Ketidakadilan Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 dan Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan

Ketidakadilan Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 dan Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan

Ketidakadilan Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 dan Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan
oleh M. Armen Lukman, Advokat-Konsultan Hukum, Partner ELAW

Tahun ajaran baru segera dimulai, belakangan muncul gejolak di masyarakat dan kebijakan yang disorot paling keras adalah Keputusan Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2020/2021. Mengacu pada SK Disdik DKI 501/ 2020), Proses seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) khususnya sistem zonasi menuai protes para orang tua murid karena anaknya “tereliminasi” oleh siswa yang usianya lebih tua. 

Beleid (aturan) itu merupakan penjabaran teknis dari Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2019 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Dan Sekolah Menengah Kejuruan (Permen 44/ 2019).

JALUR ZONASI

Jalur zonasi adalah salah satu dari 4 (empat) jalur seleksi sekolah negeri (SD, SMP, dan SMA/SMK), selain jalur Afirmasi, Perpindahan Tugas Orang Tua/ Wali, dan Prestasi. Jalur zonasi diperuntukkan bagi peserta didik yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah (Permen 44/ 2019).  

Kriteria utama jalur zonasi adalah jarak rumah dengan sekolah. Namun, berbeda di DKI Jakarta, elemen jarak rumah ditiadakan, dan faktor usia menjadi aspek yang didahulukan dalam seleksi jalur zonasi, Sebagaimana diatur dalam SK Disdik DKI 501/2020 bahwa apabila Calon Peserta Didik Baru yang mendaftar melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia tertua ke usia termuda.

Dengan penghapusan elemen jarak rumah ke sekolah dalam SK Disdik DKI 501/2020 selain bertentangan dengan Permen 44/2019 ketentuan terkait penghapusan elemen jarak rumah menjadi persoalan tambahan di DKI Jakarta. 

PERMENDIKBUD 44/ 2019:  KETIDAKADILAN JALUR ZONASI SMA/ SMK

Permendikbud 44/ 2019 sendiri sebenarnya mengandung ketidakadilan. Dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) diatur bahwa untuk jenjang SMP dan SMA/SMK calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA/SMK dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan. Namun jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sama, maka seleksi pemenuhan kuota atau daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua. Usia menjadi kritera kedua setelah jarak rumah. Khusus untuk jenjang SMA/ SMK kriteria usia (setelah jarak ruimah) agaknya bermasalah. Jenjang yang diatur dengan faktor usia, yaitu SMP dan SMA/ SMK. 

Khusus untuk PPDB SMP tidak ada masalah dengan kriteria usia (setelah faktor jarak rumah). Karena jika dicermati, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Pasal 6 mengatur tentang usia yaitu : “Setiap warga negara yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 15 (lima belas) tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”.  Artinya khusus untuk SD dan SMP ada ketentuan wajib belajar. Oleh karena pendidikan dasar (SD dan SMP) sifatnya wajib, dan ada batasan usia yang secara tegas diatur dalam UUSPN, maka faktor usia logis menjadi faktor penentu kedua dalam seleksi jalur zonasi khusus pendidikan dasar (SD dan SMP). Jika tidak dimasukkan, maka Pemerintah dapat dipersalahkan mengabaikan mereka yang secara hukum lebih patut didahulukan daripada yang tidak.  

Jika ketentuan usia dibatasi dengan ketentuan lain (selain jarak), semisal prestasi, maka siswa yang memiliki prestasi lebih (walau usianya lebih muda) kemudian menghilangkan hak mereka yang diwajibkan belajar oleh Undang-undang maka Pemerintah berpotensi melanggar UUD Pasal 31 ayat 2  dan kewajiban memfasilitasi warga negara (pada usia tertentu) untuk melaksanakan kewajibannya. Dalam perspektif ini, khusus untuk jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) aspek usia memang harus lebih diutamakan daripada kecerdasan, dan hal ini sudah sejalan dengan UUSPN.

Lantas, bagaimana dengan calon peserta didik SMA/SMK? Apakah kriteria usia, sebagai kriteria kedua setelah jarak rumah sesuai Permendikbud 44/ 2019 ini telah memenuhi rasa keadilan bagi calon peserta didik dan sah menurut hukum? 

Berbeda dengan jenjang SMP, tahap pendidikan SMA/SMK  secara hukum bukanlah sebuah kewajiban. UUSPN tegas mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun bukan 12 tahun. Adapun jenjang SMA/SMK adalah hak warga negara. Artinya, semua warga negara pada dasarnya berhak memasuki jenjang SMA/SMK,bukan merupakan kewajiban. Oleh karena sifatnya adalah hak, maka tugas pemerintah bagaimana mendistribusikan pemenuhan hak tersebut secara fair (adil). Adil artinya tidak boleh ada diskriminasi dalam PPDB zonasi SMA. Tidak dibenarkan ada perlakuan berbeda oleh karena sesuatu kondisi yang seseorang tidak dapat memilihnya (distribusi natural dalam teori keadilan John Rawls). Kriteria semisal Suku, Ras, Agama termasuk Usia misalnya, itu termasuk distribusi natural, “hadiah” dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dan bukan pilihan pribadi.

Bertambah tua itu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, tetapi berprestasi itu adalah suatu pilihan. Dari sisi kehendak bebas, usia itu berbeda dengan prestasi. Usia merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Artinya dalam seleksi zonasi, kriteria kedua setelah jarak rumah dari sekolah, harusnya bukan usia yang merupakan distribusi natural (tidak dapat dipilih). Menetapkan kriteria usia sebagai faktor penentu setelah jarak adalah sebuah ketidak-adilan pemerintah dalam mendistribusikan pemenuhan hak warga negara. Oleh karena itu usia  tidak relevan dijadikan kriteria dalam kedua melaksanakan hak warga Negara memasuki jenjang SMA/SMK.

Pada dasarnya pemenuhan hak pada dasarnya harus equal opportunity (ada kesempatan yang setara). Jikapun dibuat kriteria karena sumber daya yang terbatas (daya tampung yang tidak cukup memadai bagi semua), maka kriteria itu pertama-tama tidak boleh dirujuk kepada sesuatu yang tidak dapat diupayakan atau diubah secara harfiah. Dengan demikian, kriteria kedua yang lebih relevan setelah jarak harusnya adalah prestasi siswa. Kriteria prestasi ini akan lebih fair dibandingkan dengan kriteria usia. Kembali pada dasarnya Hak tidak boleh ditentukan atas faktor yang tidak dapat diubah secara lahiriah.

SK DINAS PENDIDIKAN DKI JAKARTA 501/2020 CACAT HUKUM DAN TIDAK ADIL

Pelaksanaan teknis yang diatur dalam SK Disdik DKI 501/2020 untuk seleksi lewat jalur zonasi adalah cacat hukum dan tidak adil. Beleid ini cacat hukum, sebab mengeliminasi elemen jarak rumah yang sudah tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan di atasnya yaitu Permendikbud 44/2019. 

Sebagai sebuah Peraturan Perundang-undangan SK Disdik DKI 501/2020 harus pula mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum sekaligus memenuhi rasa keadilan dan tidak diskriminatif.

Lewat ketentuan dan SK Disdik DKI  501/2020 ini masyarakat tidak mendapatkan kepastian hukum, karena apa yang telah menjadi hak masyarakat yang memiliki kedekatan jarak rumah dengan sekolah sebagai variabel utama sistem zonasi dihilangkan. Padahal ruh dari sistem zonasi adalah menghindari anak-anak melakukan perjalanan jauh hanya untuk berangkat dan pulang sekolah. Dengan jarak yang dekat, maka biaya transportasi dapat diminimalisasi. Menghilangkan elemen jarak dalam sistem zonasi sebagaimana SK Disdik DKI 501/2020 ini telah menghilangkan maksud dan tujuan sebagaimana diamanatkan oleh Permendikbud 44/ 2019. 

SK Disdik DKI 501/2020 khususnya yang mengatur seleksi lewat jalur zonasi juga tidak adil karena jenjang SMA/ SMK adalah hak bukan kewajiban (sesuai UUSPN). Untuk membagi sumber daya yang tersedia, maka tidak sepantasnya menggunakan kriteria yang diskriminatif berdasarkan elemen natural lahiriah seseorang. Usia bukan suatu status yang bisa dipilih, seharusnya elemen yang dipilih setelah jarak adalah kriteria kecerdasan. Mencantumkan variabel usia sebagai penentu utama jelas suatu ketidakadilan.

Daya tampung sekolah SMA/SMK bukan daya tampung utilitas publik seperti transportasi umum, yang perlu memprioritaskan warga Negara yang berusia lanjut. Daya tampung SMA/SMK seharusnya diberikan kepada mereka yang berprestasi karena prestasi adalah jerih payah yang dapat diupayakan, bukan seperti usia yang merupakan ketidakniscayaan untuk dapat dilakukan perubahan. Dengan demikian SK Disdik DKI 501/2020 terkait zonasi harus dikoreksi untuk dua hal yaitu :

  1. Mengutamakan kriteria jarak rumah sebagai elemen penentu utama dan;
  2. Menghapus kriteria usia sebagai variabel kedua dan digantikan dengan kriteria prestasi siswa. 

Mereka yang lebih berprestasi berhak mendapatkan sekolah yang diinginkannya, dibandingkan dengan yang usia lebih tua. Jika tidak, maka Disdik DKI 501/2020 ini tidak saja melawan hukum (Permendikbud 44/2019), namun bertentangan dengan prinsip keadilan.

UPAYA HUKUM APA YANG DAPAT DILAKUKAN?

Terhadap Permendikbud 44/2019 dan SK DISDIK DKI 501/2020 setiap warga negara berhak mengajukan keberatan kepada instansi Pemerintah yang menerbitkan kebijakan lewat aturan hukum (Kemendikbud dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta) untuk merevisi regulasi yang diterbitkan. 

UJI MATERI KE MAHKAMAH AGUNG

 

Jika upaya keberatan itu tidak direspon dengan baik oleh Instansi Pemerintah terkait, maka orang tua / wali murid yang merasa dirugikan dengan Permendikbud 44/ 2019 dapat melakukan upaya hukum lain yaitu uji materi ke Mahkamah Agung (MA) karena MA berwenang menguji Permendikbud 44/2019. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menentukan bahwa : “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.”

Jika diperiksa Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan peraturan Menteri sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (UU). 

Jika permohonan Uji Materi melalui MA dikabulkan, maka kriteria usia sebagai kriteria penentu kedua setelah jarak rumah (dalam Permendikbud 44/ 2019) dapat dinyatakan tidak sah, dan kemudian dibatalkan sebab bertentangan dengan Undang-undang dalam hal ini UUSPN yang mengatur prinsip non diskriminatif dalam pendidikan. 

GUGATAN KE PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

Sedangkan terhadap SK Disdik DKI 501/2020, pihak yang dirugikan sebagai Penggugat dapat mengajukan pembatalan SK tersebut kepada Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN). Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Suatu keputusan Tata Usaha Negara haruslah memperhatikan  ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. SK Disdik DKI 501/ 2020 sebagai suatu putusan Tata Usaha Negara jelas telah mengabaikan Permendikbud 44/ 2019 sebagai ketentuan yang melandasinya. Selain itu SK Disdik DKI 501/ 2020 juga bertentangan dengan UUSPN, karena bersifat diskriminatif dengan mencantumkan syarat usia sebagai variabel penentu utama (yang merupakan keniscayaan), bukan kriteria prestasi (setelah jarak rumah). 

Jika pembatalan atas SK DISDIK DKI 501/2020 dikabulkan, maka kriteria jarak akan ditetapkan wajib dimasukkan, dan kriteria usia yang diskriminatif dapat dihapus dan diganti dengan prestasi –sebagai hal yang dapat diperjuangkan. 

Apabila telah dibatalkan MA dan PTUN maka para orang tua calon siswa SMA, dapat dengan lega terhindar dari potensi anaknya tereliminasi oleh anak lain yang usianya lebih tua, walaupun tidak lebih berprestasi.  Menjadi tua itu pasti, berprestasi adalah pilihan sehingga setiap orang pasti tua namun tidak semua orang bisa berprestasi maka menempatkan usia sebagai variabel dalam seleksi jalur zonasi selain telah melanggar hukum juga melanggar hak mendapatkan pendidikan yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia dan tidak mencerminkan prinsip keadilan.

 

BEL

Artikel berupa opini ini ditulis oleh M. Armen Lukman,  Advokat-Konsultan Hukum, Partner ELAW. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi KlikLegal.

Dipromosikan