Penguatan Partisipasi Non-Elite Dalam Konstruksi Hukum Publik

(Non-Fungible Token) NFT Sebagai Instrumen Surat Berharga

Penguatan Partisipasi Non-Elite Dalam Konstruksi Hukum Publik

Gejolak masyarakat dapat terjadi sebagai akibat dari kebijakan hukum pemerintah yang tidak sinkron dengan aspirasi masyarakat, terutama berkaitan dengan undang-undang (UU). 

Hal ini dapat terjadi antara lain karena pola komunikasi yang kurang baik oleh pemerintah kepada masyarakat, ataupun karena sulitnya akses masyarakat terhadap formulasi kebijakan hukum pemerintah. 

Pada umumnya polemik terjadi ketika suatu rancangan peraturan perundang-undangan diajukan dalam tahap pembahasan di lembaga legislatif, ataupun ketika peraturan tersebut telah baru saja diberlakukan. 

Oleh karena itu, peran dari sosialisasi suatu kebijakan penting untuk dijalankan dengan optimal agar tidak hanya menghindari terjadinya miskomunikasi ataupun kesalahpahaman antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga untuk mewujudkan tingkat partisipasi masyarakat demi menciptakan kepatuhan terhadap hukum itu sendiri. 

Dengan demikian, apabila konsensus masyarakat merasa telah berpartisipasi dalam penyusunan, maka tingkat efektivitas dan penerimaan akan semakin tinggi dimana masyarakat tidak mematuhi hukum karena terpaksa, namun telah menjadi bagian integral dari kesadaran bahwa hukum itu perlu untuk dipatuhi karena membawa kebaikan dan manfaat bagi semua. 

Dalam hal ini, peran serta masyarakat dalam penerbitan undang-undang masih lemah dengan tingkat partisipasi yang rendah. Sedangkan, partisipasi masyarakat amatlah dibutuhkan untuk mengawal kebijakan hukum pemerintah saat ini (ius constitutum) dan kedepan (ius constituendum). 

Sehingga, menimbulkan pertanyaan mengenai ideal demokrasi yang ada di Indonesia dalam pembentukan hukum yang mencerminkan aspirasi masyarakat luas.

Pemerintahan Demokrasi

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan demokrasi sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; i.e. pemerintahan rakyat dengan memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat; serta menghadirkan gagasan tentang persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang adil bagi semua warga negara. Dalam hal ini, Indonesia menganut sistem demokrasi tidak langsung melalui perantara DPR. 

Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 Amandemen keempat menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi legislasi (pembuatan undang-undang), fungsi anggaran (terhadap Anggaran Belanja Negara), dan fungsi pengawasan (terhadap cabang Eksekutif). Teori Pembagian Kekuasaan menyatakan bahwa DPR sebagai salah satu cabang kekuasaan trias politica saling berhubungan dan berkoordinasi dengan kedua cabang kekuasaan lainnya dalam menjalankan praktik bernegara. 

Hal ini memperlihatkan bahwa hukum dan politik memiliki hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan, dimana hukum merupakan produk politik sedangkan kekuasaan politik memperoleh legitimasi dari hukum. 

Bahwasanya, pengaruh politik terhadap hukum dapat dirasakan dalam penegakan hukum serta dalam karakteristik prosedur dan proses pembentukan hukum. Dalam hal ini, DPR dapat dikatakan belum menjalankan fungsi dengan baik secara kuantitas berupa produktivitas pembuatan UU dan secara kualitas berupa muatan materi UU. 

Dalam hal ini, kualitas orang-orang yang sedang berkuasa sebagai anggota DPR turut berpengaruh terhadap kinerja tersebut. 

Ramlan Surbakti membagi tiga model kekuasaan menjadi model elite, model pluralis, dan model populis (2010). Model elite berasal dari konsepsi bahwa pada dasarnya masyarakat terbagi ke dalam dua kelas, yakni sedikit orang berkuasa yang disebut sebagai elite, dan masyarakat yang diatur atau dikuasai yang disebut sebagai massa. 

Surbakti kemudian membagi model elite menjadi tiga bagian, yaitu 1) elite politik yang yang berorientasi pada keuntungan pribadi dan golongan tertentu; 2) elite politik liberal; dan 3) pelawan elite (oposan).

Partisipasi Elite dan Non-elite

Selama ini produk undang-undang dianggap sebagai produk elite yang tidak atau kurang mencerminkan keinginan rakyat, melainkan lebih menguntungkan dan mengakomodir kepentingan elite. Selama ini elite terkesan berjarak dengan rakyat non-elite dan hanya berinteraksi dalam periode tertentu pada saat pemilihan anggota dewan. 

Oleh karena itu, diperlukan formulasi untuk meningkatkan partisipasi non-elite untuk menjembatani gap kepentingan antara elite DPR dan rakyat non-elite. Salus populi suprema lex esto (kebaikan bagi rakyat adalah hukum tertinggi) yang dikatakan oleh Cicero menggambarkan praktik hukum dan bernegara yang baik. 

Salah satu cara melalui partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang. 

Hamzah Halim dan Kemal R.S. Putera (2010) memberikan empat konsep partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang, yaitu partisipasi sebagai Kebijakan; partisipasi sebagai Strategi; partisipasi sebagai alat Komunikasi; dan partisipasi sebagai alat Penyelesaian Sengketa. 

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah memiliki lima tahap mekanisme kegiatan, yaitu tahap Kompilasi; tahap Klasifikasi dan Sinkronisasi; tahap Konsultasi, Komunikasi dan Sosialisasi; tahap Penyusunan Naskah Prolegnas; dan tahap Pengesahan. 

Meskipun demikian, output Prolegnas belum sepenuhnya memenuhi harapan ideal dari para Stakeholders dan masyarakat. RUU-RUU prioritas yang ditetapkan melalui Prolegnas belum menyentuh kualitas substantif sinkronisasi pembentukan peraturan perundang-undangan nasional. 

Target realisasi Prolegnas tidak pernah tercapai, bahkan seringkali prioritas pembahasan didasarkan pada kebutuhan undang-undang yang mendesak menyangkut kepentingan politik, pemerintah, dan elite. 

Oleh karena itu, perlu ada transparansi yang lebih baik dalam hal perencanaan, monitoring, dan evaluasi Prolegnas. Diperlukan metode dan mekanisme yang lebih baik dalam mempersiapkan penyusunan Prolegnas dengan lebih melibatkan pengawasan dan partisipasi masyarakat luas.

Penguatan Partisipasi Non-elite

Penulis mengusulkan revitalisasi sistem Prolegnas dengan partisipasi masyarakat melalui instrumen Referendum (jajak pendapat) terhadap penerimaan atau penolakan RUU. 

Hal ini dilakukan pada tahap keempat; penyusunan naskah Prolegnas, yaitu sebelum RUU dibahas dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR sebagai bagian dari legislative review

Adapun mekanisme koreksi perundangan setelah diundangkan dapat dilakukan melalui judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

David Altman (2011) mengklasifikasikan 4 (empat) kedimensian dari referendum, yaitu 1) Wajib vs. Opsional; 2) Mengikat vs. Konsultatif; 3) Dicetuskan oleh warga negara (bottom up) vs. Dicetuskan oleh penguasa/pemerintah (top-down); 4) Proaktif (mengusulkan perubahan) vs. reaktif (menentang perubahan). 

Dalam hal ini, optional referendum yang dilakukan dari adanya permintaan yang berasal dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif ataupun dari masyarakat dirasa cocok untuk diterapkan di Indonesia. Referendum ini terbagi menjadi 1) Legislative referral, diajukan oleh pemerintah atau DPR terhadap RUU, yang dapat memiliki kekuatan mengikat (legally binding) atau hanya sebagai indikator opini publik (advisory); 2) Initiative referendum, yang diajukan oleh masyarakat untuk mengusulkan dan memberikan suara pada undang-undang baru; 3) Popular referendum, yang diajukan oleh masyarakat untuk menentang dan membatalkan hukum yang ada; 4) Recall referendum, yang diajukan oleh masyarakat untuk memberhentikan pejabat terpilih sebelum akhir masa jabatannya.

Daya Mengikat dan Legitimasi

Mekanisme optional referendum mempergunakan prosedur pemilihan umum, sehingga memiliki daya mengikat hukum dibandingkan dengan mekanisme petisi. 

Prosedur pemungutan suara memilih dengan pilihan Ya atau Tidak terhadap proposal atau masalah tertentu RUU sebagai approval voting, dimana proposisi dengan suara Ya terbanyak menang atas yang lain. 

Sistem pemungutan suara lain yang dapat digunakan adalah pilihan ganda dengan metode Condorcet (mengurutkan prioritas). Pada akhirnya, hasil dari referendum dianggap sah jika diikuti oleh jumlah tertentu masyarakat luas dan disetujui oleh mayoritas pemilih tersebut yang ada di negara itu.  

Dalam hal ini, penulis membandingkan dengan negara Swiss, dimana setiap warga negara berhak meminta UU yang ditetapkan oleh parlemen untuk diputuskan secara langsung oleh rakyat melalui referendum berupa petisi pengumpulan tanda-tangan sebanyak minimum 50.000 orang atau 1% dari jumlah penduduk yang mempunyai hak politik dalam waktu 100 hari sejak ditetapkannya UU yang akan di referendum. 

Dengan demikian, mekanisme referendum (jajak pendapat) yang digunakan sebagai formulasi mekanisme peningkatan partisipasi masyarakat non-elite dalam konstruksi hukum publik melalui tahapan Prolegnas akan merevitalisasi praktik transparansi tata kelola dan bernegara yang baik (good governance) untuk mewujudkan ideal demokrasi sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945.

 

FL 

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Gede Khrisna Kharismawan, Mahasiswa Pasca Sarjana pada Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Vice President, Junior Chamber International (JCI) Bali, 2019-2020.

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan