[ALSA Indonesia] Pelaksanaan Ganti Kerugian Atas Pengadaan Tanah Proyek Jalur Kereta Cepat Jakarta – Bandung

Ilustrasi. Sumber Foto: https://jpp.go.id/

Artikel berupa legal opinion (LO) ini ditulis oleh Alifia Cahya Mareta, Jennifer Goldie dan Nurma Rosyida dari ALSA Local Chapter Universitas Airlangga. Publikasi artikel pada rubrik “KLIKALSA” sebagai wujud kerja sama KlikLegal dengan National Board ALSA Indonesia (Periode 2017-2018).

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

 

Kasus Posisi

Hingga saat ini, sejak dilaksanakan seremoni peletakan batu pertama pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, pembebasan lahan terkait proyek tersebut masih belum tuntas. Pembebasan lahan untuk jalur kereta cepat di Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi sejauh ini mencapai 80%. Di wilayah Kabupaten Purwakarta, banyak lahan warga yang belum dibebaskan lantaran pemilik lahan terdampak mengajukan nilai ganti rugi lebih mahal dari nilai yang telah ditetapkan. Nilai ganti rugi pembebasan lahan mengacu pada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Berdasarkan KJPP, lahan untuk kereta cepat harganya Rp110.000 sampai Rp135.000/ meter. Sementara warga terdampak jalur kereta cepat Jakarta- Bandung meminta antara Rp300.000/meter hingga Rp2 juta/meter. Terlebih untuk Desa Anjun yang wilayahnya berada tidak jauh dari pusat kecamatan dan jalan raya. Harga tanah pun jelas berbeda dengan desa yang lain, yang hanya di bawah Rp50.000 – 100.000/meter. Di Desa Anjun, harga tanah paling murah sudah Rp150.000, sedangkan yang berada di sekitar jalan raya, harganya dapat mencapai Rp1,5 juta/meter. Warga merasa diperlakukan tidak adil dan menolak ganti rugi, jika tanahnya dihargai hanya Rp130.000/meter. Permasalahan ganti kerugian yang muncul dalam proyek jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  1. Pihak yang berhak atas tanah menuntut ganti kerugian yang dinilai besar oleh instansi yang memerlukan
  2. Lembaga Pertanahan menetapkan besarnya ganti kerugian yang dinilai tidak layak dan adil oleh pihak yang
  3. Perbedaan pedoman untuk menetapkan besarnya ganti kerugian antara pihak yang berhak atas tanah dan Pelaksana Pengadaan Tanah. Pihak yang berhak berpedoman pada harga pasar tanah, sedangkan Pelaksana Pengadaan Tanah berpedoman pada taksiran yang dilakukan oleh Lembaga.

Dasar Hukum

 

  • Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
  • Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Isu Hukum

  1. Bagaimana bentuk pelaksanaan ganti rugi atas kepemilikan tanah untuk kepentingan pembangunan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum?
  2. Bagaimana mekanisme penyelesaian hukum ketika pemilik hak atas tanah menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian yang telah ditetapkan?

 

Analisis 

Bagaimana bentuk pelaksanaan ganti rugi atas kepemilikan tanah untuk kepentingan pembangunan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum?

Pengadaan tanah untuk proyek jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan cara perolehan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yaitu ditempuh melalui pelepasan hak atas tanah oleh pemegang haknya. Jalur kereta api merupakan salah satu obyek pembangunan yang diperoleh dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah). Terkait dengan hal ini, Pasal 1 ayat (6) UU Pengadaan Tanah bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. (Baca Juga: [ALSA Indonesia] Revisi UU Partai Politik dalam Upaya Memberantas Korupsi Politik).

Pelepasan hak harus diimbangi dengan ganti kerugian yang layak dan adil. Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan. Ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum mempunyai peranan penting untuk dapat terlaksana tidaknya pengadaan tanah. Pada prinsipnya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antar pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Bentuk pelaksanaan ganti kerugian atas kepemilikan tanah untuk kepentingan pembangunan diatur dalam UU Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksanaannya.

Ganti kerugian atau penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah, diberikan berdasarkan ketentuan pasal 33 UU Pengadaan Tanah, yang menyatakan bahwa penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) UU Pengadaan Tanah dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:

  1. Tanah;
  2. Ruang atas tanah dan bawah tanah;
  3. Bangunan;
  4. Tanaman;
  5. Benda yang berkaitan dengan tanah;
  6. Kerugian lain yang dapat

Sedangkan bentuk ganti kerugiannya diatur pada pasal 36 UU Pengadaan Tanah yang menyatakan bahwa pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:

  1. Uang;
  2. Tanah pengganti;
  3. Pemukiman kembali;
  4. Kepemilikan saham; atau
  5. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah

Tentang ganti rugi dalam hal bentuk dan besarannya mendapat penegasan lewat Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut Perpres 71/2012) dan perubahannya. Dalam pasal 65, Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian bidang per bidang tanah, meliputi:

  1. Tanah;
  2. Ruang atas tanah dan bawah tanah;
  3. Bangunan;
  4. Tanaman;
  5. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
  6. Kerugian lain yang dapat

Adapun bentuk ganti rugi yang dapat diberikan dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut, berdasarkan pasal 74 Perpres 71/2012 adalah sebagai berikut:

  1. Uang
  2. Tanah pengganti
  3. Pemukiman kembali;
  4. Kepemilikan saham; atau
  5. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Terkait dengan ini, Subekti menjelaskan bahwa yang dimaksudkan kerugian yang dapat diminta penggantian itu, tidak hanya berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (konsten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interressen) yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving).

Secara teknis bentuk ganti kerugian lebih mendetail diatur dalam Perpres No. 71/2012, yang meliputi ganti kerugian uang, tanah pengganti, pemukiman kembali. Selain itu, ada juga kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Ganti kerugian dalam bentuk uang diberikan dalam bentuk mata uang rupiah. Pemberian ganti kerugian dilakukan paling lama tujuh hari kerja sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah.

Bagaimana mekanisme penyelesaian hukum ketika pemilik hak atas tanah menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian yang telah ditetapkan?

Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung kepada pihak yang berhak. Dalam penjelasan pasal 40 UU Pengadaan Tanah, pemberian ganti kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada pihak yang berhak atas ganti kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak  atas ganti kerugian. Pihak yang berhak terdiri dari:

  1. Pemegang hak atas tanah;
  2. Pemegang hak pengololaan;
  3. Nadzir, untuk tanah wakaf;
  4. Pemilik tanah bekas milik adat;
  5. Masyarakat hukum adat;
  6. Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
  7. Pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
  8. Pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan

Pasal 41 UU Pengadaan Tanah menyebutkan bahwa ganti kerugian diberikan kepada pihak yang berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (5). Pada saat pemberian ganti kerugian pihak yang berhak menerima ganti kerugian wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.

Bukti tersebut merupakan satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan. Tuntutan pihak lain atas objek pengadaan tanah yang telah diserahkan kepada instansi yang memerlukan tanah menjadi tanggung jawab pihak yang berhak menerima ganti kerugian. Lebih jelas lagi, pemberian ganti kerugian menurut Pasal 42 UU Pengadaan Tanah adalah, dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.

Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah dilaksanakan atau pemberian-pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di Pengadilan Negeri, maka kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Secara teknis bila terjadi penolakan atas bentuk dan besaran ganti rugi maka pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah ditandatangani berita acara hasil musyawarah. Hal ini dijelaskan dalam pasal 73 ayat (1) Perpres 71/2012. Pengadilan Negeri berhak memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.

Kesimpulan

Ganti rugi atas pengadaan tanah proyek jalur kereta cepat Jakarta – Bandung yang belum adil dan layak bagi pihak yang berhak sesuai dengan amanat UU Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksananya. Pemberian ganti rugi harus dikaji dengan matang dan mendalam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak merugikan pihak lain yang terdampak pembangunan proyek kereta cepat. Namun apabila pihak yang berhak tidak bersedia untuk menerima ganti rugi, maka ganti rugi dapat dititipkan ke pengadilan (konsinyasi). Begitu juga apabila terdapat penolakan ganti rugi, tetapi warga tidak mengajukan keberatan ke pengadilan, maka ganti rugi dapat dikonsinyasi sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.

Dipromosikan