Perkembangan dan Implementasi Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dalam Kedudukannya sebagai Jaminan

Perkembangan dan Implementasi Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dalam Kedudukannya sebagai Jaminan

Perkembangan dan Implementasi Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dalam Kedudukannya sebagai Jaminan

Di era digital seperti saat ini, teknologi menjadi basis utama peradaban manusia, hal tersebut tentunya mendorong munculnya inovasi-inovasi baru, juga dapat dipastikan bahwa inovasi tersebut juga timbul pada aktivitas perdagangan. Salah satunya adalah adanya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang mana mempunyai nilai atau harga. Dengan adanya industri baru yang mana dalam industri tersebut barang yang diperjualbelikan bukan lagi barang yang berbentuk secara material atau fisik, akan tetapi umumnya barang yang tidak berwujud dan hasil produksinya dapat dinikmati dengan cara yang berbeda dengan benda berwujud. Maka dari itu, pengaruh yang diberikan oleh Kekayaan Intelektual di bidang ekonomi global maupun nasional sangatlah besar.

Kemajuan ekonomi suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa banyak Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Semakin banyak Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki, semakin cepat pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai negara tersebut. Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki dapat dijadikan tolok ukur dalam melihat kemajuan dan perkembangan perekonomian suatu bangsa. Sehingga dengan semakin banyaknya Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki suatu bangsa dapat dijadikan sebagai pemacu perkembangan ekonomi dan meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan dari dalam negeri tersebut. (Siregar dan Sinurat, 2019:80).

Konsepsi Hak Kekayaan Intelektual didasarkan bahwa pada pemikiran karya intelektual yang dihasilkan oleh manusia, hal tersebut memerlukan pengorbanan tenaga, waktu, dan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi karena manfaat yang dinikmati. Berdasarkan konsep tersebut maka mendorong kebutuhan adanya penghargaan atas hasil karya berupa perlindungan hukum bagi KI. Secara substantif, KI dapat dideskripsikan sebagai kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. (Kesowo,1995:206).

Pembiayaan merupakan salah satu aspek yang tak luput guna menunjang kelangsungan usaha. Semakin mudah seseorang atau kelompok dalam memperoleh sumber dana, maka usaha yang dijalankan akan semakin maju dan berkembang pesat serta berlaku pun sebaliknya, jika seseorang atau kelompok usaha sulit dalam memperoleh sumber dana, maka aktivitas usahanya pun akan tersendat kelangsungannya (Nazia, Sanusi dan Widyastuti, 2023:1).

Permasalahan mengenai pembiayaan adalah dimana terkadang masyarakat mempunyai banyak kemungkinan untuk melakukan bisnis akan tetapi terkendala karena kurangnya modal dalam melakukan bisnis tersebut. Disisi lain, terdapat banyak pihak yang menawarkan pinjaman modal, dan salah satu penyelesaiannya adalah dengan melakukan jaminan fidusia, dimana debitur dapat meminjam uang dan juga kreditur dapat memperoleh jaminan dalam bentuk barang bergerak. Hal yang cukup unik dalam melakukan jaminan fidusia adalah barang yang dijaminkan tetap pada pemilik barang atau dalam hal ini kreditur. Hal ini dimaksudkan agar debitur tetap dapat bekerja apabila barang yang dijaminkan merupakan barang yang juga digunakan untuk usaha debitur. (Mayana dan Hendrawan, 2018:17).  

Pada umumnya pada perjanjian yang fokus utamanya adalah pembiayaan, diperlukan jaminan. Adanya jaminan pasti disertai dengan perjanjian utama yaitu perjanjian utang piutang atau pinjam meminjam. Kontrak acuan sebagai kontrak utama/utama dan jaminan sebagai kontrak pelengkap/tambahan. Oleh karena itu, keberadaan jaminan tergantung pada kontrak utama dan jaminan tidak boleh melebihi atau kurang dari jumlah yang disepakati dalam kontrak utama. Jaminan tersebut pada hakekatnya didasarkan pada Pasal 1131 dan 1132 Burgerlijk Wetboek (BW), yang menjamin kepastian hukum kreditor dalam melaksanakan hak-haknya terhadap debitur. Selain itu, pasal tersebut membagi jaminan menjadi dua jenis, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum adalah jaminan yang diberikan kepada semua kreditur atas semua harta kekayaan debitur. 

Sedangkan jaminan khusus adalah jaminan yang dihasilkan dari suatu perjanjian khusus antara debitur dan kreditur, dimana barang-barang tertentu ditetapkan sebagai jaminan atas perjanjian pokok. Dalam hal jaminan khusus, dibedakan antara jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Salah satu hal yang dapat menjadi objek dari jaminan fidusia yaitu HKI yang pengaturannya ada pada PP No. 24 tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif. Akan tetapi, bagaimana dengan peraturan UU Jaminan, apakah Kekayaan sebagai syarat sebagai jaminan sudah terpenuhi dan bagaimana implikasi dari peraturan pelaksana tersebut.

Dari latar belakang tersebut terdapat 2 hal yang perlu dibahas, yaitu mengenai implikasi hukum dari PP No. 24 tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif terhadap HKI sebagai jaminan di Indonesia serta perkembangan HKI sebagai objek jaminan perjanjian.

Perkembangan Hak Kekayaan Intelektual sebagai Objek Jaminan Perjanjian 

Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

  1. Hak cipta (copyright), yaitu adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Hak kekayaan industri (industrial property rights), yaitu hak kekayaan industri yang mencakup antara lain, paten (patent), desain industri (industrial design), merek (trademark), penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition), desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit), rahasia dagang (trade secret). 

HKI pada dasarnya merupakan aset yang memiliki nilai ekonomis dan dapat digolongkan sebagai aset perusahaan  dalam kategori aset tidak berwujud (intangible asset). Pada prinsipnya jaminan diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 Burgerlijk Wetboek (BW) yang memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan haknya dari debitur. 

Disamping itu, pasal tersebut membagi jaminan menjadi dua macam yakni jaminan umum dan jaminan khusus, Jaminan umum merupakan jaminan yang diberikan kepada semua kreditur atas semua harta kekayaan debitur, Jaminan tersebut meskipun tidak disebutkan secara eksplisit di klausula perjanjian, kreditur tetap mendapatkan haknya berdasarkan Pasal 1131 BW.  Tetapi tidak ada kreditur yang didahulukan dalam pembayarannya. 

Sedangkan jaminan khusus adalah jaminan yang timbul dikarenakan adanya perjanjian yang khusus diadakan antara debitur dan kreditur yang menunjuk benda-benda tertentu sebagai jaminan atas perjanjian pokok, contohnya jaminan gadai, jaminan fidusia, jaminan hak tanggungan. Berkaitan dengan jaminan khusus dibedakan menjadi jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan mengikuti sifat dan karakter benda yang dijaminkan.

Objek jaminan kebendaan adalah benda yang mempunyai sifat kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW yang menjelaskan bahwa terdapat 2 sifat kebendaan. Pertama, sifat kebendaan absolut yakni dapat dipertahankan pada setiap orang, dan yang kedua, Droit de suite yaitu hak kebendaan tersebut mengikuti pada siapapun dia berada. Benda yang menjadi objek jaminan yang datur dalam peraturan perundang-undangan adalah benda yang bergerak dan benda yang tdak bergerak. Untuk benda bergerak ada dua jenis jaminan yakni jaminan gadai dan jaminan fidusia, sedangkan benda tidak bergerak termasuk hak tanggungan dan jaminan hipotik. Keempat jaminan tersebut sudah mempunyai lembaga jaminannya masing-masing.

Saat ini jenis HaKI yang memiliki jenis hukum dan perikatan yang jelas hanya hak cipta dan paten sebagaimana diatur dalam UU Hak Cipta dan Paten, yaitu berupa perikatan secara fidusia. Perjanjian jaminan berlandaskan asas kebebasan berkontrak yang sesuai dengan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, memungkinkan Hak Merek sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 butir 2,4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 

Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, menyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda, sedangkan Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Jaminan fidusia merupakan salah satu jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif. Aturan tentang jaminan fidusia masuk kedalam lingkup hukum ekonomi karena jaminan fidusia lazim dimanfaatkan karena beberapa alasan antara lain mudah dicairkan dan nilainya cenderung stabil. Jaminan tersebut merupakan agunan bagi pelunasan hutang, yang memberikan kedudukan utama kepada pemegang fidusia terhadap Kreditur yang lain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 

Baca Juga: Problematika Penggunaan Hak Cipta Konten Youtube sebagai Objek Jaminan Fidusia dan Perlindungan Hukum Bagi Kreditur di Indonesia

Menurut UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) khususnya pada Pasal 16 ayat (3) UU Hak Cipta yang menyatakan secara tegas bahwa “hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia”, dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten) Pasal 108 ayat (1) UU yang menyatakan bahwa “hak atas paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia”. Hal ini tentunya tidak bertentangan dengan karakteristik sifat jaminan fidusia dan mengklasifikasikan HKIl menjadi barang bergerak tidak berwujud dalam konteks jaminan. 

Akan tetapi, permasalahan yang timbul adalah kurangnya peraturan yang sifatnya pelaksana untuk mengimplementasikan pasal tersebut dalam aktivitas ekonomi diantaranya membuat sebuah perjanjian kredit. Oleh karena itu, pemerintah dengan melalui proses legis membuat suatu peraturan pelaksana yang diterbitkan pada tahun lalu yaitu PP No. 24 tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif. Dalam pengaturan tersebut pemerintah membawa spirit adanya implementasi dari HKIl dijadikan jaminan pada kegiatan ekonomi yang berbasis UMKM maupun skala besar, tetapi nyatanya masih banyak lembaga bank dan nonbank yang tidak mempraktekkan hal tersebut pada lingkup kerjanya.

Implikasi hukum dari Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif terhadap Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan di Indonesia

Dengan adanya PP No.24 tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif, hal itu menyebabkan HKI dapat dijadikan sebuah objek jaminan dari sebuah perjanjian.Dengan munculnya hal tersebut ,tentunya ada syarat yang harus dipenuhi jika suatu HKI akan dijadikan sebagai jaminan, adapun syarat HKI sebagai jaminan adalah sebagai berikut, pertama, adanya proposal pembiayaan, memiliki usaha dalam ekonomi kreatif, memiliki perikatan terkait HKI, dan memiliki surat pencatatan atau sertifikat HKI yang diterbitkan oleh kemenkumham. 

Setelah syarat dapat terpenuhi, selanjutnya bank atau lembaga non bank akan melakukan verifikasi sampai pencairan pinjaman atau utang. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat 1 PP No. 24 Tahun 2022 bahwa HKI dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang. Tim penilai dari lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank akan menilai HKI yang dijaminkan oleh pelaku ekonomi kreatif. HKI yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang harus memenuhi dua syarat. Syarat pertama yaitu telah tercatat atau terdaftar di Kemenkumham dan syarat yang kedua telah dikelola secara mandiri atau dialihkan haknya kepada pihak lain. (Wahyuni, 2022).

Jika dilihat dari sudut pandang konvensional, Padahal, kepercayaan adalah jaminan terpenting bagi bisnis bank. Pada prinsipnya, semua kreditur dilindungi oleh jaminan umum menurut Pasal 1131 dan 1132 BGB. Dengan berlakunya PP 24/2022, diharapkan SK ini memberikan kepastian hukum bagi bank dalam melakukan transaksi kredit yang diberikan kepada masyarakat sebagai jaminan HKI.

Selain itu, Corina Leyla Karnalies, Head of Consumer Banking PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk memberikan pendapatnya tentang HKI sebagai penjaminan pinjaman. Ia menjelaskan, bank garansi merupakan cara lain bagi bank untuk meningkatkan kepercayaan nasabahnya. Pembuat undang-undang sendiri mengatur tentang syarat-syarat barang yang mendapat jaminan berupa:

  • Memiliki nilai ekonomi, dapat dinilai sebagai uang dan dapat ditebus;
  • Kepemilikan mudah dialihkan; Dan
  • Dapat dimiliki langsung oleh hukum, dengan pemberi pinjaman memiliki hak untuk melepaskan jaminan.

Dilihat dari unsur yang berwujud, hak kekayaan intelektual dapat dibedakan menjadi benda bergerak yang tidak berwujud. Mengizinkan aset dipegang dalam kepercayaan dalam bentuk hak kekayaan intelektual. Amanah berarti pengalihan hak milik atas suatu benda, dengan syarat benda yang digadaikan itu tetap menjadi milik pemilik benda itu. Sampai saat ini, barang bergerak berwujud, seperti mesin dan mobil, tetapi juga barang bergerak tidak berwujud, termasuk piutang usaha, telah digunakan sebagai objek kepercayaan di perbankan. 

Namun, menggunakan hak kekayaan intelektual sebagai agunan di bank menghadirkan beberapa tantangan. Beberapa dari mereka adalah:

  • Pemalsuan atau penyalahgunaan data atau informasi HKI; 
  • Wali amanat memberikan haknya tanpa persetujuan bank atau wali amanat; 
  • Jangka waktu HKI telah berakhir atau lebih pendek dari jangka waktu pinjaman. 

Bank dan pihak terkait di bidang perbankan terus mengklarifikasi mekanisme dan proses aset HKI untuk dijadikan jaminan utang. Oleh karena itu, penerapan PP 24/2022 dapat dilakukan setelah bank dan pihak terkait di industri perbankan telah mengidentifikasi dan menetapkan persyaratan dan informasi yang dianggap bank mampu memberikan kesan “kepercayaan” atau kepercayaan nasabah sendiri. Aset HKI untuk memungkinkannya membuat pengaturan kredit atau keuangan yang tunduk pada jaminan kekayaan intelektual. 

Selain itu, bank dan perusahaan pembiayaan menghadapi beberapa masalah saat menjadikan HKI jaminan utang. Pertama, bentuk obligasi yang dibutuhkan, yang tidak didefinisikan dengan jelas. Kedua, perlunya pedoman penilaian nilai ekonomi yang belum dikaji dan diatur oleh berbagai ahli di bidang hak kekayaan intelektual, mengingat saat ini belum ada rumusan baku penilaian kekayaan intelektual. sebagai dasar penilaian bank garansi. Ketiga, perlu dibentuk lembaga penilai nilai ekonomi hak kekayaan intelektual, karena saat ini belum ada lembaga penilai yang menilai kekayaan intelektual secara khusus sebagai referensi bank. Keempat, menentukan prosedur penegakan hak kekayaan intelektual dan lembaga yang akan membantu penegakan hak kekayaan intelektual yang berfungsi sebagai jaminan. Dan kelima, pasar sekunder belum tersedia, sehingga penjualan yang efektif tidak dapat dilakukan pada saat pelaksanaan sehingga menyebabkan bank kesulitan untuk mendapatkan keuntungan dari pinjaman/pembiayaan yang diberikan.  

Akan tetapi, HKI menjadi jaminan bukan berarti value yang ada pada HKI kurang dari jaminan yang berbentuk benda berwujud. Dapat dilihat pada kasus dibawah, bahwa nilai HKI lebih tinggi dari nilai kekayaan dengan ruang lingkup berwujud. Misalnya, akuisisi PT Sari Husada senilai Rp 4 triliun pada 2004, mengalokasikan aset fisik Rp1 triliun dan merek Rp3 triliun. Kemudian pada tahun 2006, nilainya meningkat sebesar Rp22 triliun, mendistribusikan aset material sebesar Rp2 triliun dan token sebesar Rp20 triliun. Mengingat tingginya nilai HKI, penting dalam industri kreatif karena mendorong munculnya penemuan dan kreasi baru. Karena HKI dapat dimanfaatkan nilai ekonominya, semakin tinggi reputasi HKl yang dihasilkan, semakin besar nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan.

Kesimpulan

Kekayaan Intelektual tidak bertentangan dengan karakteristik sifat jaminan fidusia dan kekayaan intelektual dapat diklasifikasikan menjadi barang bergerak tidak berwujud dalam konteks jaminan. Permasalahan-permasalahan yang diantaranya adalah kurangnya peraturan yang sifatnya pelaksana seperti peraturan per lembaga, pada data industri perbankan terkait dengan valuasi kekayaan intelektual yang mana mekanisme penilaiannya belum diatur secara deskriptif serta rinci. Kemudian, secondary market yang mana menjadi pasar bagi objek yang menjadi jaminan , serta eksekusi atas jaminan berupa kekayaan intelektual yang mekanisme dan pengalihannya masih belum diatur secara deskriptif.

Saran

Pada hambatan mengenai penilaian valuasi Kekayaan Intelektual dan lembaga penilai, dapat kami rekomendasikan bahwa metode yang paling cocok untuk penilaian jenis aset Kekayaan Intelektual adalah terutama bergantung pada keunikannya, ketersediaan informasi terkait, tujuan penilaian (apakah itu untuk penjualan, pembelian, atau lisensi dan sedang dilakukan atas permintaan pihak pemberi atau pihak pengadaan) dan terakhir, namun tidak kalah pentingnya, atas kecerdasan dan akal sehat penilai, maka diperlukan penilai yang memiliki sertifikasi untuk menilai suatu aset Kekayaan Intelektual oleh pihak Internal Kreditur atau Bank yang disebut Appraisal. Namun, tantangan penilaian aset Kekayaan Intelektual sama barunya dengan aset itu sendiri. Artinya seiring kemajuan teknologi, begitu pula komplikasinya. Selanjutnya, kami merekomendasikan bahwa diperlukan adanya mekanisme akumulasi data mengenai HKI yang sudah menjadi jaminan pada Kemenkumham. 

Pada hambatan secondary market, kami merekomendasikan, adanya kegiatan yang menghubungkan jaminan tersebut dengan metode penilaian asli digunakan oleh pasar keuangan untuk mengevaluasi kemungkinan gagal bayar oleh perusahaan dengan mengevaluasi harga yang berlaku di pasar untuk hutang dan ekuitasnya, cabang dari teori ini telah dibahas untuk dapat diterapkan dalam penilaian Aktiva Kekayaan Intelektual.

Daftar Pustaka

Bambang Kesowo, “Pengantar Umum mengenai KI di Indonesia”, Makalah pada Pelatihan Teknis Yustisial Peningkatan Pengetahuan Hukum bagi Wakil Ketua Hakim Tinggi se-Indonesia, Semarang: 1995.

BP Lawyers. (2022). “Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan, Apakah Dapat Diterima Bank?”. Diakses dari https://bplawyers.co.id/2022/10/07/kekayaan-intelektual-sebagai-jaminan-apakah-dapat-diterima-bank/ pada tanggal 12 Mei 2023.

Enni Sopia Siregar dan Lilys Sinurat. (2019). “Perlindungan HAKI dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia di Era Pasar Bebas: Pendekatan Kepustakaan”, Jurnal Niagwan, Vol 8, No. 2. Diakses dari https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/niagawan/article/view/14255 pada tanggal 15 Mei 2023.

Firqoh Nazia, Sanusi dan Tiyas Vika Widyastuti. (2023). Perlindungan Kekayaan Intelektual terhadap Produk Ekonomi Kreatif. Pekalongan: PT Nasya Expanding Management.

Irham Rahman dan Hery Lilik Sudarmanto. (2020). “Kajian Yuridis Jaminan Kebendaan pada Digital Aset sebagai Objek Jaminan”. Jurnal Transparansi Hukum, Vol. 3, No. 2. Diakses dari http://ojs.unik-kediri.ac.id/index.php/transparansihukum/article/view/2712 pada tanggal 14 Mei 2023.

Otoritas Jasa Keuangan. (2022). “Prospek Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Sebagai Jaminan Utang”. Diakses dari https://ojk.go.id/ojk-institute/id/capacitybuilding/upcoming/1110/prospek-hak-kekayaan-intelektual-hki-sebagai-jaminan-utang pada tanggal 13 Mei 2023.

Ranti Fauza Mayana dan Daniel Hendrawan. (2018). “Indonesian Intellectual Rights Law Perspective: Copyrights as A Fiduciary Collateral”. Jurnal Dialogia Iuridica, Vol.  10, No 1. Diakses dari https://journal.maranatha.edu/index.php/dialogia/article/view/1030 pada tanggal 15 Mei 2023. 

Sudjana. (2021). Hukum Kekayaan Intelektual, Edisi 2. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Diakses dari https://pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?modul=HKUM430202 pada tanggal 16 Mei 2023.

Willa Wahyuni. (2022). “Tiga Masalah Utama HKI sebagai Jaminan Utang”.  Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/tiga-masalah-utama-hki-sebagai-jaminan-utang-lt6315b7a5527e4/?page=3 pada tanggal 17 Mei 2023.

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Aria Adi Wiralaksana, Azriel Viero Sadam, dan Raihan Jaisy Kamal, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kliklegal.

Dipromosikan