Ini Sejumlah Solusi Terkait Pasal 20 UU Paten yang Disiapkan Ditjen KI

Dari usulan revisi UU Paten teranyar hingga membuat peraturan menteri.

Sumber Foto: http://media.insidecounsel.com

Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang Kementerian Hukum dan HAM, Dede Mia Yusanti menjelaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah solusi seputar kontroversi kewajiban pemegang paten membuat produk di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Menurut Dede, sebetulnya solusi yang paling baik atau yang paling seharusnya dilakukan adalah merevisi UU Paten tersebut. Namun, ia menilai rencana untuk merevisi tersebut tidak mudah dilakukan sehingga harus menempuh langkah lain.

Dede menceritakan langkah pertama yang dilakukan pada waktu itu adalah dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang judulnya adalah pengecualian pelaksanaan Pasal 20 UU Paten. Ternyata, lanjutnya, pembentukan Perpres juga sulit dilakukan karena melibatkan Menteri Perekonomian, Sekretariat Negara, dan Sekretariat Kabinet. (Baca Juga: Kontroversi Pasal 20 UU Paten, Plt Dirjen KI: Pak Menteri Akan Memberikan Jalan Keluar).

“Karena dianggap bahwa aturan ini mengeliminir aturan yang ada di undang-undang, artinya perpres mengalahkan undang-undang. Mentok tuh, sampai di Setneg. Karena ini kan dari Setneg baru kemudian ke Presiden. Di Setneg ini agak jadi terhambat lah di sini,” ungkap Dede saat ditemui Klik Legal di Gedung DJKI, Jakarta, Selasa (6/2).

Setelah revisi, Dede menuturkan pihaknya berencana mencari solusi lain yaitu uji materi Pasal 20 UU Paten (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Namun, setelah melakukan pemeriksaan dan pengkajian lebih dalam, judicial review hanya bisa dilakukan untuk kepentingan nasional dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Sedangkan, dalam hal ini yang merasa tidak setuju dengan ketentuan ini adalah perusahaan asing sehingga langkah ini tidak akan mungkin berhasil. (Baca Juga: Dirjen Kekayaan Intelektual Bantah Akan Uji Materi Pasal 20 UU Paten).

”Mungkin mentok nih enggak akan bisa berhasil. Karena ini bukan untuk kepentingan orang Indonesia tetapi orang asing ya dalam hal ini kalau yang secara langsung. Jadi akhirnya judicial review adalah pilihan yang agak sulit. Akhirnya kita tinggalkan dulu,” tutur Dede.

Lebih lanjut, Dede menuturkan rencana terakhir adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri. Permen ini menjelaskan aturan permohonan penundaan pemegang paten untuk membuat produk di Indonesia. Untuk saat ini, Permen tersebut masih dalam proses rancangan dan sebetulnya sudah hampir selesai, akan tetapi masih ada beberapa hal yang harus diselaraskan dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP). (Baca Juga: Pasca UU Paten Disahkan, Posisi Indonesia di Indeks HKI Internasional Melorot).

“Jadi masih ada ketidaksesuaian di kita Ditjen KI dengan di Ditjen PP mengenai isinya, sedikit masih ada yang harus dibahas lebih lanjut. Tapi itu intinya adalah bahwa solusi yang paling mungkin sekarang ini adalah melalui permen. Jadi, pemegang paten boleh mengajukan penundaan sepanjang yang bersangkutan belum bisa melaksanakannya di Indonesia,” ujar Dede.

Tidak ada jangka waktu

Terkait Permen, Dede menuturkan sebetulnya hal ini yang masih didiskusikan. Awalnya, pihaknya mengusulkan ada jangka waktu 5 tahun yang kemudian bisa diperpanjang, tetapi ada masukan dari Ditjen PP bahwa baiknya jangan diberi waktu. (Baca Juga: Ini Alasan DPR Wajibkan Pemegang Paten Membuat Produk di Indonesia).

“Justru biarkan saja di los. Artinya sepanjang dia belum bisa melaksanakan ya sudah tapi kalau mereka bisa melaksanakan misalkan dalam jangka waktu 3 tahun dia boleh lakukan. Jadi enggak perlu pakai jangka waktu,” ujar Dede.

Dede pun mengatakan pihaknya berupaya menyelesaikan Permen ini dalam waktu cepat. “Mudah-mudahan dalam bulan Februari ini sudah selesai,” tukasnya.

(PHB)

Dipromosikan