Urgensi Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

URGENSI REVISI UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: Adam Ilyas

Keberadaan perangkat peraturan perundang-undangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah hal yang fundamental. Selain sebagai pedoman dalam bermasyarakat, peraturan perundang-undangan juga berperan serta dalam menentukan karakteristik dan corak kepribadian bangsa. Karenanya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan analisis mendalam terhadap kondisi sosial dan yuridis penting untuk dilakukan.

Saat ini salah satu persoalan yang mendesak adalah persoalan pemberantasan korupsi. Sejak Republik Indonesia berdiri, korupsi selalu menghantui dinamika perkembangan berbangsa dan bernegara. Persoalan ini terus menjadi fokus perhatian pemerintah dalam berbagai kesempatan. Korupsi sendiri telah menjadi persoalan yang memiliki kemampuan merusak yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu untuk diperkuat baik dari segi penegakan dan pengaturannya dalam Undang-Undang.

MENGAPA PERLU DIREVISI?

  1. Undang-Undang yang ada mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sudah usang karena dibentuk pada tahun 1999 dan direvisi pada tahun 2001 sehingga umur dari undang-undang PTPK setidak-tidaknya sudah 20 tahun. Dengan begitu banyak perkembangan yang belum tercakup didalamnya. Tujuan pembaharuan hukum korupsi adalah guna menjawab tantangan pemberantasan korupsi kedepan. Kejahatan korupsi yang canggih terus beregenerasi dan berevolusi ke dalam bentuk-bentuk yang baru.
  2. Indonesia telah menandatangani UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia telah meratifikasi Undang-Undang No.7 tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari kesepahaman UNCAC pada tanggal 18 April 2006. Namun, dari 2006 hingga saat ini belum pernah ada penyelarasan aturan dalam UU PTPK dengan pengaturan UNCAC sehingga pengaturan dalam UU PTPK sudah usang dan perlu untuk diperbarui.
  3. Banyak bentuk perbuatan atau modus korupsi yang belum diatur dalam UU PTPK, antara lain:
    1. Kolusi dan Nepotisme; Kolusi dan Nepotisme saat ini diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 namun pengaturan kedua perbuatan tersebut di dalam UU 28 tahun 1999 sangatlah tidak memadai, mengingat tidak semua pejabat publik tunduk pada undang-undang ini. Subyek hukum yang diatur dalam UU ini yaitu penyelenggara negara, dimana yang dimaksud dengan penyelenggara negara dalam pasal 2 UU ini tidak meliputi seluruh pegawai negeri.
    2. Suap di Sektor Publik (bribery in the private sector); Mengenai suap yang dilakukan di sektor swasta yang diatur dalam pasal 22 UNCAC, UU PTPK tidak mengaturnya. Suap di sektor swasta memperkenalkan suap aktif dan pasif di sektor swasta.
    3. Penyuapan Asing (foreign bribery); Mengenai penyuapan asing ini telah ada di pengaturan UNCAC dan belum diatur dalam UU PTPK. Suap asing melarang suap aktif yang berlaku untuk pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional publik, bukan pejabat publik nasional.
    4. Perdagangan pengaruh, dalam UNCAC perdagangan pengaruh (trading in influence) telah dianggap merupakan tindak pidana korupsi. Di UU PTPK saat ini perbuatan ini belum diatur sehingga apabila orang yang sesungguhnya melakukan perbuatan perdagangan pengaruh dimasukkan ke perbuatan suap. Permasalahannya adalah bagaimana jika subjek yang melakukan bukan merupakan penyelenggara negara dan pegawai negara sebagaimana disyaratkan dalam perbauatan suap, maka seseorang tersebut akan lepas dari jerat hukum. Di UNCAC perbuatan perdagangan pengaruh subjeknya tidak hanya terbatas sebagaimana subjek dalam suap di Indonesia.  
    5. Memperkaya Diri Secara Ilegal (Illicit Enrichment); belum terdapat pengaturan mengenai Illicit Enrichment ini dalam UU PTPK. Padahal memperkaya secara ilegal dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh penuntutan ketika harus membuktikan bahwa seorang pejabat publik meminta atau menerima suap dalam kasus-kasus di mana peningkatan kekayaannya begitu tidak proporsional dengan pendapatannya yang sah. Pengaturan ini juga bermanfaat sebagai pencegah korupsi di kalangan pejabat publik.

Tujuan rancangan amandemen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak hanya memperbaiki kekurangan yang terkandung dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi saat ini, seperti mengadopsi semua ketentuan yang disyaratkan UNCAC, mendefinisikan kembali kerugian negara, memperluas jenis instrumen hukuman, dan memberikan prosedur yang jelas untuk mendapatkan ganti rugi dan kompensasi kerusakan yang terjadi dari korupsi, tetapi juga memperkuat kerangka kelembagaan KPK dengan menekankan otoritas KPK sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelidiki dan menuntut korupsi.

Dengan berbagai urgensi yang telah dipaparkan di atas, sehingga telah cukup untuk menjadi alasan melakukan revisi terhadap UU PTPK yang telah berumur 20 tahun dan tidak sesuai dengan pengaturan UNCAC. Revisi ini diharapkan dapat memberikan pengaturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang lebih baik, sehingga dapat setidak-tidaknya mengurangi jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

 

FL

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Adam Ilyas, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan