Kasus Gagal Bayar dan Kebocoran Data Pribadi Semakin Meningkat, Apakah Layanan Peer-to-Peer (P2P) Lending di Indonesia Masih Aman? 

Kasus Gagal Bayar dan Kebocoran Data Pribadi Semakin Meningkat, Apakah Layanan Peer-to-Peer (P2P) Lending di Indonesia Masih Aman?

Kasus Gagal Bayar dan Kebocoran Data Pribadi Semakin Meningkat, Apakah Layanan Peer-to-Peer (P2P) Lending di Indonesia Masih Aman? 

Seiring dengan zaman yang semakin berkembang, teknologi menjadi faktor pendorong utama terjadinya digitalisasi pada kehidupan bermasyarakat. Peningkatan kebutuhan manusia kemudian menjadi faktor pendorong untuk memunculkan berbagai inovasi dari bidang teknologi untuk memberikan kemudahan, termasuk financial technology (fintech) yang memicu banyak perhatian masyarakat (Maulidah Narastri, 2020). 

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (PBI No.19/12/PBI/2017), fintech dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan inovasi teknologi pada sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru dengan memperhatikan perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian untuk menjaga stabilitas moneter, sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, serta andal. Umumnya, fintech dapat diartikan sebagai suatu terobosan di bidang teknologi yang bertujuan untuk memudahkan serta meningkatkan layanan transaksi dalam sektor jasa keuangan (Risna Kartika, 2019). 

Pada perkembangannya, terdapat banyak jenis fintech, yang salah satunya adalah peer-to-peer (P2P) lending. Dasar pengaturan penyelenggaraan P2P lending telah diatur dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPBBTI). 

Dengan mengacu pada peraturan tersebut, P2P lending dapat diartikan sebagai layanan pada sektor jasa keuangan dalam pendanaan atau pinjam meminjam, baik konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah, dengan mempertemukan pemberi (lender) dan penerima dana (borrower) melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet. 

Tercatat dalam Statistik Fintech Lending Periode Maret 2023 yang dilansir dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lender dalam fintech lending telah mencapai 1.021.273 pengguna dan sejumlah 108.890.010 pengguna untuk borrower (Statistik Fintech Lending Maret 2023). Hingga saat ini, fintech lending, termasuk layanan P2P lending di Indonesia juga banyak menerima respon positif karena kemudahan dan singkatnya waktu pencairan dana. 

Sayangnya, berbagai kemudahan yang ditawarkan layanan P2P lending juga disertai dengan berbagai risiko. Risiko terbesar yang dapat merugikan konsumen selaku pemakai jasa layanan P2P lending diantaranya adalah risiko gagal bayar dan kebocoran data pribadi.

Perlindungan Hukum Terhadap Kasus Gagal Bayar dalam Peer-to-Peer (P2P) Lending di Indonesia 

Gagal bayar atau non-performing loan (NPL) merupakan salah satu risiko terbesar dalam penyelenggaraan P2P lending. Hingga Februari 2023, tercatat bahwa masih banyak tingkat keberhasilan (TKB90) pendanaan atau pinjam meminjam pada platform P2P lending yang berada dibawah 90%. Bahkan, masih terdapat kasus gagal bayar yang mencapai hingga 70% pada platform P2P lending, seperti Tanifund dan Pintek (Bestari, Februari 21, 2023). 

Gagal bayar dalam hal ini merupakan suatu kondisi ketika borrower terlambat mengembalikan dana pinjaman yang diberikan oleh lender lebih dari 90 hari atau lebih dari waktu yang telah diperjanjikan (Wicaksono, 134). Dengan mengacu pada Pasal 1238 KUHPerdata, gagal bayar dapat dikategorisasikan sebagai wanprestasi oleh pihak borrower karena tidak dapat memenuhi kewajibannya baik dalam pembayaran pokok hutang, bunga, maupun denda kepada lender sesuai yang telah diperjanjikan. 

Risiko gagal bayar dalam P2P lending akan memberikan dampak kerugian besar terutama bagi pihak lender. Risiko ini kemudian tidak hanya dapat menimbulkan tanggung jawab hukum bagi borrower, tetapi juga bagi penyelenggara P2P lending

Berangkat dari permasalahan tersebut, penyelenggaraan P2P lending sudah seharusnya memperhatikan dan menerapkan prinsip perlindungan konsumen. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), PBI No.19/12/PBI/2017, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan (POJK 6/POJK.07/2022) dan POJK LPBBTI. 

Pada intinya, penyelenggaraan P2P lending harus menjaminkan kepastian hukum serta manajemen risiko dan kehati-hatian dalam perlindungan konsumen. Prinsip ini mencakup edukasi, transparansi, keadilan berbisnis, perlindungan aset, data, dan privasi, juga penyelesaian sengketa yang efektif. 

OJK melalui POJK LPBBTI telah berupaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen P2P lending, baik bagi lender maupun borrower, terutama dengan mengoptimalkan penyelenggaraan P2P lending. Untuk meminimalisasi terjadinya gagal bayar, POJK LPBBTI mewajibkan penyelenggara P2P lending untuk memfasilitasi mitigasi risiko bagi konsumen, setidaknya mencakup: 

  1. Analisis risiko pinjaman yang diajukan oleh borrower
  2. Memverifikasi identitas konsumen dan keabsahan dokumen; 
  3. Menagih pinjaman secara optimal; 
  4. Memfasilitasi pengalihan risiko pinjaman; dan 
  5. Memfasilitasi pengalihan risiko jika terdapat objek jaminan. 

Penyelenggara P2P lending juga harus memastikan kesesuaian antara kebutuhan dengan kemampuan borrower agar dapat menghindari terjadinya gagal bayar. 

Selain itu, dilakukan juga pengawasan terhadap penyelenggara P2P lending oleh OJK maupun Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai organisasi pengawasan yang bergerak di bawah OJK agar dapat meminimalisasi terjadinya kasus gagal bayar. 

Akan tetapi, apabila gagal bayar (wanprestasi) tetap terjadi, dengan mengacu pada POJK LPBBTI, lender dapat melakukan pengaduan pada penyelenggara P2P lending dan pengaduan tersebut wajib diterima, ditangani, dan diselesaikan oleh Penyelenggara P2P lending sesuai mekanisme pada POJK Nomor 18/POJK 07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan (POJK No.18/POJK 07/2018). 

Dalam hal ini, penyelenggara P2P lending di juga wajib melakukan penagihan kepada borrower atas pinjaman yang gagal bayar melalui pemberian surat peringatan pada jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian antara lender dan borrower. 

Berdasarkan Pasal 103 POJK LPBBTI, penyelenggara P2P lending dapat dibantu oleh pihak ketiga dalam penagihannya, dengan catatan bahwa penyelenggara memiliki tanggung jawab atas dampak dari kerjasama tersebut. Pihak ketiga yang dimaksud harus berbentuk badan hukum, berizin dari instansi berwenang dan sumber daya yang sudah tersertifikasi di bidang penagihan dari lembaga sertifikasi profesi yang terdaftar di OJK, serta bukan merupakan afiliasi dari lender dan borrower. 

Berdasarkan Lampiran III SK Pengurus AFPI 002/2020, pihak ketiga ini harus dikecualikan dari black list yang dikeluarkan OJK dan/atau AFPI dan tidak diperbolehkan untuk menggunakan segala bentuk kekerasan dalam proses penagihannya. 

Selain melakukan penagihan, penyelenggara P2P lending dapat juga melapor pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK agar di kemudian hari ketika borrower akan mengajukan pinjaman di lembaga keuangan lain, ia akan dinilai berdasarkan data borrower berdasarkan rekam jejaknya. 

Hal tersebut ditujukan agar dapat memberikan perlindungan konsumen atas kemungkinan terjadinya kasus gagal bayar dari borrower yang sama, dan agar pihak yang ingin menjadi borrower di kemudian hari akan menyesuaikan antara kesanggupan dan kebutuhannya ketika ingin meminjam uang dalam layanan P2P lending. 

Lebih lanjut, apabila dari pengaduan yang dilakukan tidak tercapai penyelesaian, kasus gagal bayar dapat diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian antara lender dengan borrower atau perjanjian antara lender dengan penyelenggara P2P lending. 

Jika mekanisme yang dimaksud tidak tercantum dalam perjanjian, para pihak dapat memilih mekanisme penyelesaian sengketa setelah terjadi gagal bayar selama terdapat kesepakatan antara para pihak. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan baik secara non-litigasi melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK), maupun melalui litigasi secara keperdataan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum bagi konsumen atas haknya apabila terjadi kasus gagal bayar dalam penyelenggaraan P2P lending.

Baca Juga: Beberapa Penyelenggara P2P Lending Belum Taat Aturan Ekuitas, Begini Aturannya!

Perlindungan Hukum Terhadap Data Pribadi Konsumen pada Layanan Peer-to-Peer (P2P) Lending di Indonesia 

Selain kasus gagal bayar, risiko kebocoran data dalam penyelenggaraan layanan fintech patut mendapat perhatian khusus, termasuk dalam layanan P2P lending. Pada tahun 2022, Indonesia menempati urutan ke-3 di dunia dengan kasus kebocoran data pribadi terbanyak, sejumlah 12,74 juta data pribadi (Annur, September 19, 2022). 

Kasus yang sedang terjadi pada saat ini adalah bocornya 15 juta data nasabah Bank BSI akibat adanya serangan Ransomware bernama LockBit 3.0 yang mencakup data umum (nama, nomor telepon, dan alamat) serta data spesifik (data keuangan, saldo rekening, dan riwayat transaksi) (Suryo, Mei 13, 2023). Selain itu, data pribadi dapat juga disalahgunakan dan diakses secara tidak sah oleh penyelenggara fintech sebagai Pengendali Data. Misalnya, penyalahgunaan dan pengaksesan oleh pihak ketiga tanpa persetujuan dari konsumen atau penagihan oleh debt collector dengan unsur melawan hukum.

Dalam hal ini, penyelenggara P2P lending selaku Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), wajib melindungi dan menerapkan asas serta prinsip data pribadi konsumen berdasarkan ketentuan dari UUPK, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), POJK No. 6/POJK.07/2022. Asas dan prinsip tersebut mencakup keamanan dan keselamatan konsumen; pelindungan dan kerahasiaan; kenyamanan; serta perlindungan aset, privasi, dan data konsumen. 

Berdasarkan Permenkominfo No. 4 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi (Permenkominfo 4/2016), layanan P2P lending termasuk pada PSE tingkat tinggi karena berdampak pada kepentingan sektor jasa keuangan yang harus menerapkan standar SNI ISO/IEC 27001. Data pribadi yang diproses oleh layanan P2P lending, disesuaikan dengan standar tersebut, dapat berupa: 

  1. Data spesifik berupa data keuangan mengenai jumlah pinjaman, status pinjaman, dan jatuh tempo pinjaman; 
  2. Data spesifik berupa foto wajah dari konsumen yang melekat pada dirinya; 3. Data percakapan antara para pengguna Layanan P2P lending, seperti percakapan pada proses penagihan pinjaman gagal bayar; dan 
  3. Data umum berupa KTP, nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, pekerjaan, dan lainnya (Agusta, 18-19). 

Oleh karena itu, P2P lending memiliki kewajiban dan tanggung jawab besar dalam melindungi dan menjaga keamanan data para konsumennya. Penyelenggara P2P lending wajib menerapkan seluruh prinsip pelindungan data pribadi, termasuk prinsip utamanya, yakni kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari pemilik data dan kesesuaian tujuan dalam pemrosesannya. Mengacu pada UU PDP dan PP No. 71

Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) terdapat beberapa kewajiban utama dari Penyelenggara P2P lending, antara lain: 

  1. Persetujuan pemrosesan data pribadi; 
  2. Pemrosesan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, serta transparan;
  3. Pemrosesan data sesuai dengan tujuan; 
  4. Memberikan akses kepada konsumen terkait datanya; 
  5. Mencegah pengaksesan tidak sah dan mengoperasikan secara andal dan aman dengan sertifikat keandalan; 
  6. Menjaga keamanan data/data security
  7. Menjaga kerahasiaan data; serta 
  8. Pemusnahan data. 

Pemrosesan data harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan salah satu prinsip pelindungan data pribadi dalam Pasal 16 ayat (2) huruf h UU PDP. Maka, penyelenggara P2P lending harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen terhadap kesalahan dan/atau kelalaian yang disebabkan oleh pihak internal penyelenggara. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan pada UU PDP, POJK No. 6/POJK.07/2022, dan POJK No. 10/POJK.05.2022. 

Konsumen perlu mengetahui haknya sebagai Subjek Data menurut UU PDP karena ketika telah mengunggah data pribadinya ke aplikasi layanan P2P lending, kepemilikan atas data pribadi konsumen tidak beralih. Hak tersebut, meliputi hak atas kejelasan penggunaan data, pengubahan datanya menjadi akurat, akses dan salinan data, penghapusan data, pembatalan persetujuan data, pengajuan keberatan atas pemrosesan otomatis, penundaan atau pembatasan pemrosesan, penggugatan dan penerimaan ganti rugi, serta penggunaan data pribadi atas dirinya. Selain itu, konsumen juga memiliki hak kebendaan atas data pribadinya berupa, yakni digital property yang disimpan penyelenggara (Agusta, 25). 

Jika terjadi kebocoran/kegagalan data, penyelenggara P2P lending wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis maksimal 3×24 jam yang berisikan data pribadi terungkap; kapan dan bagaimana data terungkap; serta upaya penanganan dan pemulihan atas kebocoran data (Pasal 46 UU PDP). Namun, dalam praktiknya, banyak penyelenggara yang tidak mengikuti ketentuan tersebut dan tidak mengakui bahwa datanya bocor. 

Sebaliknya, penyelenggara justru menyampaikan bahwa datanya aman. Apabila penyelenggara melanggar ketentuan tersebut, penyelenggara dapat dikenakan sanksi administratif dengan bentuk peringatan tertulis, penghentian sementara terhadap pemrosesan, penghapusan atau pemusnahan data, dan/atau denda administratif (Pasal 57 UU PDP). 

Selanjutnya, mengacu kepada Pasal 65 dan 66 UU PDP, larangan lain dalam penggunaan data pribadi dapat berupa perolehan data secara tidak sah untuk keuntungan sendiri, pengungkapan data pribadi yang bukan miliknya, penggunaan data pribadi yang bukan miliknya, dan pemalsuan data pribadi. Pihak yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana denda dan penjara. Namun, jika P2P lending yang melakukan larangan tersebut, pidana yang dikenakan hanyalah denda karena P2P Lending termasuk Korporasi (Pasal 70 ayat (2) UU PDP). 

Untuk memaksimalkan pelindungan data pribadi terhadap konsumen layanan P2P lending, diperlukan penunjukkan Data Protection Officer (DPO). Hal ini diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 53 ayat (1) UU PDP bahwa DPO diperlukan untuk kepentingan pelayanan publik, pemantauan yang sistematis dan berskala besar, dan terdapat kegiatan pemrosesan data spesifik dan/atau berkaitan dengan tindak pidana. Selanjutnya, POJK No. 6/POJK.07/2022 juga menegaskan bahwa penyelenggara P2P lending wajib untuk memiliki unit dalam melindungi konsumen dan masyarakat. Upaya lain untuk memaksimalkan pelindungan data pribadi adalah dengan membentuk Lembaga PDP untuk merumuskan kebijakan dan strategi pelindungan data, melakukan pengawasan, menegakkan hukum secara administratif, dan memfasilitasi penyelesaian sengketa non-litigasi. Namun, hingga saat ini, masih belum terbentuk Lembaga PDP dan DPO tersebut. 

Kesimpulan 

  1. Kehadiran peer-to-peer (P2P) lending sebagai inovasi teknologi di sektor jasa keuangan, yang dimaksudkan untuk membawa kemudahan nyatanya disertai dengan berbagai risiko besar, seperti kasus gagal bayar dalam penyelenggaraan P2P lending. Pihak yang paling terdampak dari kasus ini adalah pemberi dana (lender), sehingga diperlukan perlindungan hukum agar kerugian tersebut dapat

diminimalisasi dan ditanggulangi dengan baik. Meskipun akan selalu terdapat kemungkinan atas terjadinya risiko gagal bayar dalam penyelenggaraan P2P lending, hadirnya berbagai peraturan perundang-undang, termasuk yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan merupakan upaya yang baik dalam memberikan perlindungan hukum bagi para konsumen P2P lending, terutama lender. Contoh upaya perlindungan hukum tersebut dapat dilihat dari terdapatnya pengaturan terkait mekanisme mitigasi risiko, pengaduan, penagihan, dan penyelesaian sengketa. Selain itu, terdapat juga pengawasan dalam penyelenggaraan P2P lending yang dilakukan oleh OJK dan AFPI selaku instansi yang bergerak dibawah naungan OJK. 

  1. Selain kasus gagal bayar, pelindungan data pribadi sangat penting dalam penyelenggaraan P2P lending, yakni dalam meminimalisasi kerugian terhadap konsumen. Penyelenggara P2P lending termasuk ke dalam PSE tingkat tinggi pada sektor jasa keuangan yang akan memproses data umum dan spesifik dalam kegiatan pemrosesan data sehingga timbul kewajiban dan tanggung jawab besar untuk memberikan jaminan keamanan dan pelindungan data bagi konsumennya. Sebagai Subjek Data, konsumen juga perlu mengetahui haknya terhadap data pribadi untuk mencegah kerugian dari pelanggaran data pribadi. Penyelenggara P2P lending wajib memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada konsumen dan Lembaga. Namun, apabila tidak dilakukan, penyelenggara P2P lending akan terancam mendapatkan sanksi administratif. Larangan lain dapat berupa pengaksesan tidak sah, pengungkapan tidak sah, penggunaan data yang bukan miliknya, dan pemalsuan data pribadi. Selain itu, diperlukan peran dari DPO dan Lembaga PDP untuk dapat memaksimalkan pelindungan data pribadi.

Saran 

  1. Bagi penyelenggara P2P lending, diharapkan dapat melakukan mitigasi risiko dengan optimal agar dapat meminimalisasi kasus gagal bayar yang terjadi. Meskipun payung hukum dalam pelaksanaan P2P lending sudah cukup memadai, tetap diperlukan kepatuhan hukum dalam pelaksanaan bisnis oleh penyelenggara P2P lending agar kasus gagal bayar dapat berkurang. Selain itu,

diharapkan pula bagi penyelenggara P2P lending untuk segera menunjuk DPO yang berfungsi sebagai konsultan terkait pelaksanaan pelindungan data pribadi terhadap konsumennya agar menjamin keamanan data dan perlindungan hukumnya. 

  1. Bagi konsumen, yakni lender P2P lending perlu untuk meningkatkan pengetahuan terkait P2P lending dan lebih cermat dalam berinvestasi atau memberikan pinjaman di layanan P2P lending untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko gagal bayar. Borrower layanan P2P lending diharapkan dapat menyesuaikan antara kebutuhan dan kesanggupannya agar dapat menghindari risiko gagal bayar. Selain itu, baik lender maupun borrower selaku konsumen layanan P2P lending diharapkan dapat meningkatkan kesadaran atas hak-haknya dalam penyelenggaraan P2P lending untuk meminimalisasi kerugian dan risiko yang kemungkinan terjadi terkait data pribadinya. 
  2. Bagi pemerintah atau instansi terkait, diharapkan untuk mengedukasi masyarakat yang lebih masif terkait layanan P2P lending beserta risikonya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu, diharapkan praktik pengawasan yang lebih efektif dan efisien untuk dapat meminimalisasi terjadinya kasus gagal bayar pada penyelenggaran P2P lending. Sama halnya dengan pelindungan data pribadi, diperlukan juga pembentukan Lembaga PDP guna mengawasi pelaksanaan pelindungan data pribadi oleh penyelenggara P2P lending.

 

Daftar Pustaka 

Buku 

Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, PT Rafika Aditam, Jakarta, 1999. 

Siswanto Sunarso, Hukum Informasi Dan Transaksi Elektronik, Rineka Cipta, Jakarta, 2009. 

Jurnal 

Abdul Hadi, “Bima Guntara, Perlindungan Hukum Terhadap Data Pribadi Dalam Financial Technology Peer To Peer Lending”, Jurnal Ilmu Hukum Vol 5, No. 1, 2022. 

Abdullah Kafabih dan Maulidah Narastri, “Financial Technology (fintech) Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Islam”, Jurnal Vol. 2. No. 2, 2020. 

Iwan Setiawan dan Nana Darna, Risna Kartika, “Analisis Peer To Peer Lending Di Indonesia”, Jurnal Ilmu-Ilmu Ekonomi, Volume 12 Nomor 2, 2019. 

Peraturan Perundang-Undangan 

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi. 

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. 

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. 

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. 

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK 07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan.

Sumber Lain

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Seminar Nasional Hukum Perdata, “Isu Aktual Hukum Bisnis Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja: Problematika dan Perkembangan Hukum Keperdataan dan Bisnis Indonesia”, Yogyakarta, Januari 2021, diakses melalui https://drive.google.com/file/d/1JQyza1JrtXuYKytwuiF1Kg4OgWoM_7uB/view, pada 15/05/23. 

Novina Putri Bestari, “Warga RI Tak Bayar Pinjol Makin Banyak, Ini Data Lengkapnya”, 2023, diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230221081055-37-415500/warga-r i-tak-bayar-pinjol-makin-banyak-ini-data-lengkapnya, pada 15/05/23. 

Timothy Ezra Simanjuntak, “Pinjol Hanya Boleh Menagih Utang Maksimal 90 Hari, Benarkah?”, 2022, diakses melalui https://www.hukumonline.com/klinik/a/benarkah-pinjol-hanya-boleh-menag ih-utang-maksimal-90-hari-lt62885c8debfde/#_ftn3, pada 16/05/23.

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Siti Nahrisya Nur Gayatri, Windy Riani Putri, Mochammad Rafly Hasan Kosasih Putra.

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

AZ

Dipromosikan