Apakah Covid-19 Otomatis Menjadi Dasar Penerapan Force Majeure?

Apakah Covid-19 Otomatis Menjadi Dasar Penerapan Force Majeure?

“Force Majeure secara umum diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata yang intinya membebaskan debitur dari segala biaya, rugi dan bunga sepanjang debitur dapat membuktikan adanya keadaan memaksa (force majeure). Namun sulit untuk menggunakan Covid-19 untuk mengklaim force majeure tanpa adanya kebijakan pemerintah.

Sejak WHO menetapkan status pandemi dengan semakin merebaknya penyebaran Covid-19, segala aktivitas masyarakat pun kian terganggu. Tak terkecuali aktivitas korporasi baik nasional maupun global ikut menerima dampak yang sangat besar akibat merebaknya Covid-19.

Dalam lingkungan bisnis, kegagalan pemenuhan perjanjian alias wanprestasi tidak berlaku apabila orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada suatu halangan yang tak dapat dihindari, misalnya akibat adanya bencana alam. Lalu dengan adanya wabah Covid-19 ini, yang merupakan pandemik global, apakah serta merta dapat dijadikan alasan sebagai force majeure untuk tidak menjalankan perjanjian?

Ketentuan mengenai Force Majeure ini secara umum tertuang dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata yang dimana intinya membebaskan debitur dari segala biaya, rugi dan bunga sepanjang debitur dapat membuktikan adanya keadaan memaksa (force majeure). Prof. Subekti menjelaskan bahwa dahulu force majeure ini hanya dikenal oleh para ahli dalam arti yang absolute namun seiring perkembangannya dikenal pula dengan adanya istilah relatif.

Force Majeure absolut adalah suatu keadaan dimana sama sekali tidak mungkin (impossibility) perjanjian itu dapat dilaksanakan dan berakibat musnahnya barang yang dijanjikan. Oleh karenanya, secara otomatis kontrak tersebut akan berakhir.

Sedangkan Force Majeure  relatif adalah suatu keadaan dimana terjadi keadaan-keadaan tertentu yang menyulitkan debitur debitur untuk melaksanakan kontrak. Kalaupun dilaksanakan, maka debitur harus melakukan pengorbanan tertentu yang membuat kontrak tersebut menjadi tidak praktis lagi untuk dilaksanakan (impracticability). Konsekuensinya, pelaksanaan kontrak dapat ditunda sampai keadaan tersebut berakhir.

Dengan adanya keadaan pandemi inilah beberapa Corporate Lawyer dan  Law Firm memberikan pandangan serta sikapnya terkait Force Majeure dengan adanya Covid-19 ini.

Rahayu Ningsih Hoed, Senior Partner dari kantor hukum Makarim & Taira Law firm, berpendapat bahwa apakah pandemi Covid-19 termasuk sebagai suatu keadaan kahar tergantung dari definisi keadaan kahar (apabila ada) di dalam perjanjian.

Dalam keterangan tertulis kepada KlikLegal, dia menilai perjanjian di Indonesia memuat 2 (dua) jenis klausul keadaan kahar, yaitu:

  1. klausul yang tidak eksklusif; dimana dalam tipe klausa ini, keadaan yang dianggap sebagai keadaan kahar adalah tidak eksklusif, sehingga suatu pihak dapat mengklaim keadaan kahar sepanjang adanya kondisi-kondisi yang disetujui untuk berlakunya keadaan kahar; atau
  2. klausul yang eksklusif, dimana dalam tipe klausa ini, keadaan kahar terbatas pada keadaan-keadaan yang disebutkan di dalam perjanjian.

Perlu juga dicatat bahwa di Indonesia, tidak jarang ditemukan perjanjian yang hanya menghendaki keadaan kahar terjadi apabila pemerintah menyatakan kejadian tersebut sebagai keadaan kahar. Oleh karena itu, menurutnya terkait apakah pandemi Covid-19 bisa dianggap sebagai keadaan kahar, bergantung pada klausul keadaan kahar yang dimuat dalam perjanjian.

Berdasarkan ketentuan mengenai keadaan kahar, menurut Rahayu, pihak yang terdampak dapat mengklaim bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kejadian kahar, mengingat bahwa pihak yang terdampak dapat membuktikan bahwa kondisi-kondisi apakah keadaan kahar telah terpenuhi.

Mengambil contoh dari perjanjian konstruksi, dalam hal terjadinya keadaan kahar, Rahayu berpendapat sangat penting untuk melakukan pengecekan atas beberapa ketentuan yang relevan dengan keadaan kahar, misalnya (i) ketentuan keadaan kahar; (ii) perpanjangan waktu; (iii) pengakhiran; dan (iv) penyelesaian sengketa.

AKSET Law Firm dalam tulisannya yang disiarkan melalui Linkedin menyatakan wabah Covid-19 jelas tidak terduga. Tidak ada pihak yang mampu untuk memprediksi apakah (atau kapan) Covid-19 akan terjadi. Jadi, jika salah satu pihak dicegah melakukan kewajibannya berdasarkan perjanjian karena Covid-19, dan pihak tersebut tidak menyebabkan Covid-19, kemudian pihak tersebut bertindak dengan iktikad baik, maka pihak tersebut harus dapat mengklaim force majeure.

Oleh sebab itu pihak tersebut harus dibebaskan berdasarkan Pasal 1244 atau 1245 KUHPerdata. Lebih lanjut, jika pemerintah mengambil tindakan akibat Covid-19 (misalnya, setiap pelarangan atau pembatasan perjalanan) yang mencegah suatu pihak untuk melakukan kewajibannya berdasarkan suatu perjanjian, dan pihak tersebut tidak menimbulkan tindakan pemerintah, dan pihak tersebut bertindak dengan itikad baik, maka pihak tersebut dapat mengklaim dengan alasan force majeure.

Namun, jika suatu perjanjian secara tegas mengecualikan wabah virus atau pandemi atau tindakan pemerintah yang terkait dengannya, maka tidak ada pihak yang dapat mengklaim kejadian force majeure karena wabah Covid-19. Akibatnya, para pihak harus terus melakukan kewajibannya masing-masing berdasarkan perjanjian yang relevan.

Dalam Legal Brief tersebut AKSET juga memberi langkah-langkah yang harus diambil oleh suatu pihak sehubungan dengan wabah Covid-19 untuk mengklaim peristiwa force majeure dan mencari alasan untuk tidak berprestasi:

Pertama, Untuk membuat daftar perjanjian dengan suatu pihak dan untuk mengidentifikasi kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak tersebut di bawahnya dan batas waktu untuk kinerja tersebut;

Kedua, konsultasi dengan penasihat internal atau penasihat eksternal, untuk mengidentifikasi apakah ada klausul force majeure dalam perjanjian, dan untuk menentukan apakah ada batasan peristiwa force majeure;

Ketiga, Untuk segera memberitahu pihak lain atau pihak-pihak tentang ketidaksesuaian apa pun karena Covid-19 jika tidak ada batasan pada acara force majeure; dan

Keempat mengambil semua tindakan untuk mengurangi dan mengurangi kerugian pada pihak dan pihak lain.

Hal serupa juga disampaikan oleh Dewi Savitri Reni dan Syarifah Reihana Fakhry Associate dari SSEK Law Firm dalam ulasannya. Menurutnya sehubungan dengan COVID-19, kinerja perusahaan yang buruk masih dapat dimaafkan jika dapat berhasil membuktikan di pengadilan bahwa COVID-19 adalah peristiwa force majeure dan mampu membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat langsung antara pandemi dan tidak dipenuhinya kewajiban.

Menurutnya seseorang tentu saja berpendapat bahwa pandemi adalah peristiwa tak terduga yang tidak dapat diantisipasi maupun dihindari. Dan tentu saja dapat dianggap sebagai penghambat operasi bisnis di seluruh dunia. Meskipun demikian, mungkin sulit untuk menggunakan Covid-19 untuk mengklaim force majeure tanpa adanya kebijakan pemerintah, seperti pembatasan perjalanan atau penguncian yang telah menciptakan hambatan untuk operasi bisnis, karena akan sulit untuk menentukan pada titik mana tepatnya Covid-19 dapat dikategorikan sebagai acara force majeure.

Pihak yang mengklaim force majeure akan ingin menunjukkan bahwa setiap kegagalan untuk melakukan kewajiban kontraktualnya berada di luar kendali dan bahwa pihaknya tidak dapat mencegah atau mitigasi kerusakan dari kegagalan tersebut.

Dalam hal ini SSEK juga menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil perusahaan dalam situasi ini.

  • Meninjau semua kontrak bisnis dan mengidentifikasi peristiwa apa saja yang diatur sebagai force majeure, upaya hukum yang diberikan dalam hal force majeure, serta persyaratan untuk memohon force majeure jika operasi terganggu oleh efek Covid-19.
  • Masukkan kata-kata atau ketentuan tentang penyakit menular/pandemi dalam kontrak baru dan ubah kontrak yang ada jika memungkinkan.
  • Mengidentifikasi dan menilai konsekuensi dari tidak adanya kinerja semua kontrak yang valid.
  • Memastikan bahwa semua langkah yang wajar diambil untuk menghindari kinerja yang buruk atau untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh kinerja yang tidak baik.
  • Kumpulkan dan simpan semua dokumentasi yang berkaitan dengan dampak Covid-19 pada operasi dan langkah-langkah yang diambil oleh perusahaan dalam menanggapi dampak tersebut.
  • Terus terlibat dan berkomunikasi dengan pekerja mengenai pembaruan pandemi.
  • Buat kebijakan untuk masa yang akan datang (misalnya, kebijakan kerja dari rumah jika terjadi lockdown) dan berikan pelatihan yang memadai untuk pekerja dalam upaya untuk mencegah operasi bisnis terhambat.
  • Periksa pengaturan asuransi, termasuk apakah bisnis dilindungi dalam hal terjadi non-kinerja sebagai akibat dari pandemi.

Sedangkan Gerald Saratoga Sarayar Associate dari Kantor Hukum Fredrik J Pinakunary Law Office (FJP Law Office), Covid-19 ini dapat dikategorikan sebagai Bencana non alam. Pengertian Bencana non alam itu sendiri terdapat di Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 (UU Penanggulangan Bencana).

Dalam keterangannya, Gerald mengutip keterangan Ricardo Simanjuntak, yang mengatakan bahwa dalam kasus Covid-19 ini unsur Force Majeure telah terpenuhi, yaitu pertama, orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak terprediksi). Kedua, orang tidak memiliki contributory effect atas penyebaran wabah ini. Ketiga, wabah Covid-19 memang suatu halangan di mana orang tidak bisa mengesampingkannya.

Penjelasan dari Ricardo Simanjuntak ini menurut Gerald memberikan penegasan bahwa keadaan yang disebabkan oleh wabah Covid-19 ini memenuhi kriteria keadaan memaksa dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Apabila melihat dari unsur-unsur Force Majeure di atas, maka pantaslah Covid-19 dikategorikan sebagai Force Majeure.

Gerald juga berpendapat apabila terdapat pihak yang memiliki perikatan kontraktual yang tidak dapat melakukan perikatannya (prestasinya) dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena adanya Pandemi Covid-19 ini dan/atau karena kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 tentu saja hal tersebut termasuk dalam keadaan memaksa. Oleh karena itu, apabila sebuah pihak tidak dapat melaksanakan prestasinya tepat waktu atau terlambat karena adanya Covid-19 dan/atau kebijakan pemerintah, maka pihak tersebut dapat membela diri dengan alasan keadaan memaksa atau force majeur.

PNJ

Dipromosikan