan proyek dapat tetap terjaga. Dengan lingkup tugas dan kewenangan yang sangat luas, kapasitas dan pengetahuan PJPK dalam mengelola hak dan kewajiban sebagai penanggung jawab proyek sangat mempengaruhi keputusan calon investor mengenai struktur proyek, struktur finansial, dan manajemen risiko (Debora, 2022).

Sejalan pula dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) PPN 2/2020, bahwa Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK dapat melimpahkan kewenangannya kepada pihak yang dapat mewakili kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang ruang lingkup, tugas, dan tanggung jawabnya meliputi sektor Infrastruktur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya pelimpahan wewenang tersebut, dikhawatirkan pihak yang menerima pelimpahan wewenang belum sepenuhnya memahami pengembangan strategi pengelolaan serta mitigasi risiko yang merupakan prinsip pengendalian dan pengelolaan terhadap suatu Proyek KPBU sehingga dapat dikatakan bilamana terdapat suatu ketentuan dalam proses penentuan yang termasuk pada pelimpahan suatu wewenang PJPK hal ini dapat dinilai dan ditinjau berdasarkan prinsip pengendalian dan pengelolaan yang merupakan prinsip KPBU.

Akibat dari proses Penentuan dan Penetapan PJPK pada proyek KPBU yang belum diatur dalam regulasi terkait

Hans Kelsen berpendapat bahwa hukum adalah suatu sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau “das sollen”, yang memuat aturan-aturan tentang apa yang harus dilakukan sehingga tercipta kepastian hukum bagi masyarakat. Pengimplementasian proyek KPBU pada masa ini dirasa masih belum mengedepankan aspek “das sollen” yang regulasinya belum mengatur secara rigid terkait dengan penunjukan dan penentuan PJPK. Hal tersebut dapat dilihat dari dari proses penentuan dan penunjukan PJPK, dimana terdapat ketidaksesuaian dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya adalah dalam penentuan PJPK dalam Proyek KPBU. 

Seperti pada misalnya dalam menjalankan proyek KPBU, yang berwenang untuk menjadi PJPK adalah menteri/ kepala lembaga/kepala daerah, atau direksi badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah sebagai penyedia atau penyelenggara Infrastruktur berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun dalam praktiknya, berjalannya Proyek KPBU tidak selalu berjalan sesuai dengan peraturan tersebut. Dimana seperti halnya dalam praktik pembangunan dan penyediaan Sistem Pengairan Air Minum (SPAM) terdapat pengecualian yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum maka PJPK untuk penyediaan air minum adalah BUMN/PDAM/PDAB. Namun, dalam praktiknya pada pelaksanaan proyek KPBU SPAM Regional Jatigede yang menjadi PJPK adalah Gubernur Jawa Barat. Hal ini tentu dapat menimbulkan permasalahan berupa ketidakpastian hukum.

Dengan tidak adanya kepastian hukum terhadap lembaga/instansi/pihak mana yang berwenang untuk menjadi PJPK terhadap proyek KPBU tentunya menimbulkan masalah baru yakni terkait kepercayaan masyarakat. Dikarenakan adanya ketidakpastian hukum terhadap penentuan PJPK dalam suatu Proyek KPBU tentu dapat menimbulkan Conflict of Interest. Perlu diketahui pula, bahwa dengan terjadinya Conflict of Interest merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt ; absolute power corrupt absolutely”. Keadaan tersebut dapat berpengaruh pada kualitas keputusan yang diambil oleh Penyelenggara Negara tersebut dan tentunya dapat menciptakan lingkungan yang sangat mendukung tindak pidana korupsi. Dalam hal ini , dengan terciptanya suatu situasi yang menyebabkan penggunaan asset jabatan/instansi untuk kepentingan pribadi/ golongan.

Kesimpulan

KPBU adalah bentuk kerjasama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur ekonomi dan sosial untuk kepentingan umum yang menggunakan sumberdaya badan usaha sebagian atau seluruhnya. KPBU bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pendanaan dalam penyediaan infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran dan tepat waktu. Pada praktiknya banyak PJPK dalam proyek KPBU yang sudah ada ketetapannya namun dilain sisi ada proyek yang belum ada penetapan PJPK nya ini menimbulkan permasalahan. Disamping hal itu juga menimbulkan ketidakjelasan terkait kewenangan pelimpahan PJPK juga menyebabkan penentuan beberapa proyek di Indonesia terdapat ketidaksesuaian antara proyek yang PJPK nya kurang sesuai. Ketidaksesuaian tersebut tentu membuahkan suatu ketidakpastian hukum yang menyebabkan dapat terjadinya Conflict of Interest.

Penerapan prinsip kemitraan, prinsip pengendalian dan pengelolaan risiko yang merupakan prinsip dari pelaksanaan KPBU belum terimplementasi dengan baik sejalan dengan belum adanya ketentuan mengenai bagaimana proses penentuan dan penetapan PJPK pada suatu proyek KPBU. 

Saran

  1. Perlunya ada sosialisasi dari pemerintah secara masif terkait dengan skema KPBU di Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang sadar dan peka akan hukum sehingga dapat mengkritisi regulasi yang ada terkait KPBU.
  2. Perlunya ada penentuan PJPK berdasarkan peruntukannya yang diatur dalam regulasi terkait KPBU untuk menghindari ketidakjelasan terkait penetapan PJPK serta ketidakjelasan pelimpahan wewenang oleh menteri terkait untuk menunjuk Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN/BUMD selaku PJPK.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 Tentang Sistem Penyediaan Air Minum 

Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional,/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

Jurnal

Much Nurachmad, “Percepatan Pembangunan Infrastruktur dengan Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha”, Lex Jurnalica Vol. 15 No. 2, 2018.

Sumber Lain

Putri Debora, “Apa itu Kepanjangan PJPK?”, Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Kementerian Keuangan Republik Indonesia, https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/1145-1372/umum/orang-juga-bertanya/apa-itu-kepanjangan-pjpk.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktur Jenderal Perbendaharaan, “Mengenal Konflik Kepentingan, Upaya Penting Cegah Tindakan Korupsi”, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/selong/id/data-publikasi/berita-artikel-terbaru/2876-mengenal-konflik-kepentingan,-upaya-penting-cegah-tindakan-korupsi.html.

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Alya Hanifah Setiawan, Luisa Oktaviana Turnip, dan Marcellino Joshua selaku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Dipromosikan