Arah UU Cipta Kerja Ke Depan, Apa Yang Harus Diperbaiki?

Arah UU Cipta Kerja Ke Depan, Apa Yang Harus Diperbaiki?
Image Source by radarbogor.id

Arah UU Cipta Kerja Ke Depan, Apa Yang Harus Diperbaiki?

“Salah satu agenda yang harus dicapai oleh revisi UU Cipta Kerja adalah terkait partisipasi publik dalam penyusunan peraturan dan kebijakan.”

Pasca “vonis” Inkonstitusional bersyarat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”), masih menjadi kebimbangan berbagai kalangan di negeri ini. Pasalnya, masih banyak yang masih diperjelas dan menerka-nerka terkait tindak lanjut terhadap poin-poin putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) terhadap UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja yang digadang bakal menjadi stimulus untuk meningkatkan peringkat Ease of Doing Business atau kemudahan berusaha bagi Indonesia, kini akibat putusan MK tersebut malah menyisakan sejumlah tanda tanya dan kebingungan bagi kalangan industri dalam membuat keputusan dalam bisnisnya.  

Menanggapi persoalan tersebut, Ikatan Alumni Universitas Airlangga Wilayah Jabodetabek dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, menyelenggarakan webinar “Buntut Putusan MK: Revisi UU Cipta Kerja, Dimulai dari mana?” pada hari Minggu, (5/12). 

Adapun pembicara yang hadir dalam dikursus ini adalah Affan Muhammad Andalan (Analis-HukumOnline),  E. Prajwalita Widiati, SH, LLM dan Dr Syaiful Aris, SH, MH, LLM (Pakar Hukum Tata Negara-Universitas Airlangga), Johanes April Chandra (Head of Legal Department PT Toyota Astra Motor).  

Turut hadir sebagai penanggap adalah Dr (Cand) Didik S Setyadi, SH, MH (Pengamat Sosial), Kukuh Pramono Budi, SH., MH (Ketua Advokat Alumni Airlangga), dan Dr (Cand) Arfan Faiz Muhlizi, SH, MH (Kadiv Pelayanan Hukum dan HAM, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi NTT), dan Bimo Prasetio (Founder SmartLegal) selaku moderator diskusi.

Dalam webinar ini, catatan penting yang menjadi pelajaran berharga sebagai pengingat akan pentingnya persyaratan formil selain hal-hal yang bersifat materiil dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Terutama dalam kaitannya dengan keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan dan kebijakan.

Prajwalita Widiati mengutarakan bahwa undang-undang haruslah merepresentasikan maksud dari pembuat undang-undang. Jika dibentuk sedemikian rumit, maka hal ini tentunya akan memberatkan masyarakat untuk mengerti. Terlebih, negara mensyaratkan bahwa setiap orang dianggap tahu hukum. “Apakah pemerintah akan memperhitungkan aksesibilitas itu dalam merevisi atau melakukan perbaikan secara formil UU Cipta Kerja.” tukas Widiati.

Di sisi lain, Johannes April menyampaikan perusahaan jadi perlu menyiapkan back up plan apabila 2 tahun lagi ternyata UU Cipta Kerja gagal disempurnakan. Perusahaan jadi harus punya 2 skenario apakah tetap mengikuti ketentuan saat ini dan mitigasi jika ternyata berubah dan perlu dilakukan penyesuaian. Akibatnya, industri jadi tidak fokus pada core bisnis perusahaan dan jadi sibuk pada penyesuaian akibat UU Cipta Kerja. Industri jelas butuh kepastian hukum. 

Sedangkan Syaiful Aris memberikan masukan agar dilakukan penyempurnaan regulasi penyusunan peraturan perundang-undangan untuk mengakomodir keberadaan omnibus law. Di samping itu, menjadi perlu untuk dilakukan legal audit untuk memperbaiki substansi UU Cipta Kerja serta menerapkan dan mengembangkan keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan dan kebijakan (meaningful participation).

“Jadi kalau menurut saya bahwa revisi putusan ini tidak cukup hanya dari aspek formil saja. Karena kalau aspek formil cukup dengan mengubah lampiran UU 12 (red: UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Tapi lebih dari itu, aspek substansi harus disentuh. Karena ini saya berkeyakinan akan menjadikan Indonesia akan jauh lebih baik dengan kualitas peraturan yang lebih memberikan kepastian dan kualitas demokrasi yang berpihak pada masyarakat.” tutup Aris. 

AN

Dipromosikan