Perselingkuhan dalam Sorotan: Kontradiksi dan Implikasi Perluasan Makna Zina pada Pengesahan RUU KUHP

Perselingkuhan dalam Sorotan: Kontradiksi dan Implikasi Perluasan Makna Zina pada Pengesahan RUU KUHP

Perselingkuhan dalam Sorotan:
Kontradiksi dan Implikasi Perluasan Makna Zina pada Pengesahan RUU KUHP

Facta sunt potentiora verbis diartikan juga sebagai suatu fakta lebih kuat dari perkataan. Di era saat ini, kemajuan IPTEK telah mempengaruhi perilaku manusia, termasuk perilaku negatif. Realita menunjukkan bahwa beberapa belahan masyarakat tak lagi mengindahkan berbagai norma yang berlaku. Contohnya, banyak yang keliru menginterpretasikan ajaran kesusilaan sebagai sikap open minded. Hal-hal seperti ini timbul secara langsung akibat masuknya budaya luar yang memiliki akses bebas tanpa filter dari masyarakat itu sendiri. Salah satu contohnya adalah tindakan perzinaan dalam perselingkuhan. 

Tindakan perzinaan dalam perselingkuhan seringkali masih dianggap tabu baik dalam optik yuridis maupun optik sosial masyarakat Indonesia. Kemudian, R.Soesilo (1986: 208) berpendapat bahwa Pengaturan perundang-undangan yang mengaturnya masih belum dianggap efektif dalam menangani masalah tersebut karena dinilai dari tindakan perzinaan yang pa justru semakin marak terjadi, berani, dan tidak tercermin rasa bersalah yang mana hal ini sangat menyimpang dari pancasila.

Tindakan perzinaan dalam perselingkuhan ini selalu meresahkan masyarakat terutama terkait dengan cara menangani dan mengadilinya sesuai dengan hukum yang seharusnya. Oleh karena itu, pengaturan spesifik mengenai tindakan-tindakan ini sepatutnya diadakan dan diselenggarakan sebagaimana mestinya. 

Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2017, ditemukan data yang menunjukkan ketidakefektifan peraturan hukum yang mengatur tentang perzinaan. Data tersebut menyatakan bahwa 8% pria dan 2% wanita dalam rentang usia remaja yaitu 15-24 tahun yang belum menikah telah terlibat dalam hubungan seksual (Izzatul & Tanjung, 2022: 186).

Sementara menurut Winarti & Alamsyah (2022: 489) persentase inisiasi seks pranikah (perzinaan termasuk perselingkuhan) berupa remaja yang berpegangan tangan 55,8%, berpelukan 35,29%, cium pipi 14,70%, dan cium bibir 5,8%. Oleh karena itu, dapat dinilai bahwa meski ada peraturan, masyarakat masih banyak yang tidak mengindahkannya dan justru semakin marak terjadi (Venansius A., 2022: 489). 

Indonesia yang merupakan negara hukum, sejak lama telah menyebutkan klausul ‘zina’ dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), zina merujuk kepada tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dengan seseorang yang bukan merupakan pasangan resmi mereka, dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak (R.Soesilo, 1995: 209). Sedangkan Persetubuhan adalah tindakan menyatukan anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang umumnya dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keturunan. 

Dalam KUHP versi sebelumnya, memandang bahwa persetubuhan di luar perkawinan merupakan perbuatan zina, tetapi tidak semua perbuatan zina dapat dikenai hukuman. Hanya perbuatan zina yang dilakukan oleh pria maupun wanita yang sudah menikah yang dapat dihukum. Namun, jika pria atau wanita tersebut belum menikah, tindakan yang dilakukan tersebut tidak masuk dalam larangan yang ada dalam versi KUHP lama. 

Merujuk pada kesadaran penuh akan urgensi menciptakan regulasi baru yang lebih mengikat mengenai tindak pidana perzinaan ini, pemerintah telah merancang Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjadi KUHP baru dengan ketentuan pemberlakuan 3 (tiga) tahun setelahnya yaitu tahun 2026. Namun rupanya, ketentuan dalam KUHP baru terkait dengan tindak pidana perzinaan mengundang kontradiksi dalam perspektif masyarakat karena adanya cacat formil dan permasalahan materiil.

Secara formil dinilai memiliki kecacatan karena tidak mengandung asas transparansi. Sementara itu, secara materiil, substansi kontradiksi hadir akibat perluasan makna perzinaan sehingga secara tidak langsung negara mengkonversi ranah privat individu menjadi ranah publik. Dari perspektif sosial, kebanyakan masyarakat juga berpikir hal yang sama bahwa definisi perzinaan dalam KUHP baru terlalu mendalami urusan pribadi masyarakat Indonesia dan dinilai terlalu mencampuri ranah privat individu manusia. 

Merujuk dari tindak pidana perzinaan yang diatur dalam KUHP lama terbatas pada pasangan yang terikat perkawinan dan membawa klausul suami dan istri, maka tentulah negara sekali lagi dihadapkan pada fakta dan kenyataan bahwasannya ikatan suci perkawinan yang mengikat kini tidak terlalu diindahkan karena kerap ditemukan peristiwa perselingkuhan pada pihak-pihak yang telah diikat perkawinan. Dengan ini, bertambah pula satu penyimpangan, bukan hanya penyimpangan pada asusila namun juga penyimpangan pada perkawinan yang berlindung di bawah nama agama. 

Penerapan Delik Aduan atas Perzinaan pada KUHP Lama

Perzinaan melibatkan ikatan perkawinan yang tidak hanya melibatkan hubungan antar individu, tetapi juga melibatkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antara kedua belah pihak, serta dengan lingkungan sekitar. Perzinaan melanggar hak asasi individu dan melanggar norma dan moral yang ada dalam masyarakat.

Tindakan zina atau perselingkuhan ini berdampak pada pelanggaran hak asasi individu, seperti hilangnya rasa aman, damai, dan kebahagiaan dalam kehidupan keluarga korban, terutama jika perselingkuhan dilakukan oleh pihak yang sudah menikah. Hal ini juga berdampak pada hak-hak anak yang terpengaruh jika salah satu orang tua melakukan perzinaan. Selain itu, keluarga pelaku juga mengalami rasa malu dan kehilangan martabat karena tindakan salah satu anggota keluarga yang mencoreng nama baik keluarga tersebut. 

Dalam segi karakteristiknya, Pasal 284 KUHP lama menyatakan bahwa perzinaan merupakan delik aduan. Meskipun pada pasal tersebut mengatur tentang perzinaan, pelaku tidak akan dihukum jika tidak ada pengaduan yang diajukan oleh suami atau istri yang merasa dirugikan. Ketentuan pidana mengenai perzinaan, sebagai kejahatan terhadap kesusilaan, sengaja ditetapkan oleh pembuat undang-undang dengan niat untuk melindungi masyarakat dari tindakan tersebut yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial dalam bidang seksual.

Namun, pada kenyataannya, klasifikasi perzinaan sebagai delik aduan dianggap sebagai kebijakan yang tidak tepat. Selain itu, jika perzinaan dianggap sebagai delik aduan, hal ini dapat memberikan kesempatan bagi seseorang, terutama suami, untuk melakukan perzinaan tanpa takut diadili. Ini dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar bagi istri yang seringkali berada dalam posisi yang lebih lemah daripada suami. Penggunaan perzinaan sebagai delik aduan juga dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran lain seperti prostitusi, perdagangan perempuan, aborsi, dan sebagainya (Pratama, M. R., 2022: 258).

Pasal 284 KUHP lama sudah tidak relevan lagi dengan perzinaan dalam masyarakat Indonesia. Tindakan perselingkuhan telah mencemarkan kesucian perkawinan, dan oleh karena itu, tidak bijaksana mengklasifikasikan perzinaan sebagai delik aduan dari sudut pandang kebijakan. Dengan demikian, tindakan tersebut tidak dapat dihukum menurut undang-undang dan tidak dianggap perzinaan dan pasal tersebut memberikan kebebasan bagi pria dan wanita yang belum menikah untuk terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan. 

Isu di Masyarakat dan Korelasi antara Perselingkuhan dengan Perzinaan pada KUHP Baru 

Lingkup penegakan yang tercakup dalam KUHP baru terkait perzinaan masih sangat kecil melihat banyaknya permasalahan yang dihadapi masyarakat, antara lain: 

  1. Terdapat implikasi terhadap pernikahan yang tidak tercatat atau diakui secara hukum
    Hal ini dapat menimbulkan kesulitan dan kerugian bagi individu dalam hal perlindungan hukum dan hak-hak terkait perkawinan. Selain itu, adanya fenomena sosial seperti ini pembatasannya sangat tipis dengan setiap orang yang melakukan ‘hidup bersama’ sebagai
    suami istri ‘di luar perkawinan’ seperti ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 412 ayat (1) KUHP baru. Oleh karena itu, pada hakekatnya eksistensi pasal ini dapat menjadi salah satu langkah antisipasi dari negara untuk meminimalisasi masalah tersebut.
  2. Terdapat rasa keengganan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual
    Pasal 414 ayat (1) poin b KUHP baru yang menyebutkan bahwa orang yang melakukan perbuatan cabul tanpa persetujuan dari para pihak secara paksa. Implementasinya adalah terhadap ketentuan pasal ini, korban kekerasan seksual seringkali enggan melaporkan kasusnya karena takut dituduh melakukan seks pranikah berdasarkan pasal tersebut. Ketakutan ini menjadi penghalang untuk mencari keadilan dan dapat berdampak serius bagi para korban.

Secara keseluruhan, pernyataan di atas menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konsekuensi dan isu terkait kriminalisasi perzinaan ataupun pencabulan dalam konteks hukum di Indonesia. Tindak pidana perzinaan sekarang telah mengalami perluasan karena mencakup tindakan setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, serta persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya sebagai keluarga batihnya.

Meskipun urgensi regulasi mengenai tindak pidana perzinaan secara menyeluruh perlu dibuat dan diselenggarakan, adanya perluasan istilah perzinaan kembali menimbulkan isu dan kontradiksi di mata masyarakat. Beberapa pihak menganggap perluasan ini terlalu mencampuri ranah pribadi individu yang dilakukan secara suka sama suka, sementara pihak lain berpendapat bahwa ketentuan ini perlu ditegakkan karena perbuatan seperti ini menyimpang dari adat dan budaya masyarakat. 

Berdasarkan Pasal 411 ayat (2) KUHP baru, ketentuan pihak-pihak yang berhak melakukan pengaduan juga diperluas yakni suami atau istri bagi yang terikat perkawinan, dan orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan juga dapat mengajukan pengaduan.

Perluasan ini berimplikasi pada penegakan hukum, di mana semua orang yang terkait dengan para pihak kini dapat berpartisipasi aktif dalam melakukan pengaduan apabila sekiranya terdapat hal-hal yang demikian.

Dewasa ini, istilah perzinaan melalui optik yuridis KUHP baru erat dikaitkan dengan tindak pidana perselingkuhan yang marak terjadi, baik oleh pihak yang telah terikat perkawinan maupun pihak yang tidak terikat perkawinan. Perselingkuhan harus dilakukan dengan sengaja dan atas kesadaran para pihak.

Namun, dengan maraknya perselingkuhan saat ini, hal ini menunjukkan bahwa banyak orang menormalisasikan perilaku yang menyimpang. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur tindak pidana perselingkuhan perlu ada untuk mencegah implikasi negatif terhadap budaya dan perilaku masyarakat. 

Dengan demikian, pengesahan RUU KUHP terhadap tindak pidana perselingkuhan telah diperluas dengan alasan yang kuat. Meskipun terkesan mencampuri ranah pribadi individu, regulasi tentang perzinaan terutama perselingkuhan perlu diadakan dan diselenggarakan karena perilaku tersebut jauh menyimpang dari budaya dan jiwa bangsa Indonesia.

Aturan mengenai perzinaan dalam KUHP baru membuka kemungkinan bagi tindak pidana perselingkuhan untuk dilaporkan dan diproses sesuai optik hukum dengan melibatkan para pihak yang berhak mengadukan perkara tersebut. 

Baca Juga: Pasal Perzinaan Baru KUHP Tuai Pro Kontra hingga Dipertanyakan Urgensinya

Implikasi Pengesahan RUU KUHP terhadap Tindak Pidana perzinaan

Perzinaan tidak hanya merupakan masalah privat pada masyarakat Indonesia, tetapi dianggap sebagai masalah dan penyakit sosial serta agama yang berbahaya. Dampak negatif dari perzinaan tidak hanya menimpa para pelaku dan keluarganya, tetapi juga merusak tatanan moral masyarakat.

Dengan demikian, menempatkan perzinaan sebagai delik aduan absolut tidak bijaksana. (Arief, B. N., 2014: 28) Ketidakbijaksanaan ini diambil dari sudut pandang kebijakan atas kesucian perkawinan yang telah tercemar dan peluang akan kesempatan setiap orang untuk melakukan perzinaan dan mengancam korban. 

Sementara itu, mantan Komisioner Komnas HAM, Lies Sulistijowati Soegondo berpendapat bahwa justru melalui delik aduan terhadap masalah zina dalam perkawinan adalah upaya untuk tidak serta merta menghukum dalam bentuk pidana, tetapi semata-mata terlebih dahulu mempertahankan atau mengupayakan harmonisnya keluarga yang bersangkutan karena negara menyadari bahwa perkawinan adalah hak setiap individu tanpa intervensi dari luar.

Dari optik yuridis, sejatinya hal ini sudah tepat mengingat sifat hukum pidana yang ultimum remedium atau sebagai obat terakhir serta mengingat bahwa masalah perzinaan dan perselingkuhan termasuk dalam lingkup ranah pribadi individu. 

Pada KUHP baru yang disahkan pada awal tahun 2023, Tindak Pidana Perzinaan diatur dalam bagian keempat dalam Bab XV mengenai Tindak Pidana Kesusilaan dari Pasal 411-413 yang berisi mengenai perluasan ketentuan perzinaan.

Pasal 411 mengatur mengenai ketentuan persetubuhan yang dilakukan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, Pasal 412 mengatur mengenai ketentuan bagi setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dan Pasal 413 mengatur mengenai ketentuan bagi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan anggota keluarga batihnya.

Namun, sekalipun terjadi perluasan makna perzinaan, penuntutan untuk pemidanaan hanya dapat dilakukan jika terdapat pengaduan oleh pihak-pihak seperti yang diatur dalam Pasal 411 dan 412 ayat (2) dengan catatan pengecualian seperti yang termaktub dalam ayat (3) dan (4). 

Adanya perluasan dan penyempurnaan terhadap batasan dan makna perzinaan dalam KUHP baru, maka ditinjau rumusan tersebut, esensi ketentuan perzinaan yang ada dapat dianggap bertujuan untuk mengkriminalisasi pelaku perselingkuhan dan bukan memberantas perilaku zina itu sendiri melainkan untuk meminimalisasi terjadinya perbuatan zina di masyarakat. 

Dalam KUHP baru, perzinaan dikenai sanksi pidana yang berbobot ringan, yakni pidana penjara paling lama satu tahun atau denda kategori II dengan jumlah maksimal Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Memberikan sanksi pidana yang ringan terhadap kejahatan yang dianggap sangat keji oleh masyarakat Indonesia dan merupakan penyakit sosial yang berbahaya, dapat menyebabkan ketidakrukunan dalam keluarga, serta menyebabkan dampak buruk lainnya (Bayu, dkk., 2020: 26). 

Adanya perluasan subjek yang berhak mengadukan atas delik aduan absolut pada delik perzinaan, dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan suatu pembaharuan hukum serta penyempurnaan dari KUHP lama yang sudah ada dan tetap dapat menjadi landasan hukum untuk meminimalisasi perilaku zina di Indonesia. Perbedaannya adalah subjek yang berhak mengadukan delik perzinaan diperluas, sehingga suami, istri, orang tua, atau anak yang dirugikan berhak mengadukan pelanggaran tersebut. 

Perselingkuhan tidak selalu dikehendaki oleh individu yang terlibat. Perselingkuhan juga dapat berujung kekerasan, dimana salah satu individu tidak menginginkan adanya hubungan perselingkuhan. Oleh karenanya, perselingkuhan baik yang dilakukan secara sengaja maupun perselingkuhan yang berujung kekerasan (perbuatan cabul) diharuskan adanya pembuktian niat (mens rea) dari para pihak.

Dengan demikian, implikasinya pada KUHP baru adalah sebagai bentuk penyesuaian regulasi terhadap variasi situasi perzinaan yang sebenarnya terjadi, sehingga yang dapat dilakukan pemeriksaan yang diproses dengan adanya laporan dari pihak yang berhak memberikan laporan (delik aduan). 

Dengan disahkannya KUHP terbaru, diperlukan suatu sosialisasi dan pemahaman lebih lanjut kepada masyarakat bahwa regulasi ini diciptakan bukan untuk membatasi ranah pribadi individu dalam bidang seksual, melainkan untuk memperluas kategori tindak pidana perzinaan guna meminimalisasi terjadinya tindak pidana perzinaan, terkhusus perselingkuhan yang saat ini marak terjadi.

Oleh karena itu, partisipasi aktif masyarakat sangat diharapkan, baik dalam berhati-hati dalam perilaku maupun dalam mengambil langkah berani untuk mengajukan pengaduan jika ada suami/istri/orang tua/anak terlibat dalam kasus perzinaan. 

Kesimpulan 

Tindak pidana perzinaan yang pernah dibahas dalam KUHP sebelumnya dalam Pasal 284 KUHP masih terkesan sempit dan hanya sebatas persetubuhan yang dilakukan oleh pihak suami/istri yang terikat perkawinan. Sementara itu, realita di masyarakat ada banyak penyimpangan atas nilai norma dan budaya dengan maraknya terjadi tindak pidana perzinaan. Oleh karena itu, KUHP baru akhirnya memperluas ketentuan mengenai perzinaan untuk meminimalisasi perilaku zina di Indonesia. Namun sayangnya, hal ini justru menimbulkan kontradiksi dari masyarakat karena negara dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi individu.

Padahal, isu yang muncul dalam masyarakat terkait perzinaan dan perselingkuhan dalam KUHP baru terbilang cukup banyak. Pengesahan RUU KUHP terhadap perzinaan yang telah memperluas cakupan tindak pidana tersebut semestinya berimplikasi langsung pada penjagaan moral, budaya, dan perilaku masyarakat. Namun sayangnya, dalam KUHP terbaru hanya dikenai sanksi pidana yang ringan padahal hal ini menjadi masalah besar untuk aspek sosial dan agama. 

Oleh karena itu, regulasi mengenai perzinaan dalam KUHP baru terkhusus mengenai aspek perselingkuhan memang perlu diperluas dan diselenggarakan sebagaimana mestinya demi menjamin dan menjaga moral dan keamanan masyarakat. Sehingga, diharapkan dengan perluasan regulasi tersebut, nantinya ada kewaspadaan dari pelaku yang berniat melakukan tindak pidana perselingkuhan dan juga diharapkan adanya partisipasi aktif dari masyarakat demi penegakkan hukum atas kejahatan asusila tersebut. 

Saran 

Perluasan ketentuan terkait perzinaan perlu dievaluasi secara periodik oleh pembuat undang-undang untuk memastikan ketentuan tersebut mencakup aspek dan masalah yang relevan dengan situasi yang ada dalam masyarakat. Meskipun sanksi yang diberikan terhadap perzinaan terkesan ‘ringan’ dalam konteks moral dan budaya, sanksi tersebut dianggap tepat jika dibandingkan dengan hak privasi individu, tujuan sanksi pidana perzinaan untuk mengurangi masalah zina, dan sifat hukum pidana sebagai solusi terakhir dalam penyelesaian perkara. Jika terdapat keinginan untuk memperberat sanksi, maka perlu dilakukan peninjauan dan evaluasi oleh pembuat undang-undang dengan mempertimbangkan kondisi dalam masyarakat. 

Diperlukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mengenai pandangan dan kontradiksi yang ada, serta untuk memperkuat penjagaan nilai-nilai moral dan etika dalam hubungan perkawinan dan kehidupan bermasyarakat. Penegakan hukum terkait perzinaan perlu didukung oleh partisipasi aktif masyarakat dalam melaporkan pihak-pihak terkait yang dirugikan. Selain itu, perlindungan korban perzinaan perlu diperkuat sebagai fokus utama guna meminimalisasi masalah perzinaan tersebut.

Daftar Pustaka 

Perundang – Undangan 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana 

Buku 

Arief, B. N. (2017) Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru (Edisi Kedua ed.). PT Fajar 

Interpratama Mandiri. 

Sulaeman, Eman. (2008) Delik Perzinaan dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Semarang: Walisongo Press. 

Jurnal 

Alfatdi, A. R. (2022) “Menelisik Lebih Dalam Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP Melalui Berbagai Pandangan.” Jurnal Studia Legalia : Jurnal Ilmu Hukum, 3(1)

Bramantyo, B., Aryaputra, M. I., & Triwati, A. (2020) “FORMULASI DELIK ZINA DALAM RANCANGAN KUHP.” Semarang Law Review (SLR), 1(1). Eko Sugiyanto, Pujiyono, & Wisaksono, B. (2016) “Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perzinaan.” Diponegoro Law Journal, 5(3)

Pratama, M. R. (2022) “Perluasan Makna Zina dalam Pasal 417 Rancangan KUHP Indonesia.”Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum, 2(2). 

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Sabina Rezqita Dwi Cahya dan Charisa Dwi Santika, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Artikel ini merupakan opini penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

AZ

Dipromosikan