Kebijakan Biodiesel, Kurangi Konsumsi BBM Namun Memicu Banyak Masalah

Kebijakan Biodiesel, Kurangi Konsumsi BBM Namun Memicu Banyak Masalah

Kebijakan Biodiesel, Kurangi Konsumsi BBM Namun Memicu Banyak Masalah

Pemerintah semakin gencar menerapkan kebijakan biodiesel di Indonesia. Semula, target bauran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) dalam biodiesel sebesar 20% (B20) pada 2025. Kemudian target tersebut diperbaharui menjadi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 12 Tahun 2015 menjadi B30 yang telah diimplementasikan pada awal 2020 dan akan diberlakukan hingga 2025.

Program mandatori bahan bakar nabati (BBN) berupa biodiesel yang diperintahkan pemerintah terus berjalan. Hingga saat ini, campuran minyak kelapa sawit ke dalam solar mencapai 30% atau dikenal dengan B30. Pemerintah berharap bisa menerapkan B100 atau biodiesel 100%. Tujuannya, mengurangi konsumsi BBM terutama solar yang selama ini masih disubsidi dan tidak ramah lingkungan karena masuk energi kotor.

Namun di sisi lain konversi BBM ke BBN juga cukup menguras keuangan negara sejak tahun lalu, APBN harus menggelontorkan Rp2,87 triliun untuk menutupi selisih Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel dan HIP BBM solar yang sebelumnya dibayarkan dari pungutan ekspor kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

“Jadi ini salah satu isu besar dalam program biodiesel kita, bagaimana kemampuan untuk menutupi selisih itu yang sebelumnya hanya dari pungutan ekspor, sekarang sudah mulai merangsek masuk ke APBN,” kata Peneliti Institute of Development and Economics Finance (INDEF), Abra Tallatov dalam Ngopi Chapter 1: Dilema Kebijakan Biodiesel, Minggu (28/2/2021)

Menurut data Kementerian Keuangan sementara, subsidi yang diberikan untuk program biodiesel ke pengusaha sawit, termasuk produsen Fatty Acid Methyl Ester/FAME mencapai Rp9,82 triliun. Adapun kekurangan pembiayaan dari BPDPKS untuk program biodiesel tahun lalu mencapai Rp3,5 triliun. Untuk menutupinya, pemerintah harus mengeluarkan Rp2,87 triliun karena kontribusi dari pungutan ekspor kelapa sawit dengan kenaikan tarif USD 5 per ton hanya Rp760 miliar. Sebelumnya, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman memperkirakan subsidi biodiesel tahun ini masih akan tinggi seiring dengan naiknya harga minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) dunia. Sementara harga solar cenderung masih rendah.

Tidak hanya itu, menurut Arkian Suryadarma selaku Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, percepatan kebijakan biodiesel akan berdampak pada alokasi lahan. Di mana untuk memproduksi CPO yang banyak tentunya diperlukan lahan yang luas. 

“Dengan adanya tambahan kebutuhan untuk biodiesel akan adanya risiko kenaikan potensi deforestasi lebih besar untuk memenuhi kebutuhan CPO untuk produksi biodiesel,” katanya.

Jika dilihat dari defisit CPO jika menjalankan kebijakan  B30, maka pemerintah memerlukan penambahan lahan sebanyak 5,2 juta hektare. Sedangkan untuk kebijakan B50 dibutuhkan lahan seluas 9,2 juta hektar untuk produksi CPO.

Lebih lanjut Arkian menjelaskan, dilihat data dari Kementerian pertanian (Kementan), luas lahan perkebunan sawit Indonesia sekitar 16 juta hektare. Kemudian untuk mempercepat kebijakan biodiesel, maka akan menyebabkan ekspansi lahan yang luas.

“Kalau dilihat penambahannya 9 juta atau nanti D100 kebutuhan tanahnya akan menambah, maka konversi lahannya akan besar-besaran. Bukan hanya dari Kalimantan atau Sumatera yang sudah banyak perkebunan sawit, tetapi ini akan menggeser ke daerah-daerah baru seperti Papua,” ujarnya.

SA

Dipromosikan