Theodore Manurung, Lawyer yang Aktif Bela Pekerja/Buruh

Berbicara mengenai dunia ketenagakerjaan pasti tidak terlepas dari regulasi hukum, pengupahan, serta pemutusan hubungan kerja (PHK). Wacana penyusunan omnibus law terkait cipta lapangan kerja pun menjadi isu yang banyak ditentang oleh para pekerja/buruh. Mulai dari sistem pengupahan yang akan dilakukan per jam hingga penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi.

Hal ini menjadi perhatian dari Theodore Manurung, Partner TM&P Law Office yang aktif membela kaum buruh. Theodore mengaku sudah terlalu banyak isu-isu mengenai ketenagakerjaan, terlebih banyak regulasinya yang tidak jelas.

“Kalau kasus dari dulu pasti PHK yang paling banyak, tapi kalo kita bicara pelanggaran paling banyak apa? Terkait dengan perjanjian kerja, yakni perjanjian kerja yang seharusnya dipekerjakan secara tetap malah dipekerjakan secara kontrak,” ujar Theodore kepada KlikLegal, Kamis (9/1).

Alumni Universitas Padjajaran tersebut mengatakan, yang menjadi penyebab utama pelanggaran pelaksanaan perjanjian kerja ini adalah akibat kurang jelasnya aturan yang membedakan kualifikasi pekerjaan yang dapat dikerjakan pekerja kontrak dengan pekerja tetap. Sehingga, banyak perusahaan yang menanganggap bahwa pekerja dapat dipekerjakan secara kontrak untuk semua jenis pekerjaan.

“Untuk pekerjaan accounting lah ya kita contoh. Accounting itu kan sifatnya tetap, terus menerus ada di suatu perusahaan. Nggak mungkin itu temporer. Tapi kebanyakan dalam prakteknya di lapangan banyak dipekerjakan sebagai pekerja kontrak,” jelasnya.

Padahal untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWTT), yang mana ditujukan untuk pekerja kontrak, digunakan untuk pekerjaan yang sementara atau sekali selesai. Maka seharusnya yang dapat dipekerjakan dengan PKWTT hanyalah pekerja yang nantinya akan melakukan pekerjaan yang bersifat sekali selesai atau sementara, bukan pekerjaan yang sifatnya keharusan.

“Tapi dalam prakteknya, silahkan liat dalam perusahaan. Alih-alih alasannya kenapa dipekerjakan secara kontrak karena masa percobaan. Itu lebih salah lagi,” tegas Theodore.

Terkait omnibus law cipta lapangan kerja yang digaungkan oleh pemerintah, Theodore berpendapat harus ada banyak pihak yang terlibat dalam penyusunan undang-undang tersebut. Menurutnya, tidak semudah itu untuk menyusun dan memasukkan gagasan baru pada omnibus law tanpa adanya perjalanan panjang.

“Karena menurut saya tidak mungkin bisa diubah begitu saja dimasukkan ke omnibus law tanpa perjalanan panjang. Itu perjalanannya panjang pasti. Karena jika kita mau mengubah uu ketenagakerjaan, pihak-pihaknya banyak, ada pekerja dan perusahaan. Harusnya didiskusikan baiknya gimana, prakteknya gimana,” lanjut Theodore.

Mengenai kesejahteraan pekerja, ia melanjutkan, pasti membicarakan tentang upah dengan acuan upah minimum. Upah minimum disusun mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL). “Kita ngomongin kesejahteraan nggak tau batasnya dimana, yang penting minimal bisa hidup layak. Tapi dalam prakteknya banyak perusahaan yang bayar upah dibawah upah minimum, banyak banget,”

Kendala yang sering ia temui di lapangan diantaranya jumlah pengawas yang jauh lebih kecil dibandingkan jumlah perusahaan yang ada. Akibatnya pengawasan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.

Selain itu, kecurigaan adanya praktek ”kongkalikong” antara pihak perusahaan dan pihak pengawas mengakibatkan para pekerja “malas” untuk melakukan laporan ke pihak pengawas dalam hal terjadinya pelanggaran di perusahaan mereka. Hal ini mengakibatkan kurang maksimalnya pelaksanaan penegakan hukum ketenagakerjaan di banyak perusahaan saat ini.

“Jadi kalau kita ngomongin kesejahteraan, masih banyak juga pekerja yang nggak sejahtera karena adanya pelanggaran-pelanggaran seperti itu. Kalau ketentuan upah minimum dilaksanakan sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, baru kita dapat bertanya apakah ketentuan yang ada saat ini telah menyejahterakan para pekerja atau tidak,” ujar Theodore.

 

ZNA

Dipromosikan