Menaker Terbitkan Peraturan Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan Secara Online

Ada ancaman sanksi pidana berdasarkan UU No. 7 Tahun 1981.

Menaker M Hanif Dhakiri. Sumber Foto: http://pusdiklat.kemnaker.go.id/

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri baru saja menerbitkan peraturan mengenai tata cara pelaporan ketenagakerjaan di perusahaan secara online pada 6 November 2017 lalu.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (Permen No.18/2017) dalam Jaringan tersebut merupakan amanat dari Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut menyebut perlunya pengaturan tentang tata acara pelaporan wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.

Pelaporan ketenagakerjaan secara online dilakukan melalui situs resmi Kemenaker. “Wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan dilakukan melalui sistem daring yang disediakan oleh Kementerian dengan alamat http://wajiblapor.kemnaker.go.id,” demikian bunyi Pasal 3 Permen No.18 Tahun 2017.

Lebih lanjut, Pasal 5 Permen No.18 Tahun 2017 ini menyebutkan kewajiban pengusaha atau pengurus perusahaan melakukan pelaporan secara online pada dua kondisi. Pertama, setelah mendirikan, menjalankan kembali, atau memindahkan perusahaan. Kedua, sebelum memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan. Pelaporan dilakukan 30 hari setelah atau sebelum melakukan kegiatan tersebut. Selain itu, pengusaha atau pengurus juga wajib melakukan pelaporan secara berkala setiap satu tahun pada bulan Desember.

Menaker, dalam peraturannya, menegaskan bahwa pelaporan secara online tidak dipungut biaya sepeser pun. Selain itu, Menaker juga menegaskan bahwa pengusaha atau pengurus perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban lapor tersebut, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.

Berdasarkan UU No.7 Tahun 1981, sanksi yang disiapkan untuk pengusaha atau pengurus yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan tersebut tidak main-main. Pasal 10 ayat (1) UU No.7 Tahun 1981 menyebutkan bagi pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan pidana maksimal tiga bulan dan denda maksimal Rp 1 juta. Bila pelanggaran diulangi untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan yang terakhir, maka pelanggara hanya dijatuhkan pidana kurungan.

Selain itu, Pasal 11 UU No.7 Tahun 1981 menjelaskan bahwa apabila pelanggaran itu dilakukan oleh suatu persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu. Ketentuan ini juga berlaku terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum lain tersebut.

Lebih lanjut, sanksi juga tetap berlaku meski pengusaha atau pengurus perusahaan berada di luar negeri. Dalam kondisi tersebut, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap wakilnya yang ada di Indonesia.

(LY/ASH)

Dipromosikan