Ini Alasan DPR Wajibkan Pemegang Paten Membuat Produk di Indonesia

DPR tidak khawatir investor asing justru enggan datang ke Indonesia karena ada kewajiban tersebut.

Ketua Pansus RUU Paten John Kenedy Azis. Sumber Foto: https://fraksigolkar.or.id.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Paten John Kenedy Aziz menjelaskan bahwa alasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah merumuskan Pasal 20 dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten yang mewajibkan pemegang paten membuat produk di Indoensia adalah demi kemaslahatan bersama.

“Berkaitan dengan Pasal 20 itu tujuannya adalah untuk kemaslahatan Republik Indonesia,” ungkapnya ketika dihubungi melalui sambungan telepon kepada Klik Legal, Jumat (12/5).

Sebagai informasi, Pasal 20 ayat (1) berbunyi, “Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia.” Sedangkan, Pasal 20 ayat (2) menyebutkan “Membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.”

John mengungkapkan bahwa aturan yang awalnya berasal dari inisiatif pemerintah ini disetujui DPR karena memiliki tiga tujuan. Pertama, aturan itu mempermudah dalam melihat kualitas barang yang dihasilkan. “Apakah sesuai dengan yang didaftarkan atau tidak,” ujar politisi Partai Golongan Karya (Golkar ini).

Kedua, ketentuan itu secara otomatis dapat membuka lapangan pekerjaan yang bisa menyerap tenaga kerja Indonesia. Ketiga, investasi yang datang ke Indonesia juga akan semakin banyak, atau pemasukan lain seperti pajak dan lain sebagainya. “Nah, berdasarkan latar belakang itulah, makanya setiap paten yang didaftarkan di Indonesia, kita minta untuk diproduksi di Indonesia,” tukasnya.

“Kita tidak mau ya, yang patennya didaftarkan di sini tetapi dibuatkannya dimana-mana, pabriknya dimana-mana, yang diproduksinya dimana-mana. Kita tidak tahu kualitasnya, kita tidak tahu bagaimana barangnya, sebab tidak dibuat di indonesia,” tambah John.

Implikasi Terhadap Investasi

Lebih lanjut, John mengaku tidak khawatir bila aturan ini justru membuat investor asing pemegang paten takut untuk datang ke Indonesia. “Itu salah satu konsekuensi logis bagi mereka, dengan tujuan itu kan agar kita mendapatkan investasi di Indonesia. Pasar Indonesia luar biasa banyak,” ujarnya.

John optimis dengan pasar di Indonesia yang berpenduduk 250 juta jiwa. “Saya pikir sudah cukup terbuka di Indonesia. Nggak ada khawatir sama sekali. Kalau dia butuh Indonesia, maka dia harus bikin made in Indonesia dong,” tukasnya lagi.

Sebelumnya, dihubungi terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI) Suyud Margono memahami bahwa kehadiran Pasal 20 UU Paten untuk mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia. Meski begitu, memang ada kekhawatiran investor akan ragu-ragu datang ke Indonesia. “Iya, seolah-olah seperti itu ya,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Namun, Suyud memiliki sikap optimisme yang sama dengan John. Menurut Suyud, biasanya di dalam praktek, si (calon) pemegang paten akan melihat potensi pasar dari produk yang akan dipasarkan, apabila produk tersebut akan dibuat. Bila memang pasarnya cukup menjanjikan, maka dia akan mendaftarkan paten di negara tersebut dan membuat produk di sana.

“Jadi sepertinya itu tidak perlu dikhawatirkan. Kalau Saya berpikir positif ya. Kalau misalnya memang Indonesia sebagai negara tujuan untuk pendaftaran paten, biasanya didaftarkan oleh pemegang paten tersebut (di Indonesia,-red),” ujarnya.

Suyud menjelaskan biasanya memang invensi yang didaftarkan paten adalah kelanjutan dengan invensi sebelumnya. Ia menuturkan bahwa invensi sebelum dilakukan ekspansi untuk memproduksi suatu produk tertentu, sudah didaftarkan terlebih dahulu. “Jadi sudah terdaftar sebelum produk itu diluncurkan. Jadi memang sebetulnya tidak perlu khawatir,” tegasnya.

Meski begitu, Suyud berpendapat sebenarnya ketentuan Pasal 20 UU Paten tersebut tidak perlu ada. Di dalam praktek, lanjutnya, tidak semua invensi yang dipatenkan, kemudian diproduksi dan dipasarkan ke masyarakat. Ia mencontohkan bila ada lima invensi, biasanya hanya invensi yang terbaru yang diproduksi dan dipasarkan ke masyarakat. (Baca Juga: Wajibkan Pemegang Paten Membuat Produk di Indonesia, UU Paten Menuai Kritik).

Selain itu, Suyud menilai secara teknis sulit untuk melihat ketentuan ini benar-benar diimplementasikan. Menurutnya, Direktorat Paten pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual di Kemnekumham akan sulit melihat satu per satu paten mana yang diproduksi di Indonesia.

“Sekali lagi karena mungkin kelemahan aparatur untuk melihat karena harus memeriksa semuanya satu per satu, sertifikatnya nomor sekian, diproduksinya diana, Karena kan tidak meungkin seperti itu,” pungkas Suyud.

(PHB)

Dipromosikan