Perdebatan Pasal Penghinaan Presiden Melalui R-KUHP Dalam Perspektif Hukum Positivist Inklusif

Perdebatan Pasal Penghinaan Presiden Melalui R-KUHP Dalam Perspektif Hukum Positivist Inklusif

Perdebatan Pasal Penghinaan Presiden Melalui R-KUHP Dalam Perspektif Hukum Positivist Inklusif

Baru-baru ini terdengar berita bahwa RKUHP akan difinalisasikan sebagai KUHP baru bagi pelaku yang melakukan tindak pidana. Namun, masih terdapat beberapa Pasal-Pasal yang menurut masyarakat cukup bertentangan hingga berpotensi mengakibatkan kerugian apabila pengaturan itu diterapkan di masyarakat. Beberapa Pasal yang cukup kontroversial dalam RKUHP meliputi; Pasal Penghinaan Presiden, Pasal Penghinaan Terhadap Pemerintah, Pasal Penghinaan kekuasaan umum atau Lembaga negara, Pasal Hukum yang hidup di masyarakat, Pasal Kumpul Kebo, Pasal Hukuman Mati, dan Pasal Demonstrasi. Pasal-pasal ini memiliki potensi yang cukup berbahaya apabila diterapkan karena mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Permasalahan Pasal 218 ayat (1) RKUHP?

Pada ketentuan Pasal 218 ayat (1) RKUHP tentang Penghinaan Presiden mengatur: “Setiap orang yang dimuka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana dnda paling banyak kategori IV” [1].

Tetapi Pasal 218 ayat (2) RKUHP mengatur bahwa “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembela diri”. Menurut penulis, dalam ketentuan pada Pasal 218 ayat (1) dan (2) RKUHP akan menjadi pasal karet karena dimana memudahkan seseorang untuk dikenakan delik pidana ketika melakukan kritikan terhadap kepala negara atau Presiden. Tidak itu saja, melalui Pasal 218 ayat (2) RKUHP mengatur bilamana bertujuan untuk kepentingan umum maka tidak dapat diberikan hukuman pada ketentuan di ayat (1) tersebut. Hal ini akan mengakibatkan serba salah ketika berniat untuk berkritik atas kinerja Presiden selama berjalan waktu, tetapi itu ditafsirkan bahwa itu merupakan penghinaan Presiden karena telah merasa dipermalukan sehingga mengakibatkan kehormatan atau harkat martabat diri Presiden jatuh di mata umum.  

Sebelumnya, pada ketentuan KUHP lama mengenai penghinaan Kepala Negara pada Pasal 134 KUHP mengatur; Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Menurut Sudarto mengenai Kebijakan hukum Pidana sebagai berikut;

Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. [2]

Kebedaan pembentukan suatu aturan hukum pidana untuk mewujudkan suatu perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan sosial di masyarakat atas dasar keadilan bagi seluruh kepentingan masyarakat luas.

Bagaimana Hubungan Prinsip Hukum Positivist Inklusif dengan Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP ?

Pengaturan hukum terkait penghinaan kepala negara melalui Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 KUHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan itu melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan Presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan. [3] 

Pengembalian Pasal 218 ayat (1) RKUHP mengenai penghinaan kepala negara merupakan bagian dari pembangkangan konstitusi yang dimana sebelumnya telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa telah dibatalkan atas dasar bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Jika berdasarkan pada Teori Hukum Positivist Inklusif menurut aturan pengakuan (the rule of recognition) dapat dimasukkan sebagai kriteria validitas hukum sesuai dengan prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai substantif.

Menurut Dworkin prinsip hukum secara maksimal berkontribusi pada pembenaran jika dan hanya jika memenuhi dua syarat: (1) prinsip tersebut sejalan dengan materi hukum yang ada; dan (2) prinsipnya adalah standar yang paling menarik secara moral yang memuaskan. Dworkin berpandangan bahwa normatif tidak hanya memutus suatu perkara berdasarkan undang-undang atau hukum tertulis saja, melainkan normatif lebih mengarah pada memutus perkara berdasarkan nilai-nilai yang berkaitan dengan esensi hukum, yaitu keadilan. [4] 

Esensi hukum yang berkeadilan merupakan suatu produk hukum berdasarkan kebutuhan masyarakat atas dasar cita-cita yang telah diharapkan untuk dicapai.  Oleh karena itu, apabila membentuk atau menerapkan suatu pasal maka harus mengacu pada prinsip hukum dengan moral yang terbaik. Kembalinya ketentuan hukum mengenai penghinaan presiden melalui RKUHP menurut penulis tidak mencerminkan prinsip hukum positivist inklusif sebagaimana prinsip hukum dengan menarik moral yang memuaskan. 

Parameter dari menarik moral terbaik adalah bilamana ketentuan aturan yang telah dibuat oleh penguasa tidak menjadi perdebatan hingga polemik yang berkepanjangan. Menurut penulis, beberapa Pasal-pasal dalam RKUHP yang menjadi persoalan baik penghinaan Presiden, Penghinaan Lembaga Negara, kumpul kebo, hukuman mati, hingga demonstrasi tidak mencerminkan nilai-nilai aturan hukum yang berkolaborasi dengan keadaan sosial di masyarakat yang berdemokrasi ini.

Keberadaan RKUHP yang akan diterapkan di masyarakat haruslah menjawab seluruh permasalahan-permasalahan hukum yang sering dialami oleh individu baik perlindungan dan kepastian hukum tersebut. Merujuk pada teori kebijakan hukum pidana yang diungkapkan oleh Arief (2008:4), bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencari kesejahteraan masyarakat (social welfare)[5]. 

Menghubungkan pada Pasal 218 RKUHP yang diatur kembali mengenai Penghinaan Presiden tidak memperlihatkan kebijakan hukum pidana sebagai upaya perlindungan masyarakat (social defence) dimana kebebasan berpendapat (freedom of opinion) terkait penilaian kepemimpinan kepala negara sebagaimana diatur pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Sumber

Novelino, A. (2022). RKUHP Final: Hina Presiden Dipenjara 3,5 Tahun. Cnnindonesia.Com. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220706150051-12-818051/rkuhp-final-hina-presiden-dipenjara-35-tahun

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. (2021). 5 Alasan Menolak Pasal Penghinaan Presiden dimasukkan kembali ke dalam RKUHP. Pshk.or.Id. https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/5-alasan-menolak-pasal-penghinaan-presiden-dimasukkan-kembali-ke-dalam-rkuhp/,

Ramdan, A. (2020). Kontroversial Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam RKUHP. Jurnal Yudisial, Volume 13 (Number 2), 245–266.

MKRI SEBAGAI LEMBAGA AJUDIKASI. (n.d.). [Universitas Satya Kristen Wacana]. https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11646/3/T2_322013014_BAB II.pdf

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP)

[1] Novelino, A. (2022). RKUHP Final: Hina Presiden Dipenjara 3,5 Tahun. Cnnindonesia.Com. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220706150051-12-818051/rkuhp-final-hina-presiden-dipenjara-35-tahun, diakses pada tanggal 11 Juli 2022

[2] Ramdan, A. (2020). Kontroversial Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam RKUHP. Jurnal Yudisial, Volume 13 (Number 2), 245–266.

[3] Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. (2021). 5 Alasan Menolak Pasal Penghinaan Presiden dimasukkan kembali ke dalam RKUHP. Pshk.or.Id. https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/5-alasan-menolak-pasal-penghinaan-presiden-dimasukkan-kembali-ke-dalam-rkuhp/, diakses pada tanggal 11 Juli 2022

[4] MKRI SEBAGAI LEMBAGA AJUDIKASI. (n.d.). [Universitas Satya Kristen Wacana]. https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11646/3/T2_322013014_BAB II.pdf,

[5] Op,Cir,. Ramdan, A. (2020). Kontroversial Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam RKUHP. Jurnal Yudisial, Volume 13 (Number 2), 245–266.

FL

Artikel berupa opini ini ditulis oleh Arya Putra Rizal Pratama. Penulis merupakan Legal Intern Junior Lawyer Integrity Law Firm.

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan