Asas Kepastian Hukum Dalam Kontrak Konstruksi Indonesia

Asas Kepastian Hukum Dalam Kontrak Konstruksi Indonesia
Oleh: Sugiarto Raharjo Japar

Azas kepastian hukum dalam kontrak konstruksi dapat tercipta apabila para pihak dalam hubungan kontraktual memahami dengan benar beberapa hal yaitu :

  1. Prinsip-Prinsip Hukum Dalam Kontrak Konstruksi.
  2. Terminasi Kontrak Konstruksi.

Kontrak konstruksi dalam sistem hukum merupakan salah satu komponen/bagian dari Hukum Bangunan (Construction Law, Bouwrecht). Bangunan atau konstruksi di sini mempunyai arti yang luas yaitu segala benda yang didirikan di atas tanah. Maka yang dimaksud dengan hukum bangunan/konstruksi adalah seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang bertalian dengan bangunan, meliputi pendirian, perawatan, pembongkaran, penyerahan, baik yang bersifat perdata maupun publik/administratif. Sedangkan bangunan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247 (disingkat UU No. 28/2002) disebutkan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah/air yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannnya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.

Istilah Construction Law telah lazim dipergunakan di dalam kepustakaan Anglo Saxon, sedangkan Bouwrecht telah lazim dipergunakan dalam kepustakaan Hukum Belanda. Dilihat dari segi materi yang diatur oleh Construction Law dan Bouwrecht,  banyak  persamaan  yang   ditemukan   sehingga   penggunaan   istilah ”Hukum Bangunan” di Indonesia dapat dipertanggungjawabkan. [1]  Menurut John Uff, istilah ”Construction Law” pada saat ini merupakan suatu pengertian yang bersifat universal yang mencakup keseluruhan lapangan hukum terutama yang bergerak di bidang konstruksi industri dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum di dalam pelaksanaannya. (….the term Construction Lawis now universally to cover the whole field of law which directly affects the construction industry and legal instruments through which it operates.) [2]

Kontrak Kerja Konstruksi (untuk selanjutnya disingkat kontrak konstruksi) meliputi tiga bidang pekerjaan, yaitu kontrak konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, kontrak konstruksi untuk pekerjaan pelaksanaan dan kontrak konstruksi untuk pekerjaan pengawasan. Pada prinsipnya, pelaksanaan masing- masing jenis pekerjaan ini dilakukan oleh penyedia jasa secara terpisah dalam suatu pekerjaan konstruksi. Tujuannya adalah untuk menghindari adanya konflik kepentingan. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya perangkapan fungsi, misalnya pelaksana konstruksi merangkap juga konsultan pengawas atau konsultan perencana merangkap juga pengawas. Hal ini telah di atur dalam pasal 1 UU Jasa Konstruksi yang pada angka 8, 9, dan 10 disebutkan bahwa: perencanaan konstruksi adalah penyedia jasa orang perorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain.

Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perorangan atau badan usaha yang dinyatakan telah memiliki keahlian di bidang pelaksanaan jasa konstruksi dan pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perorangan atau badan usaha yang dinyatakan telah memiliki keahlian di bidang pengawasan sejak awal pekerjaan sampai selesai dan pekerjaan telah diserahterimakan. Pengecualian terhadap prinsip ini dimungkinkan untuk pekerjaan yang bersifat kompleks, memerlukan teknologi canggih serta mengandung resiko besar, seperti pembangunan kilang minyak, pembangkit tenaga listrik dan reaktor nuklir.

Ruang lingkup atau cakupan layanan pekerjaan jasa konstruksi meliputi tiga bidang pekerjaan yakni perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi. Cakupan ketiga bidang pekerjaan konstruksi ini menunjukkan adanya koherensi atau kesesuaian dengan UU Jasa Konstruksi sebagai produk hukum yang lebih tinggi yang menyangkut bidang konstruksi.

Aturan yang terdapat didalam UU Jasa Konstruksi berlaku juga bagi semua variant kontrak konstruksi. Kontrak dalam rangka pengadaan jasa konstruksi harus pula mentaati aturan dalam UU Jasa Konstruksi di samping ketentuan dalam Perpres No.70/2012. Termasuk di antaranya yang perlu dicermati adalah menyangkut syarat dan ketentuan yang harus di atur dalam kontrak konstruksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2) UU Jasa Konstruksi walaupun ketentuan dan syarat tersebut berfungsi hanya sebagai pedoman bagi para pihak.

Prinsip dan norma hukum mengandung makna dan fungsi untuk mewujudkan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang dapat menjamin kesetaraan kedudukan para pihak dan juga dapat memenuhi ketentuan tentang tata lingkungan setempat yang berlandaskan nilai-nilai yang telah hidup dan telah berkembang didalam kehidupan masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [3]

Keabsahan kontrak merupakan hal yang sangat esensial dalam hukum kontrak. Pelaksanaan isi kontrak, yakni pemenuhan dalam hal hak dan kewajiban, hanya dapat dituntut oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, apabila kontrak yang dibuat itu sah menurut hukum. Dengan demikian keabsahan kontrak sangat menentukan pelaksanaan kontrak. Kontrak yang sah tidak boleh diubah atau dibatalkan secara sepihak. Kesepakatan yang tertuang dalam kontrak karenanya menjadi aturan yang dominan bagi para pihak. Dalam kaitannya dengan kontrak konstruksi selain keabsahan kontrak  konstruksi,  prinsip-prinsip hukum dalam kontrak konstruksi dan terminasi kontrak konstruksi merupakan isu hukum yang sangat penting.

Prinsip-prinsip yuridis tentang suatu kontrak konstruksi yang terdapat di dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut: [4]

Prinsip Antara Tanggung Jawab Para Pihak Dengan Kesalahan dan Penyediaan Bahan Bangunan

Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab masing-masing pihak disangkutkan dengan (a) kesalahan para pihak (b) pihak mana yang menyediakan bahan bangunan. Dalam hal ini KUH Perdata menentukan bahwa di dalam suatu kontrak pemborongan, jika pihak pemborong yang harus menyediakan bahan bangunannya, maka jika sebelum diserahkan, pekerjaan musnah dalam keadaan bagaimanapun, maka setiap kerugian yang muncul merupakan tanggung jawab pihak pemborong, kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak bouwheer telah melakukan kesalahan berupa adanya kelalaian untuk menerima pekerjaan tersebut. Sebaliknya, apabila bahan bangunan disediakan oleh pihak bouwheer sementara pihak pemborong hanya berkewajiban:

  1. Bouwheer telah melakukan kesalahan yaitu lalai dalam

                       memeriksa dan menyetujui pekerjaannya;

  1. Musnahnya pekerjaan tersebut akibat dari cacat dari bahan yang

bersangkutan.

Prinsip Ketegasan Tanggung Jawab Pemborong Jika Bangunan Musnah Karena Cacat Dalam Penyusunan Atau Faktor Tidak Ditopang Oleh Kesanggupan Tanah

Terhadap suatu pembangunan gedung antara pihak pemborong dan juga ahli bangunan harus bertanggung jawab secara hukum atas pekerjaan yang dibuatnya, jika kemudian bangunan musnah baik keseluruhan atau sebagian berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Yang diborongkan untuk suatu harga tertentu;
  2. Pekerjaan diborongkan untuk suatu harga tertentu;
  3. Tanggung jawab pihak pemborong dan juga ahli bangunan

sampai dengan jangka waktu 10 tahun;

  1. Musnahnya barang tersebut disebabkan karena:
  2. Cacat dalam penyusunan;

2.Tanah tidak sanggup menahan gedung tersebut.

Prinsip Larangan Perubahan Harga Kontrak

Prinsip larangan perubahan harga kontrak adalah bahwa pihak pemborong tidak boleh mengubah kontrak secara sepihak dengan menaikkan harga borongan, dengan alasan telah terjadi:

  1. Telah terjadi kenaikan upah buruh;
  2. Telah terjadi kenaikan harga bahan-bahan bangunan;
  3. Telah terjadi perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan

yang tidak termasuk dalam rencana tersebut.

Prinsip Kebebasan Pemutusan Kontrak Secara Sepihak Oleh Pihak Bouwheer

Prinsip ini berasal dari pasal 1611 KUH Perdata. Prinsip ini menjelaskan bahwa pihak bouwheer dapat bebas menentukan kontrak di tengah jalan meskipun tidak disebutkan di dalam perjanjian walau tanpa kesalahan dari pihak pemborong, dengan catatan bahwa pihak bouwheer mengganti kerugian (biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang hilang) dari pekerjaan tersebut. Prinsip ini telah menyimpang dari prinsip hukum kontrak yang pada umumnya telah berlaku yang menjelaskan bahwa para pihak tidak dapat memutuskan kontrak di tengah jalan kecuali telah mendapat persetujuan oleh kedua belah pihak atau dengan keputusan pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata), kecuali ditentukan lain di dalam kontrak yang bersangkutan.

Bahwa oleh karena Pasal 1611 KUH Perdata hanya diberikan hak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak kepada bouwheer, hak mana tidak dapat diberikan kepada pihak pemborong, hal ini bisa dipahami dikarenakan bila suatu konstruksi terbengkalai maka pihak bouwherr yang kemungkinan besar menghadapi masalah. Misalnya: adanya kesulitan atau lamanya mencari pemborong pengganti. Untuk menghindari masalah tersebut, maka undang- undang tidak dapat memberikan hak pemutusan kontrak ini kepada pihak pemborong. Hal ini tidak memiliki kesesuaian lagi dikarenakan di saat memulai pekerjaan pihak kontraktor telah menyerahkan minimal 5% jaminan pelaksanaan dari nilai kontrak yang telah diterbitkan oleh pihak bank, dengan demikian apabila pihak pemborong tidak dapat melakukan pekerjaan maka jaminan pelaksanaan tersebut akan dicairkan dan perusahaan kontraktor masuk dalam daftar hitam selama 02 tahun.

Prinsip Kontrak Yang Melekat Dengan Pihak Pemborong

Umumnya hukum menentukan bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari suatu kontrak ikut menurun kepada ahli waris. Prinsip hukum seperti ini tidak dapat diberlakukan kepada kontrak-kontrak untuk mana kepada salah satu pihak yang didalam pemenuhan prestasinya diperlukan skill/kemampuan tertentu. Contoh: kontrak pemborongan yang memang memerlukan skill tertentu dari pihak pemborong.

Konsekuensi di dalam KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu kontrak pemborongan akan berakhir dengan meninggalnya pihak pemborong tersebut. Dengan demikian maka kewajiban dari pihak pemborong dapat diteruskan kepada ahli warisnya. Akan tetapi para ahli waris dari pihak pemborong tersebut tetap memiliki hak atas harga borongan terhadap pekerjaan yang telah dikerjakan oleh pihak pemborong sebanding dengan pekerjaan yang telah selesai dikerjakan oleh para ahli waris tersebut.

Prinsip Vicarious Liability

Vicarious liability (tanggung jawab pengganti) adalah suatu tanggung jawab dari atasan terhadap tindakan-tindakan melawan hukum yang telah dilakukan bawahannya kepada pihak ketiga pada saat menjalankan tugas yang telah dibebankan kepadanya dari atasannya. Prinsip tanggung jawab ini dianut dalam hukum tentang pemborongan dan konstruksi. Dalam pasal 1613 KUH Perdata menjelaskan bahwa pihak pemborong secara hukum harus bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan dari orang-orang yang dipekerjakan olehnya. Tidak ada informasi lebih lanjut yang menjelaskan keberlakuan prinsip vicarious liability ke dalam kontrak pemborongan. Akan tetapi, berdasarkan asas-asas hukum yang berlaku secara universal maka istilah “tindakan” orang lain tersebut harus ditafsirkan bahwa tindakan yang telah dilakukannya dalam rangka menjalankan tugas atau dijanjikan untuk dilakukannya. Selanjutnya penafsiran secara universal berkaitan dengan istilah “orang yang dipekerjakan” dalam prinsip ini adalah mereka yang bekerja tetapi tidak dalam arti “independent contractor”. Dengan demikian, maka dalam hubungan antara kontraktor dengan subkontraktor dalam kontrak konstruksi menempatkan tanggung jawab subkontraktor secara mandiri kepada pihak pemborong bukan bertanggung jawab kepada pihak pemilik kontraknya.

Prinsip Ekosistensi Hubungan Kontraktual

Prinsip ini berlaku sebagai bentuk konsekuensi dari adanya pasal 1613 KUH Perdata, dikarenakan dengan berlakunya prinsip vicarious liability, maka si pemborong juga memiliki tanggung jawab atas tindakan para pekerja terhadap pihak bouwheer (tidak hanya tindakan pihak pekerja kepada pihak ketiga seperti dijelaskan dalam vicarious liability). Oleh karena yang terikat secara kontrak dengan pihak bouwheer (yang menandatangani kontrak) adalah pihak pemborong sendiri, sehingga sudah sepantasnya jika pihak pemborong yang harus bertanggung jawab kepada pihak bouwheer.

Pihak bouwheer tidak memiliki hubungan kontraktual dengan para pekerja, sehingga antara pihak bouwheer dengan para pekerja tidak bisa saling menggugat dikarenakan tidak memiliki cause of action. [5] Selain pasal 1613 KUH Perdata terdapat pasal 1614 dan pasal 1615 KUH Perdata yang juga memberikan penjelasan terhadap berlakunya prinsip ini. Ketiga pasal tersebut menjelaskan bahwa para pekerja hanya memiliki hubungan hukum secara kontraktual dengan pihak pemborong bukan dengan pihak bouwheer, kecuali para pekerja tersebut bekerja atas tanggung jawab sendiri secara langsung kepada pihak bouwheer dan untuk suatu harga tertentu.

Prinsip Hak Retensi

Prinsip ini merupakan hukum yang berlaku secara universal dan juga diakui secara eksplisit dalam pasal 1616 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa ketika para pekerja menguasai sesuatu barang kepunyaan orang lain untuk membuat suatu pekerjaan atas barang tersebut, maka kepada para pekerja tersebut diberikan hak retensi. Dengan adanya hak retensi tersebut para pekerja disini memiliki hak untuk menahan barang tersebut meskipun barang tersebut milik orang lain dalam kekuasaannya selama biaya pembuatan atas pekerjaan barang tersebut belum dibayarkan secara lunas.

Perbedaan hak retensi dengan jaminan utang adalah pihak yang memiliki hak retensi tersebut hanya memiliki “menahan” barang yang bersangkutan, dalam arti mempertahankan barang tersebut agar tetap dalam kekuasaannya. Sehingga dalam hal ini pemegang hak retensi tidak memiliki hak untuk mengeksekusi (menjual, memiliki) barang tersebut.

Apabila hutang tersebut tidak dibayarkan maka si pemegang hak retensi dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dan meminta untuk dilakukan conservatoir beslag[6]. Dalam hal si pemegang hak retensi tersebut sebagai kreditur kongkruen maka penyitaan barang tersebut didasarkan pada pasal 1331 KUH Perdata. Beda halnya dengan yang berlaku di negara-negara Common Law dimana di negara tersebut berlaku teori Mechanics’lien. Teori tersebut menjelaskan bahwa pihak pekerja atau subkontraktor dapat menahan barang yang dibuatnya dan secara hukum walaupun tidak diperjanjikan barang tersebut dapat digunakan sebagai jaminan hutang atas biaya pembuatan barang tersebut dan barang tersebut dapat dieksekusi dengan melakukan lelang di muka umum.

Terminasi Kontrak Konstruksi

Ketentuan Dalam Kontrak Tentang Terminasi

Ada berbagai pengaturan tentang pemutusan kontrak yaitu sebagai berikut: [7]

  1. Penyebutan Alasan Pemutusan

Seringkali dalam kontrak diperinci alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutuskan kontrak. Maka dalam hal ini tidak semuanya wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan kontraknya, tetapi hanya wanprestasi seperti yang disebutkan dalam kontrak saja.

  1. Kontrak Dapat Diputus Dengan Persetujuan

Kadang-kadang disebutkan dalam kontrak bahwa suatu kontrak hanya dapat diputuskan jika disetujui oleh kedua belah pihak. Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hukum, kontrak dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak.

  1. Penyimpangan Pasal 1266 KUH Perdata

Sangat sering dalam kontrak disebutkan bahwa jika ingin memutuskan kontrak, para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tetapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Dengan ini, pasal 1266 KUH Perdata harus dengan tegas dikesampingkan berlakunya sebab, menurut pasal 1266 KUH Perdata tersebut setiap pemutusan kontrak harus dilakukan lewat pengadilan.

  1. Tata Cara Pemutusan Kontrak

Di samping pemutusan kontrak tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak tersebut. Sering ditentukan dalam kontrak bahwa sebelum diputuskan suatu kontrak, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang tidak memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini biasa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan kontrak tersebut. Penulisan kewajiban memberikan peringatan seperti ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh KUH Perdata yaitu ingebrekesteliling, yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur[8], dimana somasi dengan berbagai perkecualian pada prinsipnya memang diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak

Ketentuan Dalam Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata

Pada prinsipnya Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata tidak memperbolehkan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali memenuhi beberapa syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu agar suatu kontrak dapat dibatalkan adalah sebagai berikut:

  1. Kontrak tersebut haruslah dibuat secara sah. Sebab jika syarat sahnya kontrak tidak dipenuhi, batal atau pembatalan kontrak tersebut dapat dilakukan tetapi bukan lewat pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata.
  2. Dibatalkan berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan dalam undang-undang.
  3. Dibatalkan berdasarkan kesepakatan semua pihak kontrak yang bersangkutan.

Pengenyampingan Pasal 1266 KUH Perdata

Terdapat beberapa ketentuan dalam dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal ini Pasal 1266 KUH Perdata telah memberikan ruangbesar bagi intervensi pengadilan dalam hal pemutusan suatu kontrak. Dalam pasal 1266 KUH Perdata menjelaskan sebagai berikut: [9]

  1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan- persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
  2. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
  3. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhi kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
  4. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan tergugat, memberikan sesuatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Dengan demikian maka tidak mengherankan jika dalam prakteknya sering terdapat ketentuan dalam kontrak yang mengenyampingkan pemberlakukan pasal 1266 KUH Perdata, yang memiliki arti bahwa sebuah kontrak dapat dibatalkan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur tangan pengadilan) berdasarkan prinsip exeptio non adimpleti contractus, jika pihak lainnya telah melakukan wanprestasi.

Prinsip Perlindungan Pihak Yang Dirugikan

Salah satu prinsip yang paling mendasar dalam hukum kontrak adalah prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan dikarenakan adanya wanprestasi dari pihak lainnya dalam suatu kontrak. Berdasarkan prinsip perlindungan pihak yang dirugikan ini, maka bila terjadi wanprestasi terhadap suatu kontrak terhadap pihak lainnya diberikan berbagai prinsip perlindungan yang dapat dijabarkan sebagai berikut: [10]

  1. Exceptio Non Adimpleti Contractus[11]

Berdasarkan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus, maka pihak yang dirugikan dengan adanya suatu wanprestasi dapat tidak memenuhi prestasinya atau memenuhi prestasinya ketika lainnya telah melakukan wanprestasi.

Penerapan prinsip ini dapat dijabarkan sebagai berikut: [12]

a.1 Karena Exceptio ini adalah hasil dari saling ketergantungan kewajiban, hanya berlaku dalam konteks kontrak timbal balik.

a.2 Tidak ada ketentuan-ketentuan kontrak bertentangan menetapkan, misalnya bahwa pihak lawan Exceptio ini harus melaksanakan kewajiban sebelum rekan-kontraktor melakukannya seperti dalam penjualan secara kredit di mana pengiriman item yang dijual mendahului pembayaran penuh.

a.3  Penggugat tidak melaksanakan prestasinya berdasarkan kontrak, atau penggugat bisa menunda pemenuhan prestasinya sampai ada putusan dari pihak pengadilan.

a.4  Tidak ada itikad buruk  yang telah diperbolehkan oleh Tergugat (misalnya yang bertanggung jawab untuk kinerja non penggugat atau kewajiban non-kinerja tersebut adalah tanggung jawab penggugat sendiri).

a.5  Dalam hal kinerja tidak sempurna dan atau tidak lengkap, itu harus “substansial” dan “berat” sebagai dasar membenarkan pernyataan Tergugat.

a.6  Dalam hal memohon  Exceptio  tidak memerlukan pengesahan dari pengadilan ataupun memberikan pemberitahuan dari pengadilan kecuali di dalam kontrak ditentukan lain.

b. Penolakan Prestasi Selanjutnya Dari Salah Satu Pihak

Ketika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi misalnya mengirim barang yang rusak dalam suatu kontrak jual beli, dengan demikian pihak yang dirugikan berhak menolak pelaksanaan prestasinya sampai pihak yang melakukan wanprestasi tersebut memenuhi prestasinya.

  1. Menuntut Restitusi[13]

Terdapat kemungkinan ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi, pihak lainnya telah selesai melakukan prestasinya sesuai dengan apa yang diatur dalam kontrak. Dengan demikian, maka pihak yang telah selesai melakukan prestasinya tersebut dapat menuntut restitusi dari pihak lainnya berupa meminta pembayaran atas setiap prestasi yang telah selesai dilakukan. Hak untuk menuntut restitusi ini di dalam Hukum Jerman disebut dengan Rucktriit atau Ablenungder Leisting.

Prinsip Keseimbangan Berupa Perlindungan Pihak Yang Melakukan Wanprestasi

Terdapat kemungkinan bahwa salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi sebagian prestasi telah dilakukan atau terdapat beberapa alasan yang cukup untuk menunda pelaksanaan prestasi atau terdapat alasan-alasan lain yang dapat menyebabkan kepentingan pihak yang telah melakukan wanprestasi tetap dilindungi. Oleh karena itu dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yang dimaksud prinsip ini adalah keseimbangan kepentingan  antara pihak yang dirugikan dengan pihak yang melakukan wanprestasi. Seperti telah diuraikan di atas bahwa oleh hukum kontrak telah diperbolehkan untuk melakukan terminasi kontrak dengan berbagai konsekuensinya kepada pihak yang dirugikan akibat adanya tindakan wanprestasi, tetapi untuk pihak yang melakukan tindakan wanprestasi tersebut juga diberikan hak-hak atau perlindungan tertentu.

Perlindungan hukum kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut: [14]

  1. Mekanisme Tertentu Untuk Memutuskan Kontrak

Agar pemutusan kontrak tidak diterapkan secara sembarangan maka dibuatlah mekanisme dalam hal pemutusan kontrak tersebut. Mekanisme pemutusan kontrak tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Kewajiban melaksanakan Somasi (Pasal 1238 KUH Perdata).
  2. Kewajiban memutuskan kontrak timbal balik lewat pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata).
  3. Pembatasan Terhadap Pemutusan Kontrak

Hak untuk memutuskan kontrak oleh pihak yang telah dirugikan akibat wanprestasi, terdapat beberapa restriksi yuridis yang berlaku antara lain yaitu: [15]

  1. Wanprestasi harus serius.
  2. Hak untuk memutuskan kontrak belum dikesampingkan.
  3. Pemutusan kontrak tidak terlambat dilakukan.
  4. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan.

Maka agar pemenuhan hak ini dapat terwujud, akan dilakukan peninjauan secara satu per satu dari restriksi yuridis yang telah dijabarkan diatas.

  1. Wanprestasi Harus Serius

Pihak yang dirugikan harus dapat menunjukkan bahwa wanprestasi yang telah dilakukan adalah merupakan wanprestasi yang serius. Andaikata hanya terdapat wanprestasi yang tidak serius yaitu seperti: “jika salah satu pihak tidak melakukan suatu kewajiban kecil” maka pihak lainnya tidak memiliki hak untuk memutuskan kontrak tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan bagi pihak tersebut untuk meminta ganti rugi. Mekanisme untuk menentukan serius atau tidaknya suatu wanprestasi dalam suatu kontrak, dapat dijabarkan sebagai berikut:[16]

  1. Melihat ketentuan dalam kontrak apakah terdapat ketentuan yang memberikan penegasan kepada pelaksanaan suatu kewajiban dalam kontrak tesebut manakala kewajiban itu tidak dilaksanakan dianggap sebagai wanprestasi.
  2. Jika tidak terdapat ketentuan dalam kontrak, maka hakim yang menentukan apakah suatu kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut tergolong wanprestasi yang serius atau tidak serius terhadap kontrak yang bersangkutan.

2. Hak Untuk Memutuskan Kontrak Belum Dikesampingkan

Pada umumnya telah diterima dalam teori hukum kontrak yang menyatakan bahwa hak untuk melakukan pemutusan kontrak dikarenakan pihak lainnya telah melakukan wanprestasi dinyatakan tidak berlaku manakala pihak yang dirugikan tersebut telah mengesampingkan hak tersebut. Pengesampingan hak untuk memutuskan kontrak memiliki akibat hukum sebagai berikut: [17]

  1. Hilangnya Hak Untuk Memutuskan Kontrak

Satu kali pihak yang dirugikan karena tindakan wanprestasi yang dilakukan pihak lain telah mengesampingkan haknya untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, maka tidak dapat lagi mengubah pendirianya itu. Dengan demikian maka hak untuk memutuskan kontrak tersebut telah hilang dikarenakan telah dilepaskannya.

  1. Tidak Berpengaruh Terhadap Penerimaan Ganti Rugi

Bahwa dengan adanya pengesampingan hak untuk memutus kontrak maka pihak yang bersangkutan tersebut hanya kehilangan haknya untuk memutuskan kontrak, dikarenakan dalam ilmu hukum kontrak telah diterima prinsip yang menjelaskan bahwa pihak yang telah melepaskan haknya untuk memutuskan kontrak akibat adanya tindakan wanprestasi oleh pihak lainnya maka pihak tersebut tetap berhak untuk mendapatkan ganti rugi. Tetapi jika pihak tersebut memang dirugikan akibat adanya tindakan wanprestasi dari pihak lainnya.

Prinsipnya pengesampingan hak untuk memutuskan kontrak oleh pihak yang dirugikan akibat adanya tindakan wanprestasi dapat dilakukan dengan dua jalan yaitu: [18]

  1. Dilakukan Secara Tegas

Dalam hal ini pihak yang berhak memutuskan kontrak tersebut menyatakan dengan tegas bahwa dia telah mengesampingkan haknya untuk memutuskan kontrak.

  1. Dilakukan Dengan Tindakan

Akan tetapi yang lebih sering terjadi adalah bahwa pihak yang berhak memutuskan suatu kontrak tidak menyatakan pengenyampingan secara tegas, melainkan dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukannya. Misalnya dia masih bersedia bahkan menggunakan barang yang dikirimnya oleh pihak pembeli, sungguhpun barang tersebut tidak seperti yang diperjanjikan atau terlambat mengirimnya.

  1. Pemutusan Kontrak Tidak Terlambat Dilakukan

Pemutusan kontrak oleh pihak yang telah dirugikan akibat adanya tindakan wanprestasi dari pihak lainnya haruslah dilakukan pada waktu yang pantas (reasonable time). Ini dilakukan agar pihak yang melakukan wanprestasi dapat memperoleh kepastian dalam hal melanjutkan atau tidak melanjutkan pemenuhan prestasi yang belum dilakukannya. Misalkan dalam tenggang waktu yang wajar terhadap pemutusan kontrak tidak dipergunakan untuk memutuskan kontrak tersebut, maka pihak tersebut dapat dikatakan terlambat untuk memutuskan kontrak tersebut dengan dasar telah menerima tindakan wanprestasi yang telah dilakukan pihak lain sehingga pihak tersebut tidak dapat lagi memutuskan kontrak yang bersangkutan.

5. Wanprestasi Disertai Dengan Unsur Kesalahan

Dalam hukum Perancis elemen “kesalahan” dalam hal terminasi kontrak atau pemberian ganti rugi dapat terwujud ke dalam dua bentuk yaitu sebagai berikut: [19]

  1. Jika unsur “kesalahan” diperlakukan untuk memberikan ganti rugi, maka unsur “kesalahan” tersebut juga diperlukan untuk menggunakan hak-hak dari pihak yang dirugikan untuk dapat memutus kontrak.
  2. Pada prinsipnya pemutusan kontrak merupakan “diskresi” dari pengadilan. Karena itu dalam kewenangan diskresi tersebut. Pihak pengendalian akan mempertimbangkan bisa atau tidaknya suatu kontrak diputuskan, salah satu faktor yang dipertimbangkan adalah sejauh mana seriusnya kesalahan dari pihak yang melakukan wanprestasi.

Pada prinsipnya KUH Perdata tidak mengisyaratkan keberadaan unsur “kesalahan” sebagai unsur yang menyebabkan agar suatu kontrak dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan. Tetapi berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata yang memberikan campur tangan kepada pihak pengadilan untuk memutus kontrak berdasarkan faktor “kesalahan” dari pelaku wanprestasi agar dapat menentukan apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak. Berdasarkan sistem KUH Perdata, pada prinsipnya asalkan terdapat kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut tergolong kewajiban yang material (material breach) maka kontrak tersebut sudah dapat diputuskan dan dapat langsung disertai dengan permintaan ganti rugi.

Syarat Restorasi Dalam Terminasi Kontrak

Pihak yang menderita kerugian sebagai akibat dari wanprestasi pada prinsipnya dapat mumutuskan kontrak yang bersangkutan. Tetapi jika pemutusan tersebut dilakukan dengan tujuan agar pihak yang dirugikan mendapatkan pemenuhan kembali atas prestasinya maka pihak yang dirugikan tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan restorasi (restoration) yaitu kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sudah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi.

Bentuk-bentuk dari tindakan restorasi adalah sebagai berikut: [20]

a. Pengembalian Benda Secara Fisik

Jika pihak yang melakukan wanprestasi telah menyerahkan suatu benda kepada pihak yang dirugikan dalam rangka memenuhi kewajibannya berdasarkan kontrak. Tetapi pihak yang dirugikan tersebut ingin memutuskan kontraknya maka sebagai wujud tindakan restorasi tersebut, pihak yang dirugikan tersebut harus menyerahkan kembali benda tersebut “secara fisik” kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi.

b. Pembayaran Kompensasi

Andaikata benda tersebut tidak dapat dikembalikan secara fisik, dengan demikian untuk memutuskan kontrak tersebut pihak yang dirugikan harus memberikan kompensasi berupa sejumlah manfaat yang sudah diperoleh pihak yang dirugikan. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa keadaan sebagai berikut:

  1. Benda tersebut telah menyatu dengan benda dari pihak yang dirugikan.
  2. Prestasi yang telah dilakukan pihak yang melakukan wanprestasi berwujud benda yang tidak dapat dikembalikan misalnya berwujud jasa.

Akibat Dari Terminasi Kontrak

Suatu kontrak apabila telah diputuskan oleh karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, maka akan timbul akibat hukum yang dapat dijabarkan sebagai berikut: [21]

a. Timbulnya Kewajiban Untuk Melakukan Restorasi

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bagi pihak yang telah memutuskan kontrak dikarenakan pihak lainnya telah melakukan wanprestasi maka pihak tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan restorasi kepada pihak yang telah melakukan tindakan wanprestasi.

Misalkan pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan bisa mendapatkan kembali prestasi yang telah diberikan oleh pihak yang melakukan wanprestasi maka pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan restorasi yaitu dengan pengembalian manfaat dari prestasi yang telah dilakukan oleh pihak yang melakukan tindakan wanprestasi.

  1. Berlaku Sera Ex Tunc Ataupun Ex Nunc[22]

Dalam ilmu hukum kontrak terdapat berbagai pandangan yang menjelaskan tentang efek retroaktif dan efek prospektif, bergantung dari hukum negara mana yang digunakan. Pemutusan kontrak dalam hukum Prancis memiliki efek yang retroaktif (ex tunc), sementara itu dalam hukum Jerman pemutusan kontrak memiliki efek prospektif (ex nunc). Di negara-negara yang memiliki sistem hukum Common Law, tidak ada ketentuan yang mengatur secara umum tetapi menggunakan pendekatan secara kasus per kasus dengan maksud ada beberapa kasus menggunakan efek ex tunc dan ada beberapa kasus yang menggunakan efek ex nunc.

c. Akibat Terhadap Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi

Telah disebutkan diatas, jika ada pihak yang dirugikan akibat adanya tindakan wanprestasi maka pihak yang dirugikan tersebut dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan. Dalam ilmu hukum pada prinsipnya telah mengenal prinsip bahwa upaya pemutusan kontrak karena tindakan wanprestasi tersebut tidak berlaku secara bersama- sama dengan upaya paksaan untuk melaksanakan kontrak. Dikarenakan dua hal tersebut jelas dua hal yang saling bertentangan. Tetapi dengan pemutusan kontrak masih memungkinkan adanya upaya ganti rugi.

Hanya saja penempatan prinsip larangan menerima ganti rugi secara double di dalam kontrak selalu ada. Dikarenakan hal tersebut dapat menjadi penerimaan tanpa hak (unjust enrichment). Dengan demikian maka upaya ganti rugi haruslah dibatasi sehingga tidak menjadi upaya ganti rugi kedua setelah upaya pemutusan kontrak.

Azas kepastian hukum dalam kontrak konstruksi dapat tercipta apabila para pihak dalam hubungan kontraktual memahami dengan benar beberapa hal yang dapat menjamin kepastian hukum dalam kontrak konstruksi, yaitu sebagai berikut:

  1. Prinsip-Prinsip Hukum Dalam Kontrak Konstruksi.
  2. Terminasi Kontrak Konstruksi.

 

SF

*Artikel berupa opini ini ditulis oleh Dr. Sugiarto Raharjo Japar, S.H., M.H., Advokat pada Kantor Hukum Japar & Associates. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

 

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni Bandung, 1994.

———————————–, et.,al, Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam

Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

——————, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Uff, John, Construction Law, Sweet & Maxwell A Thompson Company, Eight Edition, 2002.

Aulia, Laila Hayati, Akibat Hukum Dari Wanprestasi Dalam Perjanjian Konstruksi Yang Dilaksanakan Kontraktor, Thesis, Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2012.

http://www.trans-lex.org/116000 diakses pada tanggal 18 July 2014.

[1] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni Bandung, 1994, h.59.

[2] John Uff, Construction Law, Sweet & Maxwell A Thompson Company, Eight Edition, 2002, h.1.

[3]Pasal 30 Ayat (1) PP No.29/2000.

[4]Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 26

[5] Ibid., h. 29.

[6] Conservatoir beslag dalam bahasa hukum Indonesia dapat diartikan ke dalam istilah sita pengukuhan dan istilah sita jaminan. Tetapi agar adanya keseragaman pengalihan bahasa, maka istilah yang dipilih adalah sita jaminan. Pengertian sita jaminan dari segi yuridis, dimaksudkan memahami sita jaminan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ketentuan sita jaminan ini diatur dalam pasal 227 HIR jo pasal 261 RBG, disini akan dibahas mengenai sita tindakan hukum eksepsional dan juga sita sebagai perampasan. Sita jaminan ini bertujuan agar tergugat tidak dapat memindahkan atau membebankan hartanya terhadap pihak ketiga.

[7] Mariam Darus Badrulzaman et.,al, Kompilasi Hukum Perikatan  (Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 93.

[8] Pasal 1238 KUH Perdata menjelaskan Siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau lalai dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan.

[9] Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 95.

[10] Ibid., h. 96.

[11] Exceptio non adimpleti contractus diadopsi dalam sistem hukum sipil di mana teori modern telah dikembangkan. Karena pengaruh luas dari sistem hukum Perancis pada undang- undang dan perkembangan dokrinal di sejumlah besar negara mengikuti sistem sipil, perhatian khusus layak untuk teori kontemporer Perancis Exceptio sebagai aturan umum hukum atau pertahanan tersedia dalam hukum Romawi, bahwa seseorang yang sedang digugat untuk non- kinerja kewajiban kontraktual dapat membela diri dengan membuktikan bahwa penggugat tidak melakukan sisi mereka tawar-menawar.

[12] http://www.trans-lex.org/116000 diakses pada tanggal 18 July 2014.

[13]  Pengembalian suatu nilai tambah yang telah diterima oleh para pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi.

[14]  Ibid., h. 98.

[15] Ibid.,

[16] Ibid.,

[17] Ibid.,

[18] Ibid., h.100.

[19] Ibid., h.102.

[20] Ibid., h.103.

[21] Ibid., h.104.

[22] Ex tunc adalah ungkapan Latin, yang dalam bahasa Spanyol harfiah berarti “sejak itu”, digunakan untuk berbicara tentang suatu tindakan yang menghasilkan efek dari saat yang sama dimana tindakan itu asalnya, kembali kepada situasi hukum dengan keadaan sebelumnya. Ketentuan ex nunc hanya dapat berakibat dari saat timbulnya, ke selanjutnya. Dalam pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung terdapat dua macam pembatalan peraturan yaitu ex tunc dan ex nunc. ex tunc bersifat retroaktif sedangkan ex nunc bersifat prospektif.

Dipromosikan