Problematika Pembatalan Putusan Arbitrase dan Pembuktiannya di Pengadilan Negeri

Problematika Pembatalan Putusan Arbitrase dan Pembuktiannya di Pengadilan Negeri

Problematika Pembatalan Putusan Arbitrase dan Pembuktiannya di Pengadilan Negeri
Oleh:
Bimo Prasetio / Mohamad Toha Hasan

“Pengadilan negeri tidak mentaati asas erga omnes ketika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dikesampingkan dan tetap berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung yang lahir sebelum putusan MK tersebut. Celakanya, tidak ada upaya hukum terhadap kesalahan seperti ini.” 

Penyelesaian sengketa bidang perniagaan melalui lembaga arbitrase menjadi salah satu alternatif dalam menempuh penyelesaian sengketa. Hadirnya lembaga arbitrase sebagai badan yang menyelesaikan perselisihan melalui mekanisme arbitrase sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”). Diharapkan kehadiran Lembaga arbitrase dapat menjadi alternatif penyelesaian bagi pelaku usaha sebagai penyelesaian sengketa bisnis yang lebih efektif.

Namun di luar kelebihan penyelesaian melalui mekanisme arbitrase, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua putusan yang dihasilkan melalui arbitrase memberikan kepuasan kepada para pihak yang bersengketa. Hal ini dapat disebabkan karena ada hal-hal dalam putusan sengketa yang diragukan keabsahannya atau ada alasan-alasan lain dalam proses penyelesaian sengketa di arbitrase.

Sudah sepatutnya, putusan Lembaga arbitrase yang bersifat final dan mengikat harus diselesaikan secara cermat. Arbiter dituntut untuk memberikan pertimbangan yang berimbang, independent dan harus sangat berhati-hati dalam menjatuhkan putusannya.

Putusan arbitrase memang bersifat final dan mengikat. Artinya, tidak ada upaya hukum terhadap putusan arbitrase. Namun disisi lain, UU Arbitrase juga mengatur adanya hak dari para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase dengan alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Kewenangan pembatalan terhadap putusan arbitrase merupakan kewenangan absolut Pengadilan Negeri melalui proses yang diatur ketentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase.

Kendatipun demikian, menurut Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S adanya pengaturan menyangkut kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak dapat dikatakan sebagai bentuk campur tangan pengadilan. Dalam hal ini, Pengadilan sebagai state court sekaligus sebagai representasi negara dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman berkedudukan sebagai supporting institution terhadap berjalannya lembaga arbitrase.

Tidak dapat dipungkiri terkadang penyelesaian melalui arbitrase tidak selamanya memuaskan para pihak yang bersengketa, dan tidak dapat memberikan jaminan atas kesempurnaan proses penyelesaian sengketa. Maka dari pada itu, kehadiran Pasal 70 UU Arbitrase membuka peluang untuk dapat mengajukan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan negeri dengan alasan-alasan tertentu.

Pembatalan putusan arbitrase adalah upaya hukum yang dapat ditempuh apabila memang telah terjadi kecurangan-kecurangan dalam proses penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase. Pembatalan tersebut berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya fundamental dan menimbulkan dampak negatif yang sangat fundamental pula atas suatu proses penyelesaian sengketa. Hal tersebut direpresentasikan melalui Pasal 70 UU Arbitrase yang mengatur bahwa:

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
  3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” 

Unsur-unsur tersebut tidak bersifat kumulatif, apabila putusan arbitrase diduga memenuhi salah satu unsur atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase, maka putusan arbitrase dapat dibatalkan oleh pengadilan negeri.

Kemudian, pengadilan negeri dalam proses pemeriksaan pembatalan harus menilai dan mempertimbangkan secara cermat apakah alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase telah terbukti ataukah tidak. Apabila pihak yang melakukan permohonan pembatalan dapat membuktikan bahwa putusan arbitrase diduga memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase, maka sudah sepatutnya putusan arbitrase dapat dibatalkan oleh hakim pengadilan negeri.

Putusan MK dan Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase yang Dilematis

Pada 11 November 2014 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui putusannya Nomor 15/PUU-XII/2014 (“Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014”) telah membatalkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase. Berdasarkan Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014 tersebut penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelumnya, penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase menjelaskan bahwa:

“Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan”

Dengan adanya Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014 tersebut, untuk membuktikan adanya unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase tidak mengharuskan adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana, akan tetapi cukup dengan membuktikan di muka persidangan pembatalan putusan arbitrase atas adanya dugaan unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan dan menetapkan Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”) Nomor 07 Tahun 2012 (SEMA No. 7/2012), yang mana dalam SEMA No. 7/2012 pada pokoknya menyatakan Pasal 70 UU Arbitrase beserta penjelasan tentang alasan pembatalan putusan arbitrase domestik tidak dapat disampingi. Artinya, untuk membuktikan putusan arbitrase mengandung unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 70 harus didahului dengan adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana terlebih dahulu.

Sejak adanya Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014, maka SEMA No. 7/2012 seharusnya tidak berlaku lagi karena sudah kehilangan pijakan hukumnya. Sebagaimana asas Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes yakni mengikat tidak hanya para pihak (inter parties) tetapi harus ditaati oleh siapapun baik perseorangan, badan hukum atau penyelenggara negara.

Asas erga omes tercermin dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) berikut penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasanya yang menyatakan bahwa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.

Selain keberlakuan putusan MK yang bersifat erga omnes, Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014 juga merupakan norma baru. Sehingga SEMA No. 7/2012 yang bertentangan dengan Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014 harus dikesampingkan, sesuai dengan asas lex posteriori derogate lex priori dimana ketentuan yang lama dikesampingkan oleh ketentuan yang baru.

Dengan demikian, adanya Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014 Hakim maka pengadilan negeri yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase berwenang memberikan penilaian dan penafsiran yang bebas apakah alasan yang digunakan oleh pemohon pembatalan putusan arbitrase telah sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase atau tidak.

Apabila dipahami dengan cermat, Pasal 70 UU Arbitrase memberikan keleluasaan Hakim Pengadilan Negeri untuk menafsirkan dan memberikan pertimbangan hukum atas adanya unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Apabila unsur tersebut terpenuhi, maka Hakim Pengadilan Negeri dapat membatalkan putusan arbitrase yang dimohonkan.

Memahami Frasa “Diduga”

Yang perlu dicermati bersama dalam batang tubuh Pasal 70 UU Arbitrase adalah frasa “diduga”. Sedangkan penjelasan pasalnya menggunakan kata-kata “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Hal ini berarti frasa “diduga” tidak harus dibuktikan dengan putusan pengadilan terlebih dahulu. Persidangan perkara pembatalan putusan arbitrase adalah forum untuk membuktikan bahwa putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Dapat dilihat dalam Pertimbangan Putusan MK No. 15/PUU-XII/2014 halaman 75 memberikan penafsiran bahwa:

Syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Manakala tafsir yang pertama yang dipergunakan (harus berdasarkan Putusan Pengadilan), berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses pengadilan. Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara lain, dalam Pasal 71 UU No. 30/1999 yang menyatakan, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”.

“Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;” 

Dalam praktiknya berdasarkan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 699/Pdt.G/2019/PN.Jkt.PSt  jo Putusan Mahkamah Agung No 327 B/Pdt.Sus-Arbt/2021 [MOU1] [MTH2] pembuktian atas adanya unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 70 tidak harus didahului dengan adanya putusan pengadilan perkara pidana terlebih dahulu. Dalam yurisprudensi tersebut MA memberikan pertimbangan:

Majelis Hakim berpendapat untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut tidaklah perlu harus didasarkan terlebih dahulu adanya putusan perkara pidana.

Para pihak dalam persidangan pembatalan putusan arbitrase harus membuktikan dan meyakinkan hakim pengadilan negeri bahwa putusan arbitrase telah memenuhi atau tidak memenuhi salah satu atau lebih unsur yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Di sisi lain, hakim pengadilan negeri juga harus mempertimbangkan dengan cermat atas bukti yang diajukan para pihak dan mengesampingkan SEMA No 07/2012. Namun, dalam praktiknya masih ada saja pengadilan negeri yang mengesampingkan putusan MK tersebut dan tetap berpedoman pada SEMA No. 7/2012.

Hal ini tercermin dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 427/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.JKT.SEL. dengan susunan Majelis Hakim yang terdiri dari Siti Hamidan, S.H., M.H. (sebagai Hakim Ketua), Elfan, S.H. (sebagai Hakim Anggota) dan Suharno, S.H., M.H. (sebagai Hakim Anggota). Dalam putusannya majelis hakim memberikan pertimbangan bahwa:

“Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menentukan suatu dokumen palsu atau tidak, maka hal tersebut merupakan kewenangan hakim pidana, hal ini sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (“SEMA RI”) No. 07 tahun 2012 yang menentukan “Tentang alasan pembatalan Putusan Arbitrase domestik yang bersifat limitatif tidak bisa disampingi dan harus merujuk kepada Pasal 70 UU No. 30/1999 beserta penjelasanya.”

“Unsur-unsur Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tidak terpenuhi karena tidak ada bukti berupa Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tentang terjadinya tindak pidana penipuan atau pemalsuan”

Tentunya hal ini kontradiktif dengan Putusan MK itu sendiri apabila MA tetap menguatkan putusan PN Jaksel ini dan tidak mencabut ketentuan dalam SEMA No. 7/2012.

Celakanya, kesalahan hakim seperti ini tidak diberikan lagi ruang untuk mengajukan banding atau MA melakukan koreksi. Pasalnya, berdasarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Nomor 04/Bua.6/HS/SP/XII/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang dapat mudah diunduh melalui gawai di manapun berada. Pada halaman 8 terkait Arbitrase tertuang :

Sesuai dengan ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan penjelasannya, terhadap putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum baik banding maupun peninjauan kembali.  Dalam hal putusan pengadilan negeri membatalkan putusan arbitrase, tersedia upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, terhadap putusan banding tersebut Mahkamah Agung memutus pertama dan terakhir sehingga tidak ada upaya hukum peninjauan kembali.

Menurut Prof Basuki Rekso Wibowo, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Nasional dalam tulisannya yang berjudul “Masalah Pembatalan Putusan Arbitrase” menjelaskan ketentuan dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase menggunakan frasa “banding” sebagai bentuk upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri. Ketentuan Pasal 72 ayat (4) sama sekali tidak memberikan kriteria tentang putusan pengadilan negeri yang yang dapat dimohonkan banding ke Mahkamah Agung.

Apakah yang putusannya mengabulkan permohonan pembatalan, atau yang menolak permohonan pembatalan, atau yang menyatakan permohonan pembatalan tidak dapat diterima. Pasal 72 ayat (4) hanya mengatur kebolehan pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri untuk menempuh upaya hukum banding ke Mahkamah Agung.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 72 ayat (4) yang menyatakan :”…..hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase…”, dapat menimbulkan tafsir secara argumentum a contrario bahwa seolah-olah permohonan banding ke Mahkamah Agung hanya dibatasi apabila putusan pengadilan negeri yang amarnya membatalkan putusan arbitrase, sedangkan putusan yang amarnya menolak permohonan pembatalan tertutup tidak dapat dimohonkan banding. 

Dalam teori hukum, apabila terdapat perbedaan antara rumusan pasal dengan rumusan penjelasan maka yang berlaku adalah rumusan pasal, karena hanya rumusan pasal yang mengandung kaidah hukum yang bersifat mengikat.

Supervisi Pengadilan

Sejatinya, arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih berdasarkan kesepakatan para pihak (klausul arbitrase), tidak terlepas sama sekali dari dukungan dan supervisi pengadilan. Apabila dalam kondisi suatu putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat itu ditemukan indikasi atau dugaan bahwa putusan tersebut didasarkan pada bukti palsu atau yang dinyatakan palsu dan diputuskan atas hasil tipu muslihat, maka dalam situasi yang demikian tentunya sangat melukai rasa keadilan. Dalam hal ini pengadilan menjadi lembaga yang sangat diharapkan untuk memberikan keadilan.

Selain itu adanya upaya pembatalan putusan arbitrase sejatinya juga sebagai kontrol terhadap setiap arbiter dalam menyelesaikan sengketa. Setiap arbiter sangat diharapkan memberikan pertimbangan yang cermat, adil dan berkesesuaian dengan hukum atas setiap perkara yang diselesaikannya.

Putusan arbitrase adalah mahkota bagi arbiter yang memutuskannya. Dengan adanya pembatalan putusan maka nama baik arbiter dan lembaga arbitrase bisa jadi tercoreng karena dalam terdapat kecurangan dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan arbiter dianggap tidak cermat, tidak adil dan tidak berkesesuaian hukum atas perkara yang diselesaikanya.

Lembaga arbitrase dan Mahkamah Agung diharapkan mampu memberikan angin segar bagi dunia usaha agar setiap pelaku usaha mendapatkan keadilan. Dengan kelebihan penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase dan upaya pembatalan melalui Mahkamah Agung sebagai supporting institution terhadap arbitrase, diharapkan penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia dapat diselesaikan secara adil dan tidak berdampak buruk bagi bisnis yang dijalankan.

Untuk mendorong tersebut sudah seharusnya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Arbitrase. Selain itu, Mahkamah Agung juga perlu mengeluarkan kebijakan sebagai landasan hakim untuk memberikan pertimbangan dan penafsiran hukum mengenai pembatalan putusan arbitrase, paling tidak mencabut ketentuan dalam SEMA No. 7/2012.

Adanya kebijakan dari Mahkamah Agung juga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum atau pijakan baru bagi hakim agar dalam memutus perkara pembatalan sesuai dengan harapan hukum yang dicita-citakan yakni, demi tercapainya KEADILAN.

 

FL

 

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Bimo Prasetio / Mohamad Toha Hasan, Advokat dari kantor hukum BP Lawyers Counsellors at Law. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan