Problematika Pembuktian Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase

Problematika Pembuktian Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase

Ilustrasi gambar dari: pexels

Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan kehidupan sosial masyarakat, tentu tidak terlepas hubungannya dengan permasalahan hukum. Bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan hukum dan ekonomi merupakan salah satu ikatan klasik antara hukum dan kehidupan sosial.

Sistem hukum Indonesia menentukan bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan dalih tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman yang mengatur bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehubungan dengan masalah pembatalan putusan arbitrase ini juga tidak sulit ditemui, karena sudah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat, baik nasional maupun internasional, bahkan jauh sebelum UU Arbitrase diberlakukan.

Sengketa perdagangan yang timbul dapat diselesaikan melalui pengadilan maupun di luar pengadilan atau biasa di sebut penyelesaian sengketa alternatif. Terhadap sengketa yang terjadi, pada dasarnya peraturan perundangundangan di Indonesia telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa para pihak.

UU Arbitrase hanya mencantumkan 3 (tiga) dari 10 (sepuluh) persyaratan pembatalan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 643 Rv, seperti diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase yang menyatakan bahwa, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
  3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Proses arbitrase tidak akan dapat berjalan dengan sempurna jika tidak didukung atau dibantu oleh Badan Peradilan. Memang dalam Pasal 3 UU Arbitrase ditentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, ketentuan tersebut mempertegas pembatasan wewenang Pengadilan dalam mengadili perkara arbitrase.

Namun, demikian pengadilan mendukung berjalannya proses arbitrase. Penegasan peranan pengadilan dalam UU Arbitrase ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase yang menyatakan bahwa Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Dalam hal ini adalah pembatalan putusan arbitrase. Namun, dalam pembatalan putusan arbitrase pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara. Kewenangan pengadilan terbatas hanya pada kewenangan memeriksa keabsahan prosedur pengambilan putusan arbitrase, antara lain proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa yang dalam hal ini dibatasi dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Sejak Pertama UU Arbitrase diundangkan pada 1999, telah banyak kasus arbitrase yang diajukan dan telah banyak pula yang dimohonkan pembatalan, baik permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional. Dari penelusuran penulis, ditemukan beberapa kasus bahwa terdapat inkonsistensi sikap pengadilan dalam memandang dasar pembatalan atau alasan yang dijadikan pembatalan putusan arbitrase.

Sebelum membahas tentang inkonsistensi tersebut penulis menguraikan terlebih dahulu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014. Permohonan judicial review tersebut diajukan atas dasar adanya potensi kerugian dari penerapan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase.

Penjelasan pasal tersebut dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan cenderung mempersulit pencari keadilan karena bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 70 UU Arbitrase itu sendiri. Klausul penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase tertera sebagai berikut:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah terdaftar di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”

Frasa “alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase menimbulkan interpretasi adanya norma baru dan memuat ketentuan yang berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam batang tubuh UU Arbitrase.

Hal inilah yang menimbulkan problematika dalam pembuktian perkara pembatalan putusan arbitrase. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 tersebut, untuk membuktikan adanya unsur seperti yang dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase, tidak mengharuskan adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana, tetapi cukup dengan membuktikan pembatalan putusan arbitrase saat persidangan, atas adanya dugaan unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat erga omnes, artinya tidak hanya mengikat para pihak (inter parties), tetapi harus ditaati oleh siapapun, baik perseorangan, badan hukum, maupun penyelenggara negara. Asas erga omnes tercermin dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (1).

Berikut penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, beserta penjelasannya yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilaksanakan secara langsung dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain seperti pernyataan berikut:

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).”

Berdasarkan penelusuran penulis, ternyata ditemukan fakta lain bahwa terdapat banyak perkara pengadilan yang tetap berpedoman pada penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan menjadikannya sebagai dasar dalam pertimbangan untuk memutus.

Hal ini tentu menimbulkan problematik tersendiri, yaitu tidak ada kejelasan atau kepastian hukum dan berpotensi terjadi inkonsistensi pengadilan dalam proses penyelesaian perkara pembatalan putusan arbitrase.

Seharusnya, dalam konsep negara yang menganut konstitusionalisme, salah satu upaya membangun kesetiaan terhadap konstitusi adalah dengan menunjukkan ketaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi karena putusan Mahkamah Konstitusi merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung.

Faktanya masih ada pertimbangan hakim yang tidak sesuai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase. Dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung tercatat beberapa perkara permohonan pembatalan yang masih mengharuskan adanya putusan Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan adanya unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai pertimbangan. Penulis mencoba mencari putusan-putusan yang relevan.

Putusan yang mengharuskan adanya putusan pidana terlebih dahulu untuk membatalkan putusan arbitrase dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 427/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.JKT.Sel. Dalam perkara tersebut, menurut Pemohon pembatalan arbitrase, putusan BANI diduga dibuat atau diambil dari hasil tipu muslihat dan adanya dokumen palsu yang dijadikan rujukan untuk memutus perkara.

Oleh karena itu, Pemohon mengajukan alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase seperti dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Selain itu, menurut Pemohon, dalam proses arbitrase Termohon (arbiter BANI) bersikap tidak profesional karena telah mengabaikan bukti-bukti tertulis atau fakta-fakta dalam arbitrase.

Namun, majelis hakim memberikan pertimbangan hukum dengan merujuk pada penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, yaitu alasan yang diajukan berupa tipu muslihat dan pemalsuan dokumen, yang harus dibuktikan dahulu dengan putusan pengadilan (dalam perkara pidana).

Pertimbangan hakim tersebut telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014. Padahal, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase tersebut menciptakan norma baru yang bertentangan dengan konstitusi.

Fakta lain inkonsistensi hakim dalam pertimbangan hukum dalam putusan tersebut terdapat pada halaman 241 putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 427/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.JKT.Sel. Hakim mendasarkan pertimbangannya pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2012 tentang alasan pembatalan putusan arbitrase domestik yang bersifat limitatif tidak bisa disampingkan dan harus merujuk pada Pasal 70 UU Arbitrase beserta penjelasannya. Padahal jika merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014, SEMA tersebut seharusnya tidak dapat berlaku lagi atau bertentangan dengan hukum.

Beberapa contoh kasus di atas adalah pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014 yang membatalkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase. Hal tersebut dapat memberikan gambaran adanya problematik dan inkonsistensi pengadilan. Pengadilan “mengabaikan” dan mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, padahal dalam hal ini berlaku asas erga omnes.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 427/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.JKT.SEL, pada perkara ini hakim menghidupkan kembali ketentuan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase.

Adapun pertimbangan Majelis Hakim hakim dalam perkara ini sebagai berikut:

“Menimbang bahwa dalam Pasal 70 UU Arbitrase tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.” Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”

“Menimbang bahwa dengan memperhatikan ketentuan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014, Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menentukan suatu dokumen palsu atau tidak, maka hal tersebut merupakan kewenangan hakim pidana. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2012 yang menjelaskan tentang alasan pembatalan putusan Arbitrase domestik yang bersifat limitatif tidak bisa disampingkan dan harus merujuk kepada Pasal 70 UU Arbitrase beserta penjelasanya.”

Berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim menganggap bahwa unsur-unsur pada Pasal 70  UU Arbitrase tidak terpenuhi karena tidak ada bukti berupa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tentang terjadinya tindak pidana penipuan atau pemalsuan. Meskipun dalam pertimbangan majelis hakim merujuk kepada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XII/2014 yang membatalkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, di sisi lain majelis hakim justru memberikan pertimbangan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.

Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XII/2014 yang membatalkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase. Padahal, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945 karena penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase tersebut menciptakan norma baru sehingga bertentangan dengan konstitusi.

Majelis hakim juga merujuk pertimbangannya pada SEMA Nomor 07 Tahun 2012 tentang alasan pembatalan putusan arbitrase domestik yang bersifat limitatif tidak bisa disampingkan dan harus merujuk pada Pasal 70 UU Arbitrase beserta penjelasannya.

Berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 427/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.JKT.SEL dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 582/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.Jkt.Sel dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 244 B/Pdt.Sus-Arbt/2022 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 327 B/Pdt.Sus-Arbt/2021 justru memberikan pertimbangan yang berbeda.

Dalam pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 582/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.Jkt.Sel, majelis hakim membatalkan Putusan BANI karena adanya tipu muslihat, dokumen yang disembunyikan, dan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum. Putusan arbitrase yang bertentangan dengan kepentingan umum ini timbul dari penafsiran bahwa Pasal 70 UU Arbitrase tidak bersifat limitatif.

Seperti pada pertimbangan hakim berikut pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 582/Pdt.Sus-Arbt/2021/PN.Jkt.Sel, sebagaimana berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan pembatalan Pemohon bahwa Termohon I telah menyembunyikan dokumen yang bersifat menentukan untuk memanipulasi fakta yaitu Dokumen Heads of Agreement tanggal 11 Januari 2019 yang dibuat sendiri oleh Termohon I, kemudian dikirim ke Pemohon melalui pesan WhatsApp. Artinya, Termohon I tidak mungkin tidak mengetahui bahwa luas area tertulis 2.660 Ha. Menurut hemat majelis, hal ini telah memenuhi ketentuan Pasal 70 Huruf (b) UU Arbitrase.”

“Bahwa putusan arbitrase dibuat dari tipu muslihat Termohon I dan Termohon II dengan memanipulasi bukti yang dihadirkan. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ketentuan Pasal 70 Huruf (c) UU Arbitrase telah terpenuhi.”

Putusan Mahkamah Agung Nomor 327 B/Pdt.Sus-Arbt/2021 tersebut juga dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 244 B/Pdt.Sus-Arbt/2022, yang mana dalam pertimbangannya hakim memberikan pertimbangan:

“Bahwa dengan keadaan dan hal-hal tersebut di atas, telah memenuhi ketentuan Pasal 70 Huruf (b) dan (c) UU Arbitrase tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, walaupun tidak dengan adanya suatu putusan perkara pidana, karena mengenai tipu muslihat itu dalam keputusan Rapat Pleno Kamar Perdata Mahkamah Agung tidak menjadikan syarat harus dengan adanya putusan pidana.”

Hal serupa juga terdapat dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 699/Pdt.G/2019/PN Jkt.Pst jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 327 B/Pdt.Sus-Arbt/2021. Adapun dalam hal ini alasan yang digunakan untuk melakukan pembatalan Putusan Arbitrase adalah karena adanya dokumen palsu berupa laporan akuntan publik.

Dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor 699/Pdt.G/2019/PN Jkt.Pst hakim memberikan pertimbangan:

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan diatas maka Majelis Hakim sampai pada kesimpulan bahwa alasan Pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yakni adanya dokumen yang diajukan oleh Termohon dalam pemeriksaan di BANI mengandung keterangan palsu / diakui palsu / dinyatakan palsu, yaitu berupa Laporan Auditor Independen, telah memenuhi unsur dari Pasal 70 huruf a Undang-Undang Arbitrase, karena menurut Majelis Hakim dalam Laporan Audit, tersebut terdapat rekayasa atau penambahan halaman diluar yang dilakukan oleh Akuntan Publik sehingga hal tersebut menurut Majelis Hakim sebagai dokumen yang mengandung keterangan palsu. Majelis menganggap Pemohon telah dapat membuktikan dalil permohonannya, dan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut beralasan hukum

Dari fakta persidangan diatas menunjukkan bahwa diperlukan ketelitian dan tingkat kedetailan tinggi dalam mempelajari dokumen sehingga dapat mendalilkan adanya dokumen Palsu dalam persidangan.

Pertimbangan majelis hakim dalam putusan yang membatalkan putusan arbitrase di atas disimpulkan bahwa dalam pembuktiannya tidak harus mendahulukan adanya putusan pidana untuk membuktikan adanya unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase.

Dalam hal ini, untuk membuktikan unsur-unsur dalam Pasal 70 UU Arbitrase akan dilakukan di persidangan pembatalan putusan arbitrase. Apabila hakim yakin dan terbukti adanya unsur-unsur Pasal 70 UU Arbitrase atas permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka hakim dapat langsung memutuskan.

Dari kajian dan perbandingan kedua hal di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa mengenai pembuktian Pasal 70 UU Arbitrase terdapat dua aliran.

Aliran pertama adalah pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa untuk membuktikan Pasal 70 UU Arbitrase haruslah didahului dengan putusan pada peradilan pidana terlebih dahulu.

Aliran kedua adalah pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa untuk membuktikan Pasal 70 UU Arbitrase, tidak perlu didahului dengan putusan pidana. Para pihak membuktikan unsur Pasal 70 UU Arbitrase dalam persidangan pembatalan putusan arbitrase.

Adanya putusan yang berbeda pertimbangan dengan aliran masing-masing tersebut, menunjukkan adanya inkonsistensi hakim pada Mahkamah Agung dalam memberikan pertimbangan hukum atas adanya permohonan pembatalan putusan arbitrase. Inkonsistensi inilah yang menjadi polemik di tengah masyarakat karena adanya ketidakpastian hukum akibat dua pertimbangan yang berbeda.

Permasalahan kepastian hukum inilah yang menjadi persoalan mendasar yang dihadapi dunia hukum Indonesia, yaitu salah satu faktor penyebab ketidakpastian hukum adalah inkonsistensi putusan pengadilan. Inkonsistensi inilah yang harus dipecahkan, sehingga tidak timbul lagi pertentangan-pertentangan baru.

Artikel ini ditulis oleh Bimo Prasetio, Partner BP Lawyers Counselors At Law, dan Mohammad Toha Hasan, Associate BP Lawyers Counselors At Law.

Dipromosikan