Catatan Penting dalam Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase

Catatan Penting dalam Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase

Arbiter bertanggung gugat atas timbulnya kerugian pada para pihak jika tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Rabu (6/5) lalu, Jimly School of Law And Government Surabaya bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) menyelenggarakan webinar dengan tema: “Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Melalui Arbitrase”. Dalam acara tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum UNAIR dan juga Arbiter BANI, Prof. Dr. Y. Sogar, S.H., M.Hum, menjelaskan beberapa catatan penting dalam pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase. Adapun diuraikan sebagai berikut:

Pertama, beberapa prinsip fundamental dalam UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

  1. Prinsip pacta sunt servanda.

Menurutnya, implikasi klausula atau perjanjian arbitrase membuat Pengadilan Negeri (PN) tidak berwenang mengadili perkara antara para pihak, yang mana para pihak sudah menyepakati klausula atau perjanjian arbitrase.

“Para pihak tidak dapat mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri.  Jika tetap diajukan, maka Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan. Ini berlaku pada sengketa kontrak baik yang didasarkan pada wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad),” sebutnya.

  1. Arbiter seperti juga hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan intervensi terhadap kontrak.

Prof. Y. Sogar menerangkan, sebagaimana diketahui dalam kontrak boleh jadi ada sesuatu yang tidak diatur, tidak lengkap diatur, atau boleh jadi sudah diatur tetapi sangat memberatkan atau unfair.

“Di dalam kaitan ini, maka arbiter dapat melakukan intervensi atau campur tangan berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan peraturan perundang-undangan dalam hal ini kita mengacu pada Pasal 1339 KUH Perdata atau bahkan arbiter bisa juga melakukan intervensi melalui doktrin itikad baik. Sebagaimana kita tahu secara luas sudah dianut, kita juga bisa lihat di BW Belanda, bahwa doktrin itikad baik itu, hakim dapat campur tangan dan dengan intervensi itu hakim dapat mengurangi, dapat menambah, dan bahkan dapat meniadakan suatu klausula yang ada di dalam perjanjian,” jelasnya

  1. Arbiter  bertanggung gugat atas timbulnya kerugian pada para pihak jika tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

“Ini bedanya dengan hakim di Pengadilan Negeri, kalau hakim tidak bisa digugat tetapi arbiter bisa digugat. Jadi tanggung gugat arbiter dalam hal ini terkait tenggang waktu memberikan putusan. Terkait  jangka waktu tersebut pada prinsipnya adalah paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk, dan putusan diucapkan paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. Bahwa tanggung gugat arbiter menurut hemat saya terbatas hanya persoalan apakah arbiter terlambat secara tidak sah dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan. Tapi kalau menyangkut kapan putusan itu harus dilaksanakan, yang saya lihat memang tidak secara ketat menentukan kapan itu harus dilaksanakan. Karena pada dasarnya pelaksanaan putusan arbitrase itu diharapkan dilaksanakan dengan sukarela,” ucapnya.

  1. Terhadap putusan arbiter atau majelis arbitrase berlaku prinsip final & binding.

Beliau menerangkan, dengan prinsip tersebut, maka tidak ada upaya hukum apapun terhadap putusan, dan para pihak terikat untuk memenuhi atau melaksanakan putusan tersebut (res judicata pro veritate accipitur). Namun, katanya, pembatalan dimungkinkan tetapi sangat limitatif.

Kedua, soal putusan arbitrase.

Ia menuturkan, isi dan sistematika putusan arbitrase hampir sama dengan putusan hakim dalam perkara perdata.

“Kalau kemudian di antara arbiter terdapat dissenting opinion (baca: berbeda pendapat), maka hal itu dituangkan dalam putusan. Yang juga perlu kita pahami, menurut Undang-undang Arbitrase menentukan bahwa dalam putusan arbitrase ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan. Berikutnya, terkait pertimbangan hukum putusan (ratio decidendi), seperti juga hakim arbiter juga terikat pada undang-undang Kekuasan Kehakiman bahwa dalam memberikan putusan didasarkan pada ketentuan hukum, keadilan dan kepatutan,” tukasnya.

Ketiga, pelaksanaan putusan

  1. Arbitrase Nasional (domestik)

Prof. Sogar menyebutkan, jika putusan arbitrase tidak dilaksanakan dengan sukarela maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak.

“Pengadilan Negeri mana? Tentu Pengadilan Negeri dimana putusan itu didaftarkan. Sebelum menerbitkan surat perintah, Ketua Pengadilan Negeri wajib memeriksa apakah telah terpenuhi tiga hal berikut : Pertama, adanya klausul atau perjanjian arbitrase. Kedua, syarat kompetensi absolut (sengketa dalam bidang perdagangan). Ketiga, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam hal ketiga syarat tersebut secara kumulatif tidak terpenuhi maka Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan eksekusi, dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak terdapat upaya hukum apapun. 

Perlu pula diperhatikan, dalam memeriksa permohonan eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Perlu saya sampaikan di lingkungan BANI terkait kompetensi para arbiter sudah sangat mumpuni dan bidang apapun ada baik konstruksi, pasar modal, keuangan dan lain sebagainya” tuturnya.

  1. Arbitrase Internasional

Ia menjelaskan, putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan  di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional.

“Misalnya kita mengenal adanya SIAC. Kewenangan atas pengakuan (eksekuatur) dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional ada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kenapa demikian? Karena putusan arbitrase internasional itu tidak ada irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekutorial dan mesti dinilai dulu itu yang disebut sebagai pengakuan. Khusus eksekuatur atas putusan arbitrase internasional yang melibatkan negara RI sebagai pihak, dilakukan oleh Mahkamah Agung,” tukasnya. Adapun syarat pelaksanaan putusan sebagai berikut:

Pertama, arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang terikat perjanjian, bilateral atau multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Kedua, menurut hukum indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Ketiga, tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Keempat, setelah memperoleh eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kelima, yang menyangkut negara Republik Indonesia, eksekuatur oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Keempat, pembatalan putusan arbitrase.

Beliau menerangkan, bahwa sesungguhnya prinsip final & binding dan res judicata pro veritate accipitur itu putusan arbitrase sudah dianggap benar dan mengikat. Menurutnya, upaya gugat pembatalan hanya merupakan pengecualian dan karena itu sangat limitatif, dapat diajukan jika putusan diduga mengandung unsur sebagai berikut:

  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
  3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. “Terkait penjelasan pasal 70 ini dapat dilihat putusan MK,” ucapnya.

Kemudian katanya, terkait tenggang waktu permohonan (gugatan) pembatalan putusan arbitrase diajukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera Pengadilan Negeri.

“Diajukan kepada Ketua PN (tempat pendaftaran). Jika putusan kabul terhadap gugat pembatalan itu, Ketua PN menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Terhadap putusan PN terkait pembatalan dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung (MA) yang selanjutnya MA memutus pada tingkat pertama dan terakhir,” tutupnya.

SF

Dipromosikan