[ALSA Indonesia] Revisi UU Partai Politik dalam Upaya Memberantas Korupsi Politik 

Gedung KPK (Ilustrasi). Sumber Foto: https://elhkpn.kpk.go.id/

Artikel berupa legal opinion (LO) ini ditulis oleh Fahmi Ramadhan Firdaus, Nindea Hana Resti dan Indra Wahyu Maulana dari ALSA Local Chapter Universitas Jember. Publikasi artikel pada rubrik “KLIKALSA” sebagai wujud kerja sama KlikLegal dengan National Board ALSA Indonesia (Periode 2017-2018).

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

A. Pendahuluan

Di Indonesia, partai politik merupakan aktor penting dalam menjalankan negara. Konstitusi secara tertulis menyebutkan bahwa partai politik sebagai satu-satunya institusi yang bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta calon anggota DPR dan DPRD. Artinya, partai politiklah yang mengendalikan kebijakan negara melalui jabatan-jabatan publik strategis yang diisi oleh anggota partai politik. Dengan posisi yang strategis ini seharusnya juga diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai bagi partai politik. Pasalnya, dalam negara yang menganut sistem demokrasi, setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Pertanggungjawaban partai politik didasarkan pada 2 (dua) prinsip; pertama, partai politik sebagai badan publik, sebab menjalankan fungsi yang berhubungan dengan kepentingan publik. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik secara jelas menyebutkan fungsi partai sebagai berikut:

Partai politik berfungsi sebagai sarana: 

a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Secara yuridis, fungsi ini oleh undang-undang harus memiliki mekanisme untuk menguji bagaimana fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh partai politik. Akuntabilitas politik yang lebih substansial perlu didesain sebaik mungkin agar fungsi yang diberikan kepada partai politik tidak disalahgunakan atau minimal dijalankan sebagaimana mestinya. Ini penting agar partai politik tidak hanya melakukan aktivitas politik yang terkait fungsinya pada saat mendekati penyelenggaraan pemilihan umum saja, padahal fungsi partai politik tidak hanya dalam hal kontestasi pemilihan pejabat publik.

Kedua, pembiayaan partai politik sebagian berasal dari negara. Sebagai institusi yang menjalankan fungsi-fungsi publik, pembiayaan negara terhadap partai politik adalah sebuah kewajiban. Konsekuensi pembiayaan ini adalah bagian dari kewajiban yang harus dibebankan kepada negara sebab terkait erat dengan keberlangsungan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Konstitusi sebagai hukum dasar dalam bernegara telah menempatkan partai politik sebagai organ penting yang menyokong berjalannya sistem demokrasi, khususnya yang terkait dengan pengisian jabatan-jabatan publik tertentu. Oleh karena itu, negara juga harus memastikan keberlangsungan partai politik, salah satunya melalui pembiayaan yang bersumber dari keuangan negara (APBN/APBD). Kehadiran negara (pemerintah) ini sebetulnya tidak hanya dalam konteks pembiayaan, ada beberapa tahapan dimana negara/pemerintah berperan mulai dari pendirian, pengawasan, hingga pembubaran partai politik.

Peran partai politik yang begitu penting ini faktanya tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang baik. Akibatnya partai politik justru menjadi out of the track, sehingga banyak kader partai politik justru menjadi terpidana kasus korupsi, baik mereka yang menduduki jabatan kepala daerah, anggota DPR/DPRD, hingga pimpinan partai politik. Menurut data KPK, untuk tahun 2015 saja anggota partai politik mendominasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dengan beragam jabatan politik, seperti anggota DPR, DPRD, dan kepala daerah.[i] Hal ini berbanding lurus dengan konteks global, dimana menurut survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis oleh Transparency International (TI) sejak tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2009, 2010/2011, dan 2013 selalu menempatkan partai politik dan parlemen dalam jajaran institusi yang paling korup (rentang skor 1 – 5, 1 berarti paling bersih dan 5 berarti sangat korup). Singkatnya, Undang-Undang tentang Partai Politik dirasa kurang mampu untuk memperbaiki kinerja partai politik.

B. Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
  4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

C. Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menujukkan realitas atas persoalan keuangan partai politik dalam tataran praktik dan regulasi yang saat ini berlaku. Selain itu, melalui tulisan ini pula, akan disampaikan rekomendasi perbaikan mengenai sumber keuangan partai yang perlu diakomodasi dalam revisi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

 D. Pembahasan

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri sempat merilis akan meningkatkan bantuan keuangan partai politik oleh negara. Wacana ini muncul dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang pernah mengusulkan agar bantuan keuangan partai dinaikan. Pemerintah saat itu akan meningkatkan bantuan keuangan menjadi Rp 1 triliun.[ii] Alasannya, bantuan keuangan negara dinilai terlalu kecil sehingga tidak mencukupi kebutuhan (belanja) partai politik dalam setiap tahunnya.

Wacana ini menuai kritik dari publik. Kritik itu terkait soal subjek penerima maupun kejelasan perencanaan terkait besaran bantuannya. Terkait subjek penerima, partai politik dinilai tidak layak untuk menerima bantuan negara apalagi peningkatannya dianggap terlalu besar.[iii] Ketidaklayakan ini terkait kinerja dan citra partai politik di mata publik.[iv]

Terkait soal citra partai memang tak terbantahkan, beberapa pengukuran (survey) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik rendah terhadap partai. Namun soal ini, tentu perlu menyandingkannya dengan peran dan fungsi partai yang begitu besar. Sulit untuk terus mengatakan partai berkinerja buruk tanpa memberikan jalan perbaikan, padahal praktik ketatanegaraan menunjukkan perannya yang begitu besar. Rekrutmen jabatan eksekutif dan legislatif, komisi-komisi negara strategis, membuat regulasi yang menentukan nasib rakyat dan banyak lainnya.

Atas kondisi itu, tidak mungkin untuk terus menyalahkan partai yang faktanya terus memproduksi kebijakan strategis. Jadi perlu jalan keluar, agar perbaikan partai politik berjalan, jika tidak justru akan menjadi hal buruk bagi sistem demokrasi yang akan datang. Akan tetapi, kebijakan menaikkan subsidi negara tanpa kejelasan arah dan tujuan justru akan menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, yang cukup menjadi pertanyaan dari wacana itu adalah soal kejelasan perencanaan soal besaran bantuan yang mana pemerintah tiba-tiba menyebut angka Rp 1 Triliun tanpa adanya perhitungan yang jelas.

Memang upaya menaikkan subsidi negara hadir karena minimnya subsidi negara yakni hanya Rp.108,- (seratus delapan rupiah) per suara yang diperoleh masing-masing partai dalam pemilu legislatif. Akibatnya, partai-partai pemenang pemilu seperti PDIP (2014), hanya akan menerima kurang lebih 2,5 Miliar yang diikuti oleh Partai Golkar (Rp 1,9 Miliar), Gerindra (Rp 1,5 Miliar), Demokrat (Rp 1,3Miliar), PKB (Rp 1,2 Miliar) dan lain sebagainya. Kondisi yang sama juga terjadi dalam Pemilu 2009, partai pemenang pemilu seperti Partai Demokrat hanya menerima Rp 2,3 Miliar yang diikuti partai PDIP (Rp 1,6 Miliar), dan Golkar (Rp 1,5 Miliar).

 

TABEL 1. SUBSIDI NEGARA BERDASARKAN HASIL PEMILU 2009 DAN 2014 

PartaiHasil Pemilu 2009Hasil Pemilu 2014
Suara SahBantuan APBN (Rp)Suara SahBantuan APBN (Rp)
Nasdem8,412,949.00908,598,492.00
PKB5,146,302.00555,800,616.0011,292,151.001,219,552,308.00
PKS8,204,946.00886,134,168.008,455,614.00913,206,312.00
PDIP15,031,497.001,623,401,676.0023,673,018.002,556,685,944.00
Golkar14,576,388.001,574,249,904.0018,424,715.001,989,869,220.00
Gerindra4,642,795.00501,421,860.0014,750,043.001,593,004,644.00
Demokrat21,655,295.002,338,771,860.0012,724,509.001,374,246,972.00
PAN6,273,462.00677,533,896.009,459,415.001,021,616,820.00
PPP5,544,332.00598,787,856.008,152,957.00880,519,356.00
Hanura3,925,620.00423,966,960.006,575,391.00710,142,228.00
Total85,000,637.009,180,068,796.00121,920,762.0013,167,442,296.00

 

Minimalisnya besaran subsidi di atas telah menunjukkan fakta perlunya menaikkan subsidi dari negara untuk partai politik. Namun upaya menaikkan subsidi negara mesti dilakukan dengan arah perbaikan yang jelas bagi pembangunan partai politik. Jangan sampai upaya menaikkan subsidi negara justru menjadi boomerang bagi partai. Oleh karena itu, perlu untuk mengelaborasi lebih lanjut terkait besaran belanja atau kebutuhan partai politik. Berapakah kebutuhan partai politik dalam setiap tahunnya sehingga bisa dikatakan angka bantuan negara minim atau tidak dalam arti sesuai dengan kebutuhan.

Elaborasi terhadap belanja partai mestinya menjadi penting sebelum memberikan rekomendasi besaran kebutuhan partai. Perlu informasi pembanding untuk merasionalisasi kebijakan yang akan diambil ke depannya. Rasionalisasi terhadap kebijakan perlunya bantuan negara untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan penerimaan partai politik setiap tahunnya. Jika kebutuhan partai politik dirasa sangat besar maka bantuan negara bisa mengambil peran untuk menyeimbangkannya.

Tujuannya tidak lain menjadikan partai lebih demokratis dan organisasi partai akan lebih tertata. Tujuannya, partai politik tidak lagi didominasi oleh elit. Ada kedaulatan bagi anggota partai untuk terlibat secara aktif dalam menggerakkan roda partai serta pengambilan keputusan-keputusan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat. Mengingat pendanaan ini erat kaitannya dengan kekuasaan di dalam partai dalam pengambilan kebijakan penting.

Berdasarkan hal itu, penelitian ini hendak memotret bagaimana pengaturan dan pelaksanaan kebijakan tentang belanja dan pengelolaan keuangan partai politik. Menjawab pertanyaan itu, langkah pertama yang hendak dilakukan adalah mengidentifikasi bentuk-bentuk kebutuhan partai dalam setiap tahunnya. Kebutuhan partai dimaksud merupakan kebutuhan dalam menggerakkan partai politik di luar kegiatan electoral, yakni pemilu legislatif dan eksekutif baik tingkat pusat maupun daerah. Langkah ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan partai politik apa saja yang perlu dibantu oleh negara dan mana yang mestinya menjadi tanggung jawab organisasi.

Namun disadari bahwa pendekatan normatif tidak akan mampu memotret secara utuh persoalan pengaturan dan pelaksanaannya. Oleh karena itu, akan dilakukan review terhadap kajian-kajian sebelumnya tentang bentuk bentuk kebutuhan partai dan mekanisme pengelolaannya. Kajian-kajian ini cukup tersebar di banyak penelitian yang akan digunakan untuk memperdalam kajian. Hasil diskusi terbatas dengan pemangku kepentingan baik pengurus partai, pengambil kebijakan hingga masyarakat sipil akan melengkapi kebutuhan memotret secara utuh objek kajian.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi partai politik terutama masalah keuangan, akan dihasilkan rekomendasi terhadap kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah ke depan. Kebijakan ini bisa melalui perbaikan undang-undang partai politik atau lainnya, peraturan pemerintah, peraturan kementerian bahkan rekomendasi untuk pengaturan dalam konstitusi partai politik (anggaran dasar dan rumah tangga partai).

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

  1. Perlu adanya perubahan paradigma dalam penyusunan UU Partai Politik terkait kedudukan partai politik. Mengingat fungsinya serta pendanaannya, partai politik mesti diposisikan sebagai institusi publik.
  2. Konsekuensi dari kedudukan partai sebagai institusi publik, mekanisme pengaturan pendanaan khususnya pengelolaan keuangan partai dari non subsidi negara diatur dalam undang-undang. Pengaturan dalam undang-undang terkait prinsip-prinsip pengelolaan keuangan partai seperti mekanisme pengelolaan keuangan dari subsidi negara. Sedangkan mekanisme turunan bisa diatur secara beragam dalam AD/ART atau peraturan partai.
  3. Mekanisme pendanaan dari subsidi negara perlu dilakukan perombakan. Subsidi negara bisa diberikan secara proporsional dan secara sama (flat/ fix) untuk seluruh partai.
  4. Mekanisme pembelanjaan partai dari subsidi secara proporsional diperuntukkan pembiayaan pendidikan politik secara keseluruhan. Sedangkan subsidi secara sama diberikan untuk memenuhi operasional kantor dan pendanaan rutin.

 

DAFTAR PUSTAKA

Veri Junaidi dkk, Anomali Keuangan Partai Politik. Jakarta: Perludem 2012

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/1227403/Mendagri.Dana.Rp.1.Triliun.akan.Dibagi.Sesuai.Perolehan.Suara.Parpol

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/09/18222701/Formulasi.Anggaran.Rp.1.Triliun.untuk.Parpol.Belum.Jelas

http://www.sinarharapan.co/news/read/150316072/parpol-tak-layak-terima-dana-rp-1-triliun-b-b-

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

Riset Pendanaan Partai Politik, ICW, 2013.

________________________________________________________________________

Catatan Akhir

[i] http://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/3369-laporan-tahunan-kpk-2015

[ii]http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/1227403/Mendagri.Dana.Rp.1.Triliun.akan.Dibagi.Sesuai.Perolehan.Suara.Parpol

[iii]http://nasional.kompas.com/read/2015/03/09/18222701/Formulasi.Anggaran.Rp.1.Triliun.untuk.Parpol.Belum.Jelas

[iv]http://www.sinarharapan.co/news/read/150316072/parpol-tak-layak-terima-dana-rp-1-triliun-b-b-

Dipromosikan