KUHP Baru Muat Pasal Pidana Korporasi, Simak Ketentuannya!

KUHP Baru Muat Pasal Pidana Korporasi, Simak Ketentuannya!

KUHP Baru Muat Pasal Pidana Korporasi, Simak Ketentuannya!

“Disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi undang-undang, mengakibatkan adanya pengaturan baru terkait pemidanaan korporasi.”

Dilansir bplawyers.co.id (11/07/2017), yang dimaksud sebagai tindak pidana korporasi (TPK) adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, di dalam maupun di luar lingkungan korporasi.

Hukum Indonesia pertama kali mengenal TPK pada tahun 2014 berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi (Perja No. 28 Th 2014).

Akhir Tahun 2016, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma No. 13 Th 2016). Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) peraturan tersebut, yang menjadi subjek hukum TPK adalah korporasi, pengurus (pemegang saham), atau pihak lain.

Seiring perkembangannya, regulasi hukum pidana khususnya yang mengatur tentang TPK termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Di dalamnya, diatur beragam regulasi yang memiliki asosiasi dengan TPK, misalnya lingkup TPK, bentuk pemidanaan, dan tindakan terhadap korporasi.

Dengan diaturnya TPK dalam KUHP Baru, guna mengetahui lebih lanjut perihal pengaturannya, Pahrur Dalimunthe selaku Managing Partner DNT Lawyers dalam Webinar Friday I’m In Law Series yang berjudul “Seluk Beluk Tindak Pidana Korporasi dalam KUHP Baru” menjelaskan lebih rinci terkait pengaturan TPK dalam KUHP Baru.

Sebagai pembuka, ia memaparkan perihal perkembangan dan sejarah singkat pemidanaan korporasi di Indonesia. Selain diterbitkannya Perja No. 28 Th 2014 dan Perma No. 13 Th 2016 sebagai regulasi TPK pertama di Indonesia, setidaknya terdapat 7 (tujuh) perundangan yang diundangkan mulai dari tahun 2019 sampai dengan tahun 2022 yang memuat sanksi pidana dan memungkinkan untuk memidanakan korporasi. Salah satunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

TPK Berdasarkan KUHP Baru

Managing Partner pada DNT Lawyers tersebut memaparkan terkait apa yang dimaksud dengan tindak pidana oleh korporasi berdasarkan KUHP Baru. Pasal 46 KUHP Baru menjelaskan, bahwa TPK merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang memiliki kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

Baca Juga: Masa Transisi KUHP Baru, Pemerintah Rancang “Buku Pintar”

Pahrur mengartikan ketentuan tersebut (terkait kedudukan fungsional), sebagai seorang yang memiliki kewenangan, mengambil keputusan, dan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut. Termasuk yang berkedudukan sebagai orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana atau membantu suatu tindak pidana dalam korporasi.

Selain itu, perlu diketahui bahwa dalam KUHP Baru diatur pula ruang lingkup TPK berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 49. TPK dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi tetapi dapat mengendalikan korporasi. Adapun TPK yang dapat dipertanggungjawabkan apabila termasuk dalam lingkup usaha, menguntungkan korporasi secara melawan hukum, dan diterima sebagai kebijakan korporasi.

Lebih lanjut, Pahrur juga menjelaskan terkait jenis pemidanaan yang dapat menjerat korporasi dalam TPK. Terdapat 2 (dua) jenis pemidanaan terkait TPK dalam KUHP Baru, antara lain pidana denda dan pidana tambahan. Adapun bentuk konkret pidana denda dan pidana tambahan dimaksud, meliputi:

  1. Pidana denda, untuk korporasi dijatuhi paling sedikit Rp200 juta, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu dan dalam prosesnya, pidana denda dapat diangsur (berdasarkan putusan pengadilan). Apabila denda tidak dibayarkan (dalam jangka waktu tertentu), maka kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda (Pasal 121 dan 122); dan
  2. Pidana tambahan, antara lain berupa pembayaran ganti rugi, pemenuhan kewajiban adat, pembiayaan pelatihan kerja, perampasan barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pengumuman putusan pengadilan, pencabutan izin tertentu, pelarangan melakukan perbuatan tertentu, penutupan tempat usaha, pembekuan kegiatan usaha korporasi, dan pembubaran korporasi.

Apabila ditemukan suatu kondisi korporasi tidak melaksanakan pidana tambahan, maka kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa guna memenuhi pidana tambahan yang tidak dipenuhi.

Kemudian, sebagai penutup pembahasan mengenai TPK berdasarkan KUHP Baru, Pahrur menjelaskan terdapat beberapa tindakan terhadap korporasi yang mengalami TPK. Pasal 123 KUHP Baru mencantumkan beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh korporasi pelaku TPK, antara lain pengambilalihan korporasi, penempatan dibawah pengawasan, dan/atau penempatan korporasi di bawah pengampuan.

 

MIW

 

Dipromosikan